27.7 C
Jakarta

Pengembangan Sumber Daya Pendidik Berbasis “Continuous Prefessional Development”T (CPD)” PADA ERA DISRUPSI

Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof Dr Sofyan Anif MSi

Baca Juga:

Puji syukur saya panjatkan ke hadlirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kita dapat bertemu di ruangan ini dalam rangka mengikuti upacara pidato pengukuhan Guru Besar saya sebagai profesor dalam bidang Ilmu Manajemen Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

PENDAHULUAN

Hadirin yang saya muliakan

Judul pidato pengukuhan saya adalah “Pengembangan Sumberdaya Pendidik Berbasis Continuous Professional Development pada Era Disrupsi”. Beberapa alasan yang menjadi dasar pertimbangan judul ini adalah: (1) permasalahan pendidikan masih menjadi prioritas dalam pembangunan nasional, (2) SDM pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan (3) perkembangan era industri 4.0 telah menuntut pengembangan kompetensi SDM pendidik secara komprehensif untuk menghadapi tantangan pendidikan di era disrupsi. Namun karena keterbatasan waktu, SDM pendidik yang dimaksud dalam judul di atas ini hanya dibatasi SDM Guru.

Hadirin yang saya hormati

Pembangunan pendidikan nasional yang sekarang dilaksa- nakan bangsa Indonesia memiliki semangat untuk menciptakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang berfungsi sebagai subjek yang memiliki kapasitas untuk meng- aktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal (Anif, 2010). Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945, menyatakan

bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka men- cerdaskan kehidupan bangsa.

Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mem- bangun manusia Indonesia seutuhnya jelas menempatkan guru menjadi salah satu faktor sebagai pengemban tugas utama yang harus dijalankan secara professional (Anif, 2013). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jenjang pendidikan anak  usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat bangsa dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (Gede Agung, 2011). Kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani rohani, berilmu, cakap,  kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Tugas dan peran guru yang sangat strategis ini harus di- laksanakan sebagai sebuah amanah besar dengan penuh tanggung jawab semata-mata melaksanakan tugas negara yang amat mulia ini. Tugas dan peran guru sebagai agent of Change ini harus dilakukan dengan kemampuan kompetensi yang tinggi, yang sering disebut dengan 4 kompetensi guru sesuai UU No.14 tahun 2005 (Anif, 2014) Tidak cukup dengan kemampuan 4 kompetensi seperti dijelaskan tersebut juga harus ditunjang dengan kemampuan profesionalisme yang tinggi pula sehingga diharapkan akan berimbas pada proses pembelajaran yang lebih dinamis, inovatif kreatif dan berbasis pada capaian pembelajaran yang diharapkan. Selanjutnya akan berimplikasi pada peningkatan hasil pembe- lajaran peserta didik. Hasil pembelajaan sesuai dengan konteks pendidikan yaitu menghasilkan kemampuan peserta didik yang sesuai dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (Anif, 2015). Dalam konteks pendidikan, tujuan pendidikan nasional harus mampu membangun karakter peserta didik yang diekspresikan dalam sebuah kecerdasan IQ, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial. Semua kecerdasan itu harus berada secara seimbang dalam diri anak didik (Anif, 2018).

Terbitnya UU nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen telah memberikan ruang yang lebih kepada guru dan dosen untuk memerankan tugas dan fungsinya masing-masing secara profesional dalam mewujudkan tujuan dan arah pendidikan nasional. Pola pembelajaran satu arah sudah mulai ditinggalkan dan beralih kepada student center. Artinya transfer of knowledge bisa terjadi dua arah dan peran guru lebih pada fungsi fasilitator. Guru berperan mengarahkan proses pembelajaran agar peserta didik mampu mengekspresikan dan mengembangkan potensi dirinya (Anif & Anam, 2017).

Hadirin yang saya hormati.

Berkembangnya Ipteks yang begitu cepat dan masuknya era industri 4.0, bahkan 5.0 membuat dunia sekarang ini mengalami guncangan besar (Anif & Djumadi, 2018). Sebagaimana yang diilustrasikan oleh Fukuyama (1999) dalam bukunya “The Great Disruption”. Sebuah fenomena disruption yang terjadi karena akumulasi perubahan ekologis dan meningkatnya persaingan global. Perkembangan ipteks di bidang IT menjadi salah satu faktor kuat dalam akselerasi globalisasi dan gerakan revolusi industri 4.0 dan 5.0 yang menuntut terjadinya disruption secara mendasar dan besar-besaran dalam semua aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan (Anif, 2019). Disruption bukan sekedar bicara fenomena hari ini (to day) melainkan fenomena masa depan (the future) yang dibawa oleh para akademisi, pen- didik dan tenaga kependidikan ke saat sekarang ini (Anif dkk, 2019).

Fenomena disruption telah mendorong dunia global berpikir bagaimana menerapkan ilmu “masa depan” dalam kondisi sekarang, namun banyak pemimpin, pengusaha, dan birokrat, termasuk guru-guru kita masih mendalami logika “masa lalu” untuk diterapkan sekarang (Gardiner, 2018).

