JAKARTA, MENARA62.COM — Perjuangan mencari keadilan, memang tidak mudah. Namun, perjalanan untuk mempertahankan harta warisan keluarga yang dilakukan Kolonel Inf. Eka Yogaswara, memang harus ditempuhnya. Saat ini ia harus berhadapan dengan tuduhan kriminalisasi di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, sebagai buntut dari sengketa lahan yang belum ada keputusan akhir dari pengadilan.
Kamis (13/2/2025) pagi, R Agus Sasongko, Penasehat Hukum Sipil Kolonel Inf. Eka Yogaswara, membacakan eksepsi (nota keberatan) terhadap dakwaan yang dibacakan oleh Oditur Militer Tinggi pada hari Kamis, tanggal 27 Februari 2025 dalam perkara a quo, di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
Kolonel Inf. Eka, didakwa dengan tuduhan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin oleh oditur militer di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai.
Ini sidang ketiga bagi Kolonel Inf. Eka Yogaswara SH MH dalam kasus yang dilaporkan oleh Tessa. Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.
“Bahwa Nota Keberatan berikut ini Kami ajukan berdasarkan ketentuan Pasal 130 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, yang pada intinya mengamanatkan agar surat dakwaan berisi uraian fakta secara cemat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan,” ujar Sasongko dihadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Kolonel Kum Siti Mulyaningsih, S.H., M.H. selaku hakim ketua yang memimpin sidang.
Dan jika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut Sasongko, maka dakwaan dapat dinyatakan batal demi hukum. Hal ini tidak semata-mata untuk kepentingan terdakwa maupun sekedar memenuhi formalitas dalam proses hukum acara belaka, melainkan agar peradilan berlangsung secara fair dan adil,sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Tepat sebelum sidang pembacaan eksepsi dilakukan, ruang sidang yang digunakan dipindah ke ruang yang lebih kecil. Kondisi ini membuat seluruh keluarga dan sahabat dari keluarga besar Kolonel Inf. Eka Yogaswara tidak kebagian tempat duduk. Pasalnya, tempat duduk yang ersedia sudah lebih dahulu tersedia dipenuhi oleh mahasiswa magang dan pegawai muda PT PFN yang ikut hadir di sidang tersebut.
Sementara itu, tiga orang pensiunan Perum PFM yang datang untuk memberikan dukungan moril pada Kolonel Inf. Eka Yogaswara, terpaksa berdiri. Salah satunya, mantan Dirut PT PFN Eddy Nor.
Eksepsi
Beberapa hal yang disampaikan Sasongko sebagai Nota Keberatan yang secara prinsip menjadi alasan keberatan adalah: eksepsi kewenangan menuntut hapus atau gugur.
“Eksepsi Dakwaan Nebis In Idem (vide : Pasal 76 KUHPidana), bahwa yang dimaksud Nebis In Idem, sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHPidana adalah “Kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap,” ujar Sasongko.
Ia melanjutkan, di dalam surat Dakwaan Oditur Militer Tinggi, terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana penyerobotan tanah dan memasuki pekarangan tanpa ijin, sebagaimana diatur dalam Pasal 385 ke-4 KUHPidana dan Pasal 167 ayat (1) KUHPidana. Kedua pasal tersebut pada hakekatnya merupakan akibat dari adanya perselisihan/ sengketa kepemilikan atas tanah Adat yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan, antara keluarga terdakwa dan para ahli waris dengan Departemen Penerangan-Perum PFN .
“Bahwa perkara a quo secara yuridis adalah Nebis In Idem dengan perkara terdahulu, yaitu dalam Perkara Nomor : 35-K/ PMT-II/ AD/ X/ 2016, tanggal 21 Juni 2017 (terlampir dalam Berkas Perkara/ Bukti T-1) – dimana terdakwa telah dituntut atas dugaan tindak pidana pengrusakan papan nama milik Perum PFN, tindak pidana mana pada hakekatnya juga merupakan akibat dari adanya perselisihan/sengketa kepemilikan hak atas tanah Adat, yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan, yang amar putusannya berbunyi : “Menyatakan Penuntutan Oditur Militer Tinggi atas perkara Terdakwa Eka Yogaswara, Pangkat Letnan Kolonel Inf. NRP 11960002910567 tidak dapat diterima dan Menyatakan kewenangan menuntut pidana terhadap perkara ini hapus karena daluwarsa”. 3Terhadap putusan tersebut Oditur Militer Tinggi telah mengajukan permohonan Kasasi dalam perkara Nomor : 421 K/ MIL/ 2017, tanggal 16 November 2017 (terlampir dalam Berkas Perkara/ Bukti T-2), dengan amar putusan berbunyi, “Menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi/ Oditur Militer Tinggi pada Oditurat Militer Tinggi II Jakarta,” ujarnya.
