JAKARTA, MENARA62.COM – Kebijakan satu anak yang diterapkan pemerintah RRT sejak tahun 1970-an membuat Negara tersebut kini kekurangan perempuan. Jumlah pria di Negara Republik Rakyat Tiongkok lebih banyak dibanding kaum perempuan.
Akibatnya, banyak kaum pria dari RRT yang mengincar perempuan dari Negara lain untuk diperistri. Termasuk diantaranya perempuan Indonesia dengan modus Pengantin Pesanan. Ini adalah modus baru tindak pidana perdagangan orang (TTPO).
“Pria-pria di RRT menjanjikan hidup bahagia dan sejahtera kepada perempuan pengantin pesanan,” kata Kepala Subdit Kawasan 4 Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kemlu, Tony Wibawa seperti dikutip dari laman kemenag, Sabtu (22/6).
Tetapi janji tinggal janji. Kebanyakan pria China tersebut berasal dari kalangan buruh atau pekerja kasar yang penghasilannya sangat minim. Mereka mencari pengantin pesanan akibat tidak dapat membayar mahar perempuan China yang memang sangat mahal.
Sebelumnya para pria China tersebut mengincar perempuan warga negara tetangga keturunan Tionghoa seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam untuk dijadikan istri. Tetapi kini mereka juga mengincar perempuan Indonesia terutama dari wilayah Jawa barat (Sunda).
Pengantin Pesanan adalah mengawinkan perempuan WNI dengan laki-laki warga negara RRT yang dilaksanakan di negara tersebut secara ilegal. Banyak perempuan Indonesia bersedia dibawa RRT karena dijanjikan akan memperoleh hidup bahagia dan sejahtera di negeri tirai bambu.
Sesampai di negeri Cina, perempuan WNI memang menikah dengan warga RRT. Tetapi segala hal yang dijanjikan hanya kebohongan belaka. Bukan kebahagian dan kesejahteraan yang diperoleh, mereka malah mendapat perlakuan kekerasan.
“Ternyata di Cina mereka menikah dengan laki-laki yang hidup pas-pasan, banyak yang pekerja kasar. Gaji suami tidak cukup membiayai hidup keluarga. Akhirnya, si istri dipaksa ikut mencari nafkah. Mengerjakan apa saja, sekalipun yang haram, seperti bekerja di klub malam dan bisnis esek-esek,” terang dia.
Pada awalnya pria RRT ini masih menggaet perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang hidup kurang mampu dan berpendidikan rendah seperti dari daerah Kalimantan Barat. Namun semakin ke sini, mereka juga tertarik untuk menikahi perempuan Indonesia dari suku lainnnya seperti Sunda di Jawa Barat.
“Untuk Jawa Barat, ada 12 kasus yang sudah kami tangani,” ungkap Tony.
Di Jawa Barat, kata Tony, ada satu kasus yang berhasil digagalkan dan sudah mendapat vonis dari pengadilan negeri, yakni hukuman 9 tahun penjara bagi agen yang berasal dari RRT dan 8 tahun bagi agen yang ada di Indonesia.
Ketika ditanya terkait peran pemerintah RRT dalam penanganan masalah ini, Tony mengakui hal tersebut sulit dilakukan mengingat kebijakan pemerintah RRT yang menganggap perkawinan tersebut ilegal, sehingga pemerintah tidak mau mencampurinya.
Kementerian Agama melalui Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam siap bekerja sama dengan instansi terkait untuk mencegah terjadinya praktik pengantin pesanan tersebut.
“Pada prinsipnya kami dan pimpinan kami di Kemenag siap bekerja sama untuk mencegah terjadinya Pengantin Pesanan yang jelas akan merugikan warga negara Indonesia,” kata Kepala Seksi Bina Kepenghuluan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam, Burhanuddin, dalam rapat koordinasi di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jakarta, Jum’at (21/06).
Burhanuddin menuturkan, kerja sama yang akan dilakukan nantinya dalam bentuk kegiatan Kampanye Penyadaran Publik yang diinisiasi oleh Kemlu dibantu oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag serta Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).
Burhanuddin menerangkan, peran Kemenag nantinya untuk menekankan kepada aparatur di KUA Kecamatan agar selektif dan mewaspadai setiap ada pengurusan dan penerbitan dokumen untuk keperluan ke luar negeri, terutama ke negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Rencananya apabila disetujui oleh masing-masing kementerian, kegiatan Kampanye Penyadaran Publik terkait pencegahan Pengantin Pesanan kerja sama antara Kemlu, Kemenag dan Kemdagri akan dilaksanakan pada Juli di Provinsi Kalimantan Utara dan Provinsi Jawa Barat. Pesertanya Kepala KUA, Dinas Dukcapik, aparatur kelurahan/desa dan sejumlah LSM pemerhati perlindungan perempuan dan anak