32.5 C
Jakarta

Perkuat Kolaborasi-Advokatif, MHH dan LHKP PP Muhammadiyah Gelar Civil Society Organization Gathering Jawa Timur

Baca Juga:

SURABAYA,MENARA62.COM – Dalam upaya memperkuat kolaborasi-advokatif , Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan HAM (MHH) dan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) menyelenggarakan Civil Society Organization (CSO) Gathering regional Jawa Timur di Auditorium Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat (11/4/2025). Acara bertema “Memperkuat Kolaborasi untuk Hak Asasi Manusia, Tata Kelola Sumber Daya Alam, dan Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan” ini menjadi wadah konsolidasi bagi lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil, akademisi, UPP di lingkungan Muhammadiyah, Ortom, dan aktivis lingkungan lainnya dengan jumlah peserta aktif sebanyak 38 peserta.

 

Sebelum agenda utama Gathering, pada pagi hari tanggal 10 April, Dr. H. M. Busyro Muqoddas selaku Ketua PP Muhammadiyah didampingi LHKP PP Muhammadiyah dan MHH PP Muhammadiyah melakukan kunjungan langsung ke lokasi konflik Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land. Di sana, rombongan bertemu dan berdialog langsung dengan warga terdampak yang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3).

 

Dalam perbincangan hangat namun penuh keprihatinan tersebut, masyarakat menyampaikan keresahan mereka terhadap proyek yang dinilai tidak transparan, tidak partisipatif, serta mengancam ruang hidup pesisir Surabaya. Busyro menyampaikan bahwa kehadiran Muhammadiyah adalah untuk mendengarkan suara rakyat secara langsung dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat kecil yang selama ini kerap dikorbankan atas nama pembangunan.

 

Setelah kunjungan tersebut, rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan Kuliah Bersama Rakyat Pesisir Surabaya dan Panggung Rakyat bertajuk “Tolak PSN Surabaya Waterfront Land, Bukan Untuk Rakyat”. Kegiatan ini menjadi panggung ekspresi masyarakat untuk menyuarakan penolakan terhadap proyek yang dianggap merampas ruang hidup dan melanggar prinsip keadilan sosial. Dalam forum terbuka ini, berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis menyatakan solidaritasnya serta menyerukan agar pemerintah menghentikan proyek PSN yang bermasalah dan membuka ruang dialog yang sejati dengan warga terdampak.

 

Acara yang dibuka oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dalam sambutannya, Rektor menegaskan