Bahwa agar suatu perkara melekat unsur nebis in idem maka harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 76 KUHPidana, yaitu :
a. Apa yang didakwakan sudah pernah diperkarakan sebelumnya. Bahwa dalam perkara a quo apa yang didakwakan terhadap terdakwa pada hakekatnya sudah pernah diadili sebelumnya yang sama-sama merupakan akibat dari adanya perselisihan/ sengketa kepemilikan atas tanah Adat, yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan antara keluarga terdakwa dan para ahli waris dengan Departemen Penerangan – Perum PFN ;
b. Terhadap perkara yang terdahulu telah berkekuatan hukum tetap, bahwa perkara yang telah pernah diputus hakim terdahulu telah berkekuatan hukum tetap di Tingkat Kasasi ;
c. Putusan yang terdahulu bersifat positif. Bahwa putusan yang terdahulu telah berakhir dengan tuntas dan pasti, dengan amar putusan di Tingkat Kasasi berbunyi : “Menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi/ Oditur Militer Tinggi pada Oditurat Militer Tinggi II Jakarta” ;
d. Subyek hukumnya sama. Bahwa subyek hukum dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu dan memiliki hubungan hukum yang sama pula, yaitu Terdakwa selaku Terlapor dan Perum PFN selaku Pelapor ;
e. Obyek perkara sama. Bahwa dalam perkara a quo inti pokok yang diperkarakan di dalam surat Dakwaan adalah sama dengan inti pokok perkara yang terdahulu, yaitu sama-sama sebagai akibat dari adanya perselisihan/ sengketa kepemilikan hak atas tanah yang terletak di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan antara keluarga terdakwa dan para ahli waris dengan Departemen Penerangan RI – Perum PFN ;
Bahwa asas Nebis In Idem juga diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UndangUndang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
“Mengingat kedua perkara pidana tersebut pada hakekatnya sasarannya adalah sama, yaitu hendak merampas hak kemerdekaan tedakwa dan sekaligus ingin merebut dan menguasai tanah Adat secara melawan hukum oleh Perum PFN, maka Kami mohon dengan segala hormat kepada Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta agar surat Dakwaan Oditur Militer Tinggi dinyatakan gugur/ hapus karena Nebis In Idem oleh karena itu patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk),” ujarnya.
Sasongko juga mengungkapkan, Eksepsi Tuntutan Daluwarsa (vide : Pasal 78 KUHPidana). Ia menjelaskan, bahwa dalam perkara a quo, terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana secara Kumulatif, yaitu :
a. Dakwaan Kesatu: melanggar Pasal 385 ke-4 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun, dan
b. Dakwaan Kedua: melanggar Pasal 167 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan ;
“Terhadap Dakwaan Kesatu yang ancaman pidana penjaranya paling lama empat tahun, batas daluwarsa penuntutannya adalah sesudah dua belas tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) ke-3 KUHPidana. Demikian pula terhadap Dakwaan Kedua yang ancaman pidana penjaranya paling lama sembilan bulan, batas daluwarsa penuntutannya adalah sesudah enam tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) ke-2 KUHPidana,” ujarnya.
Sasongko menjelaskan, bahwa di dalam Dakwaan Kesatu halaman 1, Oditur Militer Tinggi telah menguraikan waktu kejadian tindak pidana Pasal 385 ke-4 KUHPidana yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu pada tahun 2012. Jika dilihat dari segi waktu terdakwa melakukan tindak pidana tersebut, yaitu pada tahun 2012, maka penuntutan terhadap Terdakwa dengan alasan telah melakukan tindak pidana tersebut, paling lambat harus sudah dilakukan penuntutan pada tahun 2024 (12 tahun setelah waktu kejadian). Namun demikian faktanya Oditur Militer Tinggi baru melimpahkan berkas perkara pidana atas nama Terdakwa Kolonel Inf. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. kepada Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta berdasarkan Surat Keputusan Kasum TNI selaku Perwira Penyerah Perkara Nomor : Kep/ 114/ I/ 2025, tertanggal 24 Januari 2025 Tentang Penyerahan Perkara atas nama Terdakwa, sehingga penuntutan terhadap Terdakwa telah melebihi dari 12 (dua belas) tahun, oleh karena itu hak menuntut pidana oleh Oditur Militer Tinggi terhadap Terdakwa telah lewat waktu atau melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang (daluwarsa).