Di bidang pendidikan, fenomena berpikir dengan logika masa depan untuk diterapkan masa sekarang tampaknya masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu adanya reformulasi manajemen strategic dengan melakukan disruption mindset, sehingga faktor-faktor manajerial lebih berperan sebagai faktor penentu keberhasilan (critical success factor). Dengan demikian, disruption di bidang pendidikan telah menginisiasi pengem- bangan strategi tata kelola model pembelajaran yang  lebih inovatis, kreatif, dan selalu berorientasi masa depan yang semuanya ini harus didukung SDM pendidik yang berkualitas (Anif, 2018 b).

Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa disruption hanya berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang marak belakangan ini (Anif, 2018 a). Dalam bidang pendidikan, disruption sebagai sebuah tantangan bagi insan pendidikan termasuk guru agar bagaimana melalui sistem pendidikan hasil disruption tersebut mampu membangun karakter peserta didik yang memiliki daya inovasi dan kreatifitas tinggi Guru bukan lagi satu-satunya pusat pembelajaran, guru lebih berperan tidak saja sebagai fasilitator tetapi sekaligus menjadi inspirator dan motivator. Dengan demikian, peran guru di era disrupsi menjadi lebih strategis dan menjadi salah satu faktor keberhasilan peserta didik dalam mengarungi era disrupsi dengan penuh keyakinan (Anif dkk, 2019).

KONDISI KOMPETENSI GURU

Hadirin yang saya hormati

Harapan agar peran guru untuk dapat memenuhi tuntutan paradigma pendidikan era disruption sekarang ini tampaknya belum bisa diandalkan. Lebih-lebih dari hasil berbagai survei menyatakan bahwa kompetensi dan profesionalisme guru kita masih tergolong rendah sehingga kualitas pendidikan kita masih di bawah rata-rata kualitas pendidikan dunia. Beberapa indikator untuk menilai mutu atau kemampuan pendidikan di tingkat dunia, misalnya Program of Internasional Student Assessment (PISA) tahun 2015 yang melaporkan bahwa posisi Indonesia untuk kemampuan sains berada di tingkat ke-62 dari 72 negara (Anif, 2018 b) jauh di bawah Vietnam yang berada pada urutan ke-8 dan Thailand ke-54 (skor Indonesia 403, Thailand 421, dan Vietnam 525). Meskipun skor rata-rata di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2015 meningkat tetapi belum menunjukkan peningkatan yang signifikan (2009 = 383, 2012 = 382, 2015 = 403), masih di bawah Thailand dan Vietnam. Kemudian untuk kemampuan literasi, dari tahun 2009 sampai 2012 menunjukkan trend penurunan dari 402 menjadi 396, sedangkan tahun 2012 ke 2015 menunjukkan kenaikan meskipun hanya 1 poin, dari 396 naik menjadi 397.

Hadirin yang berbahagia

Gambaran untuk menunjukkan kondisi kompetensi guru dapat dilhat juga dari tolok ukur hasil UKG (Uji Kompetensi Guru, bagi guru yang telah bersertifikat pendidik) dan UKA (Uji Kompetensi Awal, bagi guru yang belum bersertifikat pendidik) menunjukkan bahwa guru-guru kiat belum menunjukkan kompe- tensi yang optimal. Meskipun dari tahun 2012 sampai dengan 2018 hasil rerata nasional menujukkan trend kenaikan dari 45,82 (tahun 2012), 47,84 (tahun 2013), 47,63 (turun, tahun 2014), naik menjadi 53,02 (tahun 2015), 64,92 (tahun 2016) 65,40 (tahun 2017), dan 67,45 (pada tahun 2018), kenaikan tersebut masih di bawah nilai 70,00 sehingga masih belum optimal (rentangan nilai 1 – 100).

Kemudian apabila dilihat dari hasil survei khusus uji kompetensi guru (UKG) tahun 2015, 2016, dan 2017 berdasarkan jenjang pendidikan bagi guru yang telah lulus sertifikasi dan telah mendapatkan tunjangan profesi menunjukkan skor tertinggi pada guru SMA pada tahun 2017 yaitu 69,55. Meskipun dari tahun 2015 sampai 2017 nilai UKG menunjukkan kenaikan namun belum signifikan karena nilai tertinggi dicapai oleh guru SMA pada tahun 2017 yang skor ini masih di bawah 70. Hal ini memberikan makna bahwa kompetensi guru kita untuk semua jenjang pendidikan dan semua jenis mata pelajaran masih tergolong rendah meskipun mereka telah menerima tunjangan profesi.

