28.6 C
Jakarta

Pengesahan RUU TNI Ancam Demokrasi Indonesia

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Pengesahan RUU TNI Ancam Demokrasi Indonesia. Maarif Institute for Culture and Humanity menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Maret 2025.

Sebelumnya, RUU ini dibahas anggota parlemen di akhir pekan di luar gedung parlemen secara tertutup pada 14-15 Maret 2025, sehingga proses perumusan dan pengesahan RUU TNI menjadi UU TNI menyalahi prinsip nilai etik Pancasila dan demokrasi: musyawarah mufakat dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Demikian siaran pers yang diterima redaksi di Jakarta pada Jumat (21/3/2025) sore. Siaran pers yang ditandatangani oleh Andar Nubowo, DEA., Ph.D., Direktur Eksekutif Maarif Institute ini menyebutkan, revisi UU TNI memuat sejumlah substansi pasal yang berpotensi membahayakan iklim demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia, yaitu:

Pertama, perluasan peran militer dalam jabatan sipil memungkinkan perwira aktif menduduki posisi strategis di lembaga negara tanpa perlu mengundurkan diri dari dinas militer (perubahan atas pasal 47 ayat 1). Hal ini beresiko menciptakan dominasi militer di sektor publik dan mengancam prinsip supremasi sipil.

Kedua, meningkatnya keterlibatan TNI di luar urusan pertahanan, termasuk di bidang keamanan siber dan penanganan narkotika (perubahan atas pasal 7 ayat 2), berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan mengganggu kerja lembaga sipil.

Ketiga, proses pembahasan revisi yang dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik mencerminkan kurangnya transparansi dan mengabaikan prinsip demokrasi deliberatif.

Supremasi Sipil

Menurut Andar, sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman moderat, keindonesiaan yang majemuk dan demokratis, dan kemanusiaan universal, Maarif Institute memandang bahwa demokrasi yang sehat merupakan buah dari supremasi sipil yang kokoh dan partisipasi publik yang inklusif.

Maarif Institute sangat menjunjung tinggi konsep syura (musyawarah) yang terbuka sebagai aspek fundamental dalam pengambilan berbagai keputusan yang berkaitan dengan keadilan sosial (al-’adalah al-ijtima’iyyah) dan kemaslahatan umum (al-maslahah al-’ammah).

“Rapat tertutup DPR dalam pembahasan RUU TNI yang diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi tentu bertolak belakang dengan konsep syura sekaligus mencederai prinsip Islam moderat dan demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, keterbukaan, dan inklusif,” ujarnya.

Dengan disahkannya RUU TNI oleh para anggota parlemen DPR RI, Maarif Institute menegaskan enam poin berikut ini:

  1. Ancaman terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi. Maarif Institute menegaskan bahwa pengesahan RUU TNI ini bertentangan dengan prinsip dasar supremasi sipil sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan memperluas peran TNI dalam jabatan publik di instansi sipil, negara berpotensi mencederai prinsip demokrasi dimana kekuasaan sipil harus berada di atas militer.
  2. Bertentangan dengan Semangat Reformasi dan UU TNI Tahun 2004. Revisi ini melanggar semangat reformasi 1998 yang secara tegas menghapuskan Dwifungsi ABRI. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 39 secara eksplisit membatasi peran TNI di ranah pertahanan negara, dan Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan di lingkungan Kementerian Pertahanan dan instansi yang berhubungan langsung dengan pertahanan negara. Pengesahan revisi ini membuka ruang bagi kembalinya dominasi militer dalam urusan sipil, bertentangan dengan ketentuan hukum tersebut.
  3. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan dan Lemahnya Akuntabilitas. Keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil di berbagai lembaga negara, sebagaimana diatur dalam revisi UU TNI, meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” di mana semua lembaga negara, termasuk TNI, harus tunduk pada hukum dan prinsip akuntabilitas publik.
  4. Ancaman terhadap Hak Asasi Manusia. Maarif Institute juga mengingatkan bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil berpotensi membatasi ruang kebebasan sipil dan melanggar hak asasi manusia. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin “Setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang adil” dan prinsip non-diskriminasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  5. Ancaman terhadap Masa Depan Demokrasi di Indonesia. Pengesahan revisi UU TNI ini berpotensi merusak masa depan demokrasi di Indonesia dengan mengaburkan batas antara otoritas sipil dan militer. Keterlibatan TNI dalam jabatan sipil mengganggu prinsip checks and balances yang menjadi pilar utama sistem demokrasi modern. Selain itu, revisi ini dapat membuka ruang bagi praktik otoritarianisme terselubung yang mengancam kebebasan sipil dan hak politik warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
  6. Ketidaksesuaian dengan Prinsip Islam Progresif-Moderat. Pengesahan RUU TNI tidak sejalan dengan prinsip Islam Progresif-Moderat yang memiliki ciri semangat kebangsaan yang menghargai keberagaman dan demokrasi, serta kemanusiaan universal yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Proses pengambilan keputusan harus menekankan nilai musyawarah, inklusivitas, dan penekanan pada maslahah. Nilai-nilai tersebut seharusnya mampu menciptakan tata pemerintahan yang adil dan berorientasi pada kebaikan bersama, guna mencapai “baldatun thayyibatun” atau masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Dengan demikian, revisi ini juga dinilai gagal memenuhi nilai-nilai keislaman yang mendasari prinsip keadilan sosial dan keseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Desak Presiden

Berdasarkan enam poin di atas, Maarif Institute, sebagai lembaga yang pro terhadap nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), menyatakan sikap sebagaimana berikut ini:

  1. Mendesak Presiden untuk menolak menandatangani revisi UU TNI dan mengembalikannya ke DPR untuk dikaji ulang secara transparan dan partisipatif.
  2. Menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, serta seluruh elemen bangsa untuk terus mengawasi implementasi revisi UU TNI ini dan mengadvokasi penegakan supremasi sipil.
  3. Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan lembaga pengawas lainnya untuk memantau dampak revisi ini terhadap perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

“Maarif Institute tetap berkomitmen untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan demokrasi di Indonesia. Kami percaya bahwa supremasi sipil adalah prinsip fundamental dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan melindungi hak-hak warga negara,” ujarnya.

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!