JAKARTA, MENARA62.COM – Pandemi Covid-19 telah memperparah kerentanan dan meningkatkan resiko anak mengalami berbagai tindak kekerasan baik fisik, psikis, hingga seksual. Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kemen PPPA, Ciput Eka Purwianti menegaskan upaya penghapusan kekerasan terhadap anak tidak bisa ditunda.
Untuk itu, Ciput menuturkan dalam melindungi anak dari ancaman berbagai bentuk kekerasan, membutuhkan sinergi dari semua pemangku kepentingan melalui pelaksanaan sistem perlindungan anak yang terintegrasi, salah satunya dengan menghadirkan sistem pendidikan positif, aman dan nyaman bagi anak.
“Untuk memastikan tidak adanya anak yang tertinggal atau “Leaving no child behind” dan mencapai target 16.2 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), dibutuhkan upaya terkoordinasi dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan dalam menjalankan sistem perlindungan anak yang terintegrasi. Sistem ini dapat mengidentifikasi risiko dan kerentanan anak juga orangtua/wali mereka, serta merespon kerentanan tersebut, melalui layanan multi-sektor yang terintegrasi dan dapat diakses semua pihak,” ungkap Ciput dalam Dialog Tingkat Tinggi pada Konferensi Regional Kedua UNICEF untuk Memperkuat Implementasi Strategi INSPIRE dalam Mengakhiri Kekerasan Terhadap Anak Selama dan Paska Covid-19.
Pandemi Covid-19 memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan anak, salah satunya pada bidang pendidikan. Adanya kebijakan belajar dari rumah, turut meningkatkan risiko anak mengalami kekerasan dan eksploitasi, bahkan berakhir di jalanan, diperdagangkan, berkonflik dengan hukum, atau dipaksa menikah di usia dini, terutama pada anak perempuan.
Selain itu, kekerasan pun bisa dialami anak di lingkungan sekolahnya, seperti perundungan dan hukuman fisik yang membuat anak menderita, mempengaruhi kesehatan mental mereka, bahkan risiko serius lainnya. Oleh karena itu, sangat penting mewujudkan lingkungan sekolah maupun lingkungan pendidikan lainnya yang aman dan nyaman, guna memastikan anak terlindungi, dapat belajar dengan optimal, bermimpi dan percaya diri mengejar mimpinya.
“Anak-anak dipengaruhi contoh yang mereka lihat dari interaksi orang tua atau wali, teman sebaya, guru, dan komunitas mereka. Untuk itu, kita harus memastikan orang tua dan wali memiliki pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, para guru harus menerapkan disiplin positif (bukan hukuman fisik), dan masyarakat harus berani menentang dan menghentikan praktik salah terhadap anak termasuk kekerasan berbasis gender,” ujar Ciput.
Ciput menegaskan anak adalah agen perubahan yang berperan penting untuk memutus siklus kekerasan, namun hal tersebut hanya bisa terwujud jika semua pemangku kepentingan bekerja sama mulai dari lingkungan rumah. “Hal terpenting adalah anak-anak perlu mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya, berani mengatakan “tidak” dalam kondisi yang membahayakan dirinya, didengarkan suaranya, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait hal-hal yang berdampak pada kehidupannya, baik di rumah, sekolah, dan masyarakat,” jelas Ciput.
Dalam hal kebijakan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan penguatan sistem perlindungan anak sebagai strategi utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 dengan tujuan untuk menurunkan kekerasan terhadap anak dan menurunkan angka perkawinan anak.
“Pada 2020, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 65 telah memperluas mandat Kemen PPPA untuk menyediakan layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun dari 514 kabupaten dan kota, belum semuanya memiliki layanan yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu ada penetapan standar layanan yang menerapkan sistem perlindungan anak terpadu, dengan melibatkan sektor-sektor utama seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan penegak hukum di semua tingkatan,” terang Ciput.
“Saat ini, kami sedang memperbarui Strategi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Anak dengan mengadaptasi 7 (tujuh) strategi INSPIRE yang merupakan Program WHO dan UNICEF untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak sebagai dampak dari pandemi dengan melibatkan 60 perwakilan anak dari 10 provinsi yang berkontribusi secara nyata dalam prosesnya. Melibatkan anak dengan cara yang aman dan bermakna merupakan kunci dalam pencegahan dan penanggulangan penghapusan kekerasan terhadap anak,” tambah Ciput.
Proses ini dan upaya-upaya lainya yang dilakukan dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap anak di Indonesia adalah contoh kolaborasi yang baik antara pemerintah, lembaga PBB, dan mitra pembangunan lainnya.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak yang menjabarkan 5 (lima) strategi utama dan menekankan pada perubahan norma sosial, mengoptimalkan kapasitas anak, memastikan aksesibilitas terhadap layanan yang komprehensif, dan memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan.
Pada kesempatan yang sama, Regional Director WHO Western Pasific Regional Office, Takeshi Kasai mengungkapkan upaya pencegahan dan penanganann kekerasan terhadap anak selama pandemi merupakan isu jangka panjang sosial ekonomi yang tidak bisa ditunda lagi. Pandemi menyebabkan kasus kekerasan terhadap anak meningkat. “Untuk memastikan anak tidak tertinggal dan sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak, WHO dan mitra terkait bekerja sama meningkatkan kesejahteraan dan keamanan anak dengan kerangka INSPIRE demi mewujudkan kawasan yang sehat dan aman di dunia,” ujar Takeshi.
Sementara itu, Regional Director UNICEF East Asia and The Pasific Regional Office, Marcoluigi Corsi menjelaskan anak merupakan generasi masa depan yang harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan dalam kondisi apapun. Kekerasan pada anak bisa dicegah jika semua pihak dapat mengambil tindakan bersama melalui pendekatan multisektor, seperti memberikan edukasi yang baik pada orangtua terkait kesejahteraan mental dan pengasuhan optimal. “UNICEF mendorong upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dengan memastikan konferensi ini dapat berhasil dan menjadi inspirasi dalam melancarkan aksi untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap anak,” tegas Marcoluigi.
Pada rangkaian acara ini, turut hadir anak-anak perwakilan dari berbagai negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam yang menyampaikan rekomendasi terkait hasil survei regional kepada 9.333 anak dari 13 negara dan FGD kepada anak-anak perwakilan enam negara, termasuk Indonesia. Adapun hasil rekomendasi tersebut menyoroti pentingnya meningkatkan pemahaman anak untuk memastikan terjaganya kesehatan mental, kesejahteraan anak, dan melindungi anak dari kekerasan di media daring; meningkatkan kapasitas guru demi mengakhiri bullying di sekolah dan mencegah adanya hukuman fisik; memberikan edukasi pranikah kepada para calon orangtua untuk memastikan terciptanya lingkungan rumah yang positif bagi anak; serta melibatkan anak sebagai agen perubahan dalam mengakhiri segara bentuk kekerasan pada anak.