Ia juga menambahkan, di dalam Dakwaan Kedua, terdakwa telah didakwa memasuki pekarangan tanpa ijin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) KUHPidana pada tahun 2022, adalah tidak benar karena di dalam surat Dakwaan halaman 5 huruf p, berdasarkan keterangan para saksi dari Perum PFN, terdakwa menduduki dan menguasai tanah di Jl. Kapten Tendean No. 41, Jakarta Selatan adalah pada tahun 2012, bahkan terdakwa telah menguasai dan menduduki tanah tersebut sejak tahun 2008, sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP- / A- / XII/ 2008/ Jaya2, tanggal 3 Desember 2008 (Bukti T-3). Jika dilihat dari segi waktu terdakwa melakukan tindak pidana tersebut, yaitu pada tahun 2012 atau setidak-tidaknya pada tahun 2008, maka penuntutan terhadap terdakwa dengan alasan telah melakukan tindak pidana tersebut paling lambat harus sudah dilakukan penuntutan pada tahun 2018 atau tahun 2014 (6 tahun setelah waktu kejadian tahun 2012 atau tahun 2008).
Namun demikian, Sasongko kembali menegaskan, faktanya Oditur Militer Tinggi baru melimpahkan berkas perkara pidana atas nama Terdakwa Kolonel Inf. Eka Yogaswara, SH., MM., MH. kepada Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, berdasarkan Surat Keputusan Kasum TNI selaku Perwira Penyerah Perkara Nomor : Kep/ 114/ I/ 2025, tertanggal 24 Januari 2025 Tentang Penyerahan Perkara atas nama terdakwa, sehingga penuntutan terhadap terdakwa telah melebihi dari 6 (enam) tahun, oleh karena itu hak menuntut pidana oleh Oditur Militer Tinggi terhadap t,erdakwa telah lewat waktu atau melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang (daluwarsa).
Sasongko menambahkan, karena bentuk Dakwaan Oditur Militer Tinggi berbentuk Kumulatif, maka secara teori hukum pidana, apabila salah satu Dakwaan mengalami lewat waktu atau daluwarsa, maka dakwaan yang lain turut pula hapus atau gugur, karena lewat waktu atau daluwarsa dalam penuntutannya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi hak menuntut pidana oleh Oditur Militer Tinggi terhadap terdakwa dalam perkara a quo adalah telah lewat waktu (daluwarsa) atau hapus atau gugur.
“Maka kami mohon dengan segala hormat kepada Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, agar Dakwaan Oditur Militer Tinggi dinyatakan hapus/gugur karena daluwarsa, oleh karena itu patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk),” ujarnya.
Sidang ini, dilanjutkan pada hari Kamis pekan depan, guna mendengarkan tanggapan atas eksepsi penasehat hukum Kolonel Inf. Eka Yogaswara.
Mantan Direktur Utama Perum Produksi Film Nasional (PFN) Eddy Noor yang hadir bersama dua orang pensiunan pegawai Perum PFN, ikut hadir dalam persidangan eksepsi ini, untuk memberikan dukungan moral pada Kolonel Inf. Eka Yogaswara. Menurut Eddy Noor, PFN menerima limpahan aset dari Departemen Penerangan.
“Kemudian muncullah sertifikat hak pakai. Cuma persoalannya, pada saat itu setelah dibeli oleh Departemen Penerangan itu, sebetulnya sudah ada gugatan dari ahli waris. Tetapi tidak diselesaikan lebih lanjut oleh pendahulu kita. Saya masuk PFN tahun 2000-2011, saya hanya menjadi cuci piring, tidak tahu menahu soal kasus tanah itu. Waktu itu, kesepakatannya dengan Pak Eka, kalau memang tanah itu terbukti secara sah milik ahli waris, ya harus diserahkan. Begitu juga kalau pemerintah merasa itu tanah milik pemerintah yang dibuktikan dengan surat kepemilikan yang sah, ya harus siap menyerahkan pada pemerintah. Siapa yang membuktikan itu, ya pengadilan. Pengadilan tinggal perintahkan saja penyerahan itu, ya tidak perlu ada yang masuk penjara,” ujarnya.