Hasil survei yang dilakukan oleh Ditjen PMPTK tahun 2008 tentang permasalahan pendidikan yang dikaitkan dengan keberada- an guru di Indonesia adalah: (1) jumlah guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S-1/D4 masih sekitar 39%; (2) sebagian besar guru mempunyai kompetensi yang rendah, dan sebagian masih ada yang belum mendapatkan pelatihan-pelatihan untuk menunjang peningkatan kompetensi dan profesionalismenya sebagai guru; (3) distribusi tidak merata, dan (4) tingkat mismatch masih cukup tinggi, yaitu 36,6 % (Baedowi, 2009 dalam Sutopo, 2009).

Tingginya tingkat mismatch ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kebijakan otonomi daerah, termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan sehingga banyak kepala pemerintah daerah yang mengangkat guru yang tidak didasarkan pada kesesuaian bidang pendidikannya. Kondisi ini memiliki implikasi yang cukup besar, terutama sekali terhadap kualitas guru dan pada gilirannya akan berimplikasi pada kualitas pendidikan secara umum (Baedowi, 2009).

PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU BERBASIS CPD

Hadirin yang berbahagia

Pengembangan profesionalitas guru telah mendapatkan perhatian secara global dari para peneliti pendidikan selama lima belas tahun terakhir. Salah satu model pengembangan profesi guru yang telah dikembangkan di beberapa negara Eropa dan Australia adalah model CPD (Continuing Professional Development) atau “Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan” (Edmon & Lee, 2001).

Menurut Guskey dalam Day & Sachs (2004), pengembangan profesional guru secara berkelanjutan (CPD) adalah sebagai sebuah proses yang sistemik dengan mempertimbangkan perubahan selama periode waktu tertentu dan menjelaskan semua tingkat organisasi. Selanjutnya, kualitas pengembangan profesional guru dipengaruhi oleh konten, proses, dan konteks, yang semuanya itu akan menentukan efek peningkatan pengetahuan dan praktik semua partisipan di sekolah yaitu guru, administrator, dan orang tua (Gibson & Skaalid, 2004). Aktivitas CPD harus dapat memenuhi kebutuhan profesional guru secara individu dan dapat menunjukkan korelasi antara kebutuhan pengembangan profesi guru dengan kebutuhan pengembangan sekolah. Beberapa aktivitas CPD yang direkomendasi oleh Guskey (2000) meliputi: (1) aktivitas formal; (2) kehadiran guru dalam kursus atau pelatihan- pelatihan tentang pengembangan metode pembelajaran, media dan alat pembelajaran, serta pengembangan bahan ajar; (3) private study dalam pengembangan bidang keilmuan masing-masing (subject matter) atau private study dalam bidang pendidikan secara umum; dan (4) riset berbasis kelas (classroom action research).

Hargreaves (1995), mengidentifikasi setidaknya ada empat hal yang terkait dengan pengembangan profesional guru secara berkelanjutan, yaitu bahwa konsep yang tepat dalam pengem- bangan guru harus dikaitkan dengan aspek teknis, moral, emosional, dan politik, yang empat dimensi tersebut saling berkaitan. Dimensi teknis, artinya pengembangan profesional guru tidak sekadar perolehan skill, tetapi juga pengayaan materi. Dimensi moral, artinya ada kesadaran yang melekat pada diri seorang guru bahwa mengajar itu suatu pekerjaan yang menuntut seseorang bertanggung jawab pada orang lain sehingga perlu melakukan perubahan tindakan yang lebih baik dan lebih baru. Kesadaran inilah yang memotivasi guru untuk terus melakukan pengayaan materi dan skill dalam proses pembelajaran sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya profesinya sebagai pendidik (Hargreaves, 1995).

Selanjutnya Hargreaves menjelaskan bahwa yang menyangkut dimensi emosional adalah lebih diarahkan kepada penguatan kepribadian guru sebagai sosok yang menjadi panutan, berwibawa, dan bijaksana. Adapun dimensi politik dalam pengembangan profesi guru ini dimaksudkan sebagai strategi atau cara untuk sebuah gerakan agar pemerintah dan masyarakat luas ikut men- dorong dan sekaligus mengawasi proses pendidikan yang tengah berlangsung sehingga guru merasa mendapat motivasi yang kuat dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yang memiliki kontri- busi besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negaranya.

Keempat dimensi tersebut di atas sebenarnya dapat dianalogikan dengan ciri kompetensi yang harus dimiliki oleh guru di Indonesia sebagaimana diamanahkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Ismail, 2010). Dimensi teknis menurut Hargreaves analog dengan kompetensi pedagogik dan profesional, dimensi moral analog dengan etika profesi guru yang merupakan bagian dari kompetensi kepribadian. Begitu pula untuk dimensi emosional adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dari pengembangan kompetensi kepribadian guru. Sementara itu, untuk dimensi politik menurut Hargreaves (1995) sebagai sebuah gerakan sosial serta tanggung jawab masyarakat terhadap proses pendidikan sehingga perlu dibangun saluran hubungan komunikasi yang baik antara pihak guru dan sekolah dengan masyarakat luas.

