JAKARTA, MENARA62.COMāSeiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk penyiksaan juga semakin modern. Penyiksaan juga tidak saja terjadi di negara-negara kecil atau berkembang, bahkan di negara-negara maju pun, penyiksaan berpeluang terjadi.
Program Officer Association for the Prevention of TortureĀ (APT) Shazeera Ahmad Zawawi mengakui, selama masih ada interaksi kuasa antara orang yang memiliki kuasa dan orang yang dicabut kebebasannya, penyiksaan sangat mungkin terjadi.
āPenyiksaan secara fisik mungkin berkurang, tetapi penyiksaan psikologis juga tak kalah mengerikan,ā ujar Shazeera saat berkunjung ke kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Selasa (1/8).
Shazeera berdialog dengan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua LPSK Teguh Soedarsono, tenaga ahli dan pejabat struktural di lingkungan LPSK. Dia juga menggambarkan singkat tujuan APT yang berkeinginan mewujudkan dunia tanpa penyiksaan, seraya berharap Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang meratifikasiĀ The Optional Protocol to the UN Convention againstĀ TortureĀ and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or PunishmentĀ (OPCAT).
Menurut Shazeera, penyiksaan biasanya tidak dilakukan di tempat terbuka. Bentuk penyiksaan juga berkembang, tidak hanya dipukul secara fisik, akan tetapi, memasukkan ratusan orang ke dalam satu sel yang kecil dan sempit, juga termasuk penyiksaan.
Namun, Shazeera menegaskan, tidak ada jaminan penyiksaan hanya terjadi di negara kecil atau berkembang saja, karena dari pengalamannya, penyiksaan juga ditemukan di negara-negara yang notabene perekonomian sangat mapan.
APT sendiri, kata dia, sudah menggalang kerja sama di Indonesia sejak 8 tahun lalu, dimulai dengan memberikan dukungan bagi Dirjen HAM Kemenkumham untuk membuat pelatihan dan panduan bagi penegak hukum menghindari terjadinya penyiksaan. Meskipun Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi OPCAT, Shazeera mengapresiasi langkah-langkah Pemerintah Indonesia yang sudah menyiapkan berbagai upaya yang senafas dengan OPCAT untuk melawan penyiksaan.
Shazeera juga menyambut baik layanan bantuan medis dan rehabilitasi psikologis yang disiapkan LPSK. Karena menurut dia, dari hasil diagnosa dokter, bisa ditemukan bekas-bekas adanya penyiksaan di tubuh korban. āKita berharap ke depan akan ada komitmen yang jelas dari Indonesia tentang penyiksaan. Kalau pun nanti hal itu akan diwujudkan melalui ratifikasi OPCAT, itu adalah harapan dari kami,ā tutur dia.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menjelaskan, LPSK juga hadir sebagai bagian untuk mencegah terjadinya penyiksaan, terutama yang dilakukan penegak hukum pada saat melakukan pemeriksaan maupun pembinaan seperti di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan.
Sebab, LPSK memiliki kewenangan mendampingi saksi atau korban pada saat mereka diperiksa. Dengan kehadiran LPSK di ruang pemeriksaan, diharapkan bisa meminimalisir terjadinya penyiksaan.
Terkait ratifikasi OPCAT, Semendawai mengungkapkan, sebenarnya Indonesia sudah lebih maju pada sekitar tahun 2008, dimana rencana melawan penyiksaan ini sudah diatur dalam Rencana Aksi Nasional HAM. Bahkan, disebut-sebut Indonesia akan meratifikasi OPCAT pada tahun 2009.
āKarena terkait kebijakan luar negeri, maka rencana itu harus meminta persetujuan Kemlu dan Kementerian Pertahanan. Dan, hingga hingga rencana untuk meratifikasi OPCAT seakan meredup,ā tutur Semendawai kepada Menara62.com
Meskipun tidak tahu sampai kapan Indonesia akan turut meratifikasi OPCAT, Semendawai menegaskan, sebenarnya Indonesia sudah menjalankan semangat dari OPCAT itu sendiri. Salah satu contohnya adalah penandatangan MoU antara Kemenkumham dengan lima institusi, yaitu LPSK, Komnas HAM, Ombudsman, KPAI, dan Komnas Perempuan, yang isinya Kemenkumham memberi ruang bagi lima institusi itu untuk melakukan kunjungan terkait tugas dan fungsi masing-masing.