BAGHDAD, MENARA62.COM — Lusinan demonstran Irak menyerbu konsulat Iran di kota suci kaum Syiah, Karbala, Ahad (4/11/2019) malam. Mereka menurunkan bendera Iran, menggantinya dengan bendera Irak, dan membakar bagian dinding luar konsulat negara yang dianggap mendukung pemerintahan Irak yang bobrok dan korup.
Insiden itu terjadi sehari setelah demonstrasi meluas di Baghdad, ibukota Irak, dan selatan negara itu. “Staf di konsulat melarikan diri melalui pintu belakang,” kata sumber Arab News.
Sebelumnya, pengunjuk rasa Irak memblokir jalan-jalan di Baghdad. Mereka meningkatkan tekanan pada pemerintah agar mengundurkan diri.
Para pengunjuk rasa memblokir satu jalan dengan ban terbakar dan kawat berduri, dan mengangkat spanduk bertuliskan “Jalan ditutup atas perintah rakyat,” lapor AP.
Mereka tampaknya meminjam taktik dari Lebanon, di mana demonstrasi anti-pemerintah serupa telah berlangsung sejak 17 Oktober. Mereka berulang kali memblokir jalan-jalan utama.
Puluhan ribu pengunjuk rasa berkumpul di pusat Tahrir Square di Baghdad dan di seluruh Irak selatan dalam beberapa hari terakhir. Mereka menyerukan perombakan sistem politik yang didirikan setelah invasi pimpinan Amerika Serikat (AS) pada 2003.
Para pengunjuk rasa juga mengambil alih sebuah menara besar di alun-alun yang ditinggalkan setelah rusak dalam perang. Ribuan siswa meliburkan diri untuk ambil bagian dalam protes: ikut menyalahkan elite politik, mengecam penjarahan asset negara, pengangguran yang tinggi, dan layanan publik yang buruk.
Protes anti-pemerintah di Irak berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung awal Oktober, lalu rehat sejenak dan memulai lagi aksi besar-besaran pada 25 Oktober.
Di Baghdad, aksi mereka berpusat di kawasan alun-alun Tahrir Square. Mereka sering terlibat bentrok dengan aparat di dua jembatan menuju ke Zona Hijau yang dijaga ketat, tempat gedung-gedung pusat pemerintahan dan kedutaan asing berada.
Pasukan keamanan acap menembakkan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam ke arah demonstran. Untuk meredam unjuk rasa juga diterjunkan milisi dan penebak jitu (sniper) yang disebut-sebut di bawah kontrol Iran.
Dalam dua gelombang unjuk rasa itu, lebih dari 250 orang tewas dan ribuan lainnya terluka. Sebagian besar korban adalah dari pehak demonstran.
Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak juga mengungkapkan hilangnya Siba al-Mahdawi. Dia adalah seorang dokter dan aktivis people power yang diculik pada Sabtu (2/11/2019) malam oleh kelompok yang tidak dikenal.
Al-Mahdawi adalah salah satu dari sejumlah dokter yang secara sukarela memberikan bantuan medis kepada para pengunjuk rasa. Demonstran menuntut aparat keamanan untuk mengungkap keberadaannya.
Perdana Menteri (PM) Adel Abdul-Mahdi, yang mengalami krisis kepercayaan dari rakyat, pada malam kejadian penculikan itu menyerukan perlunya menjaga perdamaian, keamanan, dan keselamatan para pengunjuk rasa. Tapi, tekanan atas dirinya untuk mengundurkan diri terus begaung.
Sementara Presiden Irak Barham Salih mengatakan, PM Abdul-Mahdi bersedia mengundurkan diri. Tapi, setelah para pemimpin politik menyetujui penggantinya.
Irak diperintah oleh sistem politik sektarian yang mendistribusikan kekuasaan dan jabatan tinggi di antara mayoritas Syiah, Sunni, dan Kurdi. Negara ini menyelenggarakan pemilu reguler, tetapi didominasi oleh partai-partai keagamaan sektarian, yang banyak di antaranya memiliki hubungan dekat dengan Iran.
Partai-partai politik bertengkar karena rebutan kursi dikabinet. Para menteri kemudian berbagi kue pekerjaan kepada para pendukung mereka, sehingga terjadi korupsi yang massif dan berdampak pada memburuknya layanan publik.
Lebih dari 15 tahun setelah invasi pimpinan AS yang menggulingkan Presiden Saddam Hussein, Baghdad dan kota-kota lain masih sering mengalami pemadaman listrik, air ledeng tidak dapat diminum, dan infrastruktur publik hancur.
Hanya sedikit orang Irak yang menikmati manfaat dari kekayaan minyak negara itu. Sebagai anggota OPEC, Irak memiliki cadangan minyak terbesar keempat di dunia.