Di atas telah dijelaskan bahwa tuntutan untuk melakukan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan menjadi kebu- tuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Badan Pengembangan SDM dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDM-PMP) pada tahun 2009 telah merespon dengan mencanangkan kegiatan yang disebut dengan Continuing Proffesional Development (CPD) atau yang sering disebut dengan Pengembangan Keprofesian secara Berkelanjutan (PKB). Program kegiatan ini sebagai tindak lanjut terhadap terbitnya Permen PAN RB Nomor 16 Tahun 2009  tentang Jabatan Funsional Guru dan Angka Kreditnya.

Secara umum, prosedur pelaksanaan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) bagi guru pasca sertifikasi seperti pada gambar berikut.

Gambar di atas mencerminkan langkah-langkah dalam prosedur pelaksanaan kegiatan PKB yang cukup panjang sehingga membutuhkan waktu selama 9 bulan. Bahkan dalam kenyataannya, hampir semua guru peserta program PKB membutuhkan waktu lebih dari sembilan bulan. Artinya, pada akhir tahun ajaran guru- guru belum bisa menyelesaikan kegiatan dan akhirnya tidak dapat melakukan refleksi untuk menyusun rencana kegiatan untuk tahun berikutnya. Apalagi kegiatan PKB yang diikuti guru pasca serti- fikasi tersebut dipakai sebagai dasar untuk kenaikan pangkat dan pengembangan karier. Hal ini semakin bias dalam penentuan sasaran dan target yang akan dicapai terhadap kebijakan pem- binaan guru pasca sertifikasi yang dilakukan pemerintah. Apakah sasaran dan target kegiatan PKB sebagai bentuk pembinaan guru pascar sertifikasi berorientasi pada peningkatan dan pengem- bangan kompetensi atau kenaikan pangkat dan pengembangan karier guru?. Kerancuan orientasi tersebut membuat guru-guru peserta PKB melakukan kegiatan hanya sekadar formalitas dan memilih cara-cara yang lebih praktis untuk kepentingan kenaikan pangkat dan karier jabatan. Sementara, cara-cara yang akademis dan berorientasi untuk pengembangan dan peningkataan kom- petensi profesional semakin memudar.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anif (2014) bahwa hasil analisis tingkat efektivitas model peningkatan kompetensi guru pasca sertifikasi melalui kegiatan PKB menun- jukkan bahwa secara umum pada aspek pelaksanaan dan penge- lolaan kegiatan PKB dinilai masih kurang efektif dengan nilai persentase 51%. Sedangkan untuk aspek dampak kegiatan PKB terhadap proses pembelajaran, juga dinilai masih kurang efektif dengan nilai 58%. Sementara itu, untuk aspek materi  kegiatan PKB menunjukkan cukup efektif dengan nilai 63%.

Kurang efektifnya aspek pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan PKB di atas, berdasarkan hasil angket disebabkan oleh tiga faktor yaitu (1) waktu pelaksanaan yang cukup panjang, yaitu kurang lebih 9 bulan; (2) panjangnya rantai birokrasi; (3) kurangnya pengawasan oleh atasan; dan (4) pelibatan sebagai pendam- ping kegiatan masih banyak didominasi oleh guru-guru senior di sekolahnya (belum maksimal melibatkan akademisi dari perguruan tinggi).

Sedangkan kurang efektifnya dampak kegiatan PKB ter- hadap kualitas proses pembelajaran disebabkan tiga faktor, yaitu (1) tidak faktualnya dokumen evaluasi diri; (2) kurangnya du- kungan motivasi guru; dan (3) rendahnya tingkat monitoring dan evaluasi oleh atasan (kepala sekolah dan pengawas sekolah).

Neil dan Morgan (2003) melaporkan bahwa kegiatan pengembangan profesional guru di Inggris dilakukan dengan prosedur yang sederhana dan waktu yang diberikan tidak lebih dari tiga bulan. Bahkan tiap-tiap guru yang mendaftar untuk mengikuti kegiatan pengembangan profesional guru tersebut telah disediakan dana di depan sebelum dimulai kegiatan, dan pemerintah Inggris telah menyediakan dana sebesar 92 juta dolar AS selama tahun 2002. Hasil yang dicapai sangat menggembirakan, terutama bagi guru-guru yunior secara signifikan mampu meningkatkan kompetensi yang diharapkan, sehingga mereka telah menyatakan siap mengajar lebih baik lagi dibanding sebelum mengikuti kegiatan pengembangan profesional guru.

Onchwari & Keengwe (2008), melaporkan bahwa penggunaan model mentor-coaching dalam peningkatan profesionalisme guru di Dakota USA hasilnya sukup signifikan. Bahkan keberhasilan peningkatan profesionalisme guru ini memberikan dampak kesuksesan implementasi di kelas masing-masing.

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kegiatan pening- katan dan pengembangan kompetensi, di samping faktor prosedur yang sederhana dan durasi waktu yang tidak panjang, faktor model yang digunakan juga berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan. Dalam hal ini, model yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik guru masing-masing.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Guskey (2000) dalam Day & Sachs (2004), bahwa kualitas pengembangan pro- fesional guru secara berkelanjutan (Continuing Professional Deve- lopment for Teachers) sangat dipengaruhi oleh konten, proses, dan konteks, yang semuanya itu akan menentukan efek peningkatan pengetahuan dan praktik pengajaran di sekolah. Aktivitas CPD harus memenuhi kebutuhan profesional guru secara individu dan dapat menunjukkan korelasi antara kebutuhan pengembangan profesi guru dengan kebutuhan pengembangan sekolah.

Day & Sachs (2004) menambahkan bahwa di samping kesesuaian dengan kebutuhan individu guru dan pengembangan sekolah, kualitas pengembangan profesional guru secara ber- kelanjutan juga dipengaruhi oleh adanya aktivitas monitoring dan evaluasi kepala sekolahnya. Monitoring yang dilakukan sebagai bentuk pengawasan yang dilakukan kepala sekolah untuk melihat keseriusan dan perkembangan yang ada, dan sekaligus kegiatan evaluasi terhadap kelemahan-kelemahan yang terjadi selama guru mengikuti kegiatan pengembangan.

England adalah satu negara yang menggunakan model CPD (Continuing Professional Development) dalam proses pengem- bangan kompetensi dan profesionalisme guru yunior dan guru senior sebagai bagian dari pembinaan guru yang dilakukan oleh pemerintah di masing-masing wilayah/daerah. Dilaporkan oleh Neil & Morgan (2003), bahwa kebijakan pemerintah England dalam program CPD yang dilakukan di berbagai daerah telah me- nunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Program pem- binaan melalui program CPD ini telah dimulai sejak tahun 1990-an ketika pemerintah menyusun strategi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas yang diharapkan akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan secara umum.

Betapa pemerintah England telah serius melakukan pembinaan gurunya melalui program CPD untuk meningkatkan mutu pendidikan di negaranya, sehingga menganggarkan sejumlah dana untuk menunjang keberhasilan program pembinaan guru melalui CPD (Piere & Hunsaker, 2006). Rincian dana yang dianggarkan sebesar 92 juta dólar AS dari tahun 2002 sampai dengan 2005 untuk berbagai jenis kegiatan CPD yang meliputi Best Practice Research Scholarships (BPRS) and Teacher’s International Professional Development (TIPD), Professsional Bursaries, Sabbaticals, early professional development (EPD).

Berbeda dengan di England, pelaksanaan CPD di Wales baru berjalan 10 tahun kemudian yaitu tepatnya pada tahun 2002. Komitmen Pemerintah dalam pembinaan guru gurunya cukup besar bahkan banyak kegiatan yang dilakukan dalam rangka peningkatan dan pengembangan profesi guru, dan program CPD menjadi satu-satunya prioritas dibandingkan program/kegiatan lainnya (Purdon, 2007). Di Wales, program CPD di desain semata- mata dikaitkan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di negara tersebut. Dan semua kegiatan yang menjadi bagian penting dalam program CPD, bahwa penentuan kegiatan CPD tersebut harus disesuaikan dengan visi pengembangan sekolah dimana guru mengajar. Akibatnya, harus ada pengembangan secara terus-menerus terkait dengan model pembinaan dan model peningkatan kompetensi dan pengembangan profesionalitas guru, yang ini menjadi tugas pemerintah bersama stake holders lainnya.

Seperti halnya pemerintah England, pemerintah Wales juga memiliki komitmen tinggi terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan secara umum. Bahkan dalam hal pendanaan , kegiatan yang ada dalam program CPD juga mendapat perhatian besar (Lee, 2007). Neil dan Morgan (2003), telah melaporkan ada 9 skema CPD yang telah mendapatkan biaya besar, yaitu: (1) professional development bursaries; (2) visits and exchanges; (3) international visits and exchanges; (4) teacher research scholarships; (5) teacher sabbaticals; (6) professional networks; (7) whole-school initiatives; (8) evaluation of CPD; dan (9) research on CPD.

Salah satu skema yang dikembangkan tersebut, menurut Neil dan Morgan (2003) adalah skema yang disebut dengan professio- nal development bursaries (PDB). Skema ini di desain dalam bentuk beasiswa yang diberikan pemerintah kepada para guru untuk melakukan beberapa jenis kegiatan yang mendukung pogram CPD. Para guru dapat mengajukan anggaran sampai 500 dólar AS dalam kurun waktu tertentu kepada pemerintah, yang disertai komitmen guru untuk menyelesaikan kegiatan yang dimaksud dan memberi pelaporan secara lengkap.

Skema PDB ini menjadi skema yang paling diminati dan hasilnya paling baik diantara skema-skema lain sehingga banyak guru-guru di Wales yang mendaftarkan ke pemerintah untuk mendapatkan beasiswa melalui skema PDB tersebut. Ada alasan mengapa skema ini banyak diminati, salah satu alasannya karena bentuk kegiatan yang dilaksanakan secara langsung memberi dampak terhadap berkembangnya inovasi pembelajaran, pengem- bangan media pembelajaran, dan penguatan serta pengayaan materi pembelajaran, bahkan kegiatan pengembangan kompetensi berbasis ICT. Neil dan Morgan (2003), melaporkan bahwa pelaksanaan CPD di Wales telah mencapai keberhasilan peningkatan kompetensi guru sampai 72 %.

Sementara itu, model CPD di Irlandia sedikit berbeda  dengan yang dilakukan di England maupun di Wales. Di Irlandia program CPD dilakukan dengan pendekatan model pengembangan profesi secara terpadu. Sasarannya bukan hanya guru tetapi termasuk karyawan baik yang yunior maupun senior di semua seko- lah dan di semua jenjang pendidikan. Model yang dikembangkan pemerintah Irlandia ini memang secara lebih khusus di desain secara komprehensif dan terpadu untuk mendorong semua sekolah agar memiliki fokus pengembangan performansinya melalui pengembangan profesional guru dan stafnya secara berkelanjutan. Edmons & Lee (2001), menjelaskan bahwa salah satu konsekuensi dari model CPD terpadu yang dikembangkan pemerintah Irlandia ini menuntut biaya yang cukup besar, tetapi tidak menjadi masalah karena model CPD terpadu tersebut telah menjadi pilihan dan dijadikan alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negara tersebut.

Di Scotlandia, pilihan CPD menjadi instrument dalam pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru dimulai pada tahun 1997, dengan menggunaan kebijakan kerangka nasional pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru di Scotlandia. Model CPD yang dikembangkan dengan memadukan empat standar,  yaitu :  (1) initial  teacher education, (2) full registration, 3)  expert  teacher,  dan  (4)  scottish  qualification  for  headship (Wilson, 1999).

Neil dan Morgan (2003) telah melaporkan hasil evaluasi pelaksanaan model pengembangan profesi guru (model CPD) di Scotlandia melalui empat standar di atas dan hasilnya menun- jukkan ada peningkatan profesionalime guru secara signifikan yang ditunjukkan dengan penguasaan materi pembelajaran, penguasaan pengembangan media ajar, bahkan peningkatan kemampuan ICT dalam proses pembelajaran. Sebuah riset yang dikembangkan di Scotlandia tentang pelaksanaan CPD dilakukan oleh Purdon pada tahun 2001 dengan menggunakan sampel 420 guru yang mengikuti pengembangan kompetensi melalui CPD, dan hasilnya menunjukkan peningkatan sebesar 96 %.

Berdasarkan pengalaman pengembangan kompetensi guru berbasis CPD baik di Indonesia maupun di beberapa negara lain, Anif (2014) telah mengembangkan model tersebut menjadi sebuah model yang tidak saja berkelanjutan tetapi lebih komprehensif dan terpadu dengan menambahkan aspek pengawasan dan material content yang berorientasi pada perkembangan industri 4.0 dalam rangka menyongsong era disrupsi.

Model pengembangan kompetensi guru pasca sertifikasi yang dikembangkan oleh Anif ini, lebih mendasarkan pada kebu- tuhan guru kedepan yang menjadi tuntutan pengembangan profesi guru seiring dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang telah memasuki era industri 4.0. Menurut Rustaman (2007) bahwa guru di abad XXI adalah era guru yang mampu memprediksi perkembangan ipteks kedepan sehingga menuntut kesadaran untuk menguasai iptek secara lebih luas, lebih-lebih di era globalisasi ini.

Sebagai contoh, Joyce et al (2000) jauh sebelum muncul fenomena era disrupsi di Indonesia telah menjastifikasi kemung- kinan-kemungkinan yang terjadi terhadap perkembangan perkem- bangan ipteks kedepan sehingga menuntut pengembangan model  of teaching secara khusus, yang dalam hal ini lebih bersifat inquirí sebagai salah satu bagian dari scientific inquirí.

Model yang dikembangkan Anif tersebut memiliki lima karakter pengembangan dari model-model sebelumnya. Pertama, model ini diawali dengan uji kompetensi awal oleh guru yang akan dijadikan dasar untuk analisis kebutuhan kompetensi yang akan dikembangkan melalui perencanaan kegiatan peningkatan kompe- tensi di masing-masing MGMP sesuai dengan bidang mata pela- jaran. Dengan demikian, guru akan lebih fokus mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kelemahan kompetensi yang dimiliki guru, yang masing-masing guru berbeda.

Kedua, model ini memiliki aspek keberlanjutan atau berbasis continuous professional development (CPD) dan bersifat terpadu. Artinya, pengembangan kompetensi bersifat terus menerus dan memadukan antara kompetensi yang dibutuhkan dalam era disrupsi dengan peningkatan kemampuan penguasaan ipteks yang berorientasi pada era industri 4.0. Dengan demikian, kegiatan peningkatan kompetensi yang dilakukan oleh guru-guru lebih diarahkan dalam rangka pengembangan profesionalisme guru secara berkelanjutan sekaligus menyiapkan kompetensi  guru dalam menghadapi era industri 4.0. Guru harus merubah maindset- nya dalam proses pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada aspek sebagai motivator, inspiratory, dan fasilitator sehingga mampu membangun karakter siswa yang kreatif, inovatif, dan handal dalam pengertian mampu menghadapi perkembangan ipteks yang berkembang begitu cepat dan dinamis (Choudhary & Bhardwaj, 2011). Inilah disruption yang harus dihadapi secara holistic dalam pemenuhan kebutuhan SDM pendidik ke depan.

Ketiga, adanya penguatan aspek pengawasan oleh atasan (pengawas mata pelajaran atau kepala sekolah) yang dilakukan secara periodik setiap kegiatan akademik dan pengembangan profesi. Tugas kepala sekolah lebih diarahkan pada aspek fungsio- nal, artinya tidak saja untuk memenuhi tugas administratif tetapi lebih menonjolkan pada fungsi akademik serta mensinergiskan antara pengembangan kompetensi guru yang menjadi kebutuhan sekolah untuk mengantisipasi perkembangan Ipteks ke depan dengan visi misi sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan secara umum (Sandholtz & Shea, 2010).

Keempat, penguatan aspek evaluasi untuk mendapatkan feed-back dalam perencanaan kegiatan berikutnya. Evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen pendidikan yang memiliki peran penting dalam mewujudkan kualitas pendidikan. Peran dan fungsi evaluasi tidak sekedar memberikan informasi tentang capaian sebuah program tetapi lebih pada memberikan penyam- paian informasi yang aktual dan faktual kepada pemangku

kebijakan pendidikan sebagai dasar dalam rangka perencanaan dan pengembangan sistem pendidikan ke depan yang lebih baik (Pitsoe & Maila, 2012). Sementara itu, Jones & Walters (2008) menya- takan bahwa adanya proses evaluasi dalam manajemen SDM pendidik merupakan kesalahan besar dan tidak akan dihasilkan kinerja yang baik.

Kelima, Adanya kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan Perguruan Tinggi dalam kegiatan akademik maupun pengembangan profesi guru secara kontinyu dan terpadu. Hal ini menjadi tahapan yang sangat penting karena sekolah dan guru membutuhkan informasi lengkap tentang perkembangan ipteks mutakhir, sekaligus bisa menjadi sumber pembelajaran akademis dalam era disrupsi seperti sekarang ini, yang pada gilirannya akan mampu memberi penguatan kompetensi akademik bagi guru maupun peserta didiknya.

Tuxworth (1995) menjelaskan kompetensi guru dapat ditingkatkan melalui proses pendidikan dan latihan yang direncanakan secara matang dan kontinyu serta melibatkan sumber belajar dari kalangan ahli utamanya terkait dengan informasi perkembangan Ipteks yang mutakhir.

SIMPULAN

Bapak/Ibu yang saya hormati

Berdasarkan uraian di atas maka pada bagian akhir dari naskah pidato ini saya akan menyampaikan kesimpulan sebagai berikut: (1) berangkat dari kondisi kompetensi guru saat ini dan kebutuhan kompetensi guru masa mendatang, serta seiring dengan perkembangan ipteks yang begitu pesat maka pengembangan kompetensi guru secara terstruktur dan berkelanjutan serta ber- orientasi pada era industri 4.0 dan 5.0 adalah merupakan keniscayaan bagi peningkatan mutu pendidikan yang akan berimplikasi pada kesejahteraan kehidupan bangsa ke depan; (2) salah satu alternatif model pengembangan kompetensi yang efektif untuk guru adalah model CPD (Continuous Professional Development) atau yang sering disebut dengan Pengembangan Keprofesian secara berkelanjutan dan terpadu ; (3) untuk merespon perkembangan ipteks dan kebutuhan guru ke depan, maka Perguruan Tinggi harus mengembangkan kurikulum berbasis era disrupsi dan berorientasi pada perkembangan era industri 4.0 dan 5.0., (4) dalam Permenristeksi Dikti Nomor 55 Tahun 2017  tentang Standar Pendidikan Profesi Guru, terutama pada Pasal 7 ayat 1,2, dan 3; diperlukan pengembangan capaian kompetensi lulusan, tidak saja mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan namun juga harus berorientasi pada fenomena dan perkembangan ipteks yang terjadi pada masa mendatang, dan (5) Perguruan Tinggi harus mampu berperan dalam menciptakan guru yang handal dan professional serta Perguruan Tinggi menjadi pusat pengembangan kompetensi bagi alumninya sebagai bentuk tanggang jawab moral dan akademik yang merupakan satu kesatuan dalam proses pendidikan di kampus dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

Untuk mengakhiri orasi pidato pengukuhan ini maka ijinkanlah saya menyampaikan terimaka kasih kepada semua pihak, terutama kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Sumber daya Ipteks dan Pendidikan Tinggi Prof Dr dr Ali Ghufron Mukti MSc; Direktur SDM dan Karier Prof Dr Bunyamin Maftuh; serta Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah VI Jawa Tengah Prof Dr DYP Sugiharto MPd; Kons yang telah memberikan kepercayaan amanah kepada saya sebagai Guru Besar bidang ilmu manajemen pendidikan, yang tidak pernah saya impikan sebelumnya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Senat dan Majelis Guru Besar UMS yang telah menyetujui dan mengusulkan saya untuk menduduki jabatan akademik tertinggi ini sebagai Guru Besar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ucapan terima kasih sebagai ungkapan serta penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada: (1) guru-guru saya, yang saat ini hadir yaitu Bapak H Ahmad ZA BA (guru SMP), Bapak Rachmadi BA (guru SMA) yang tidak henti-hentinya memberikan bimbingan dan arahan sehingga saya bisa mencapai kelulusan terbaik di SMP maupun di SMA. Terima kasih pula kepada teman-teman SMP dan SMA yang berkenan hadir di acara pengukuhan ini, kadang kita rindu berkumpul untuk saling menyapa mengenang masa-masa lalu. Saya mohon maaf selama ini tidak bisa membersamai teman-teman yang sering bertemu.

Terima kasih juga saya haturkan kepada Prof Dr S Djalal Tanjung MSc (Alm) sebagai dosen pembimbing skripsi dan tesis di Fakultas Biologi UGM. Terima kasih sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada Prof Dr Trijoko Raharjo MPd, Prof Dr Samsudi MPd; dan                  Dr Suprihatin MPd sebagai promotor, Co promotor I dan Co Promotor II, beliau-beliau tidak pernah berhenti memberikan motivasi, membimbing, dan menginspirasi sehingga saya dapat menyelesaikan studi S3 tepat waktu, bahkan saya dapat menyandang sebagai lulusan terbaik dalam satu angkatan wisuda baik S1, S2, dan S3 di Universitas Negeri Semarang.

Pada kesempatan ini, saya dengan tulus hati menyampaikan salam sungkem dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya, almarhum Bapak Sumadi dan almarhumah Ibu Aisyah yang telah mengasuh dan membesarkan saya, meskipun kami hidup dalam derita kemiskinan yang cukup panjang tetapi mereka sangat bermakna dalam hidup saya, terutama makna hidup dalam karakter kemandirian dan semangat spiritualitas dalam menjalankan perintah agama. Mereka berdua dengan ikhlas tidak pernah patah semangat untuk terus berdoa di setiap tengah malam untuk kesuksesan anak-anaknya. Namun, sebelum saya mampu mewujudkan harapan besar dan memba- hagiakan mereka berdua, mereka harus meninggalkan kami karena penyakit yang dideritanya.

Tiada kata maupun kalimat yang bisa mengekspresikan ungkapan rasa syukur saya, kecuali ucapan terima kasih kepada istri tercinta Mimi Savitri MA PhD atas kebersamaan dan pengertiannya selama ini, beliau juga selalu memberikan semangat dan motivasi yang sangat bermanfaat bagi saya. Kepada anak- anakku yang sangat saya sayangi, dr. Nida Faradisa, Dzakkia Ulul Azmi SSJ; Muhammad Syadid Al-Fauzi, bapak betul-betul menyampaikan terima kasih yag tak terhingga atas pengertiannya karena bapak tidak bisa membersamai setiap saat, dan bapak selalu mengingatkan untuk menjadi orang yang kuat, mandiri, sukses, dan bermakna bagi masyarakat luas. Hidup ini adalah sebuah per- juangan panjang maka kunci sukses adalah usaha dan do’a.

Pada kesempatan ini, saya juga menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada kakak saya, Almh Ahadiyati dan H Sunardi, adik saya Siti Khotijah SPd, Zaeroh Anis, dan Nur Faizah SE; pada masa kecil kami selalu bersama- sama dalam suka dan duka. Kakak saya Almh Ahadiyati dan H Sunardi mereka berdua yang selalu memotivasi dan menganjurkan saya untuk terus melanjutkan mencari ilmu setinggi-tingginya meski dalam kondisi ketidakmampuan. Mereka ikhlas berkorban membiayai sekolah saya dan kakak saya H Sunardilah yang paling besar berjasa dalam membiayai kuliah saya. Terima kasih Mas Nardi.

Akhirnya, kepada semua pihak yang saya hormati, yang tidak dapat saya sebut satu persatu, saya menyampaikan terima kasih atas kesabaran dan keikhlasannya dalam mengikuti acara ini sampai akhir. Saya mohon maaf dengan tulus jika ada sesuatu  yang tidak berkenan.

Nasrumminallah wa fatkhunkorib Wassalamu’alaikum wr.wb.ato

Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof Dr Sofyan Anif MSi

Bidang Ilmu Manajemen Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kamis, 8 Agustus 2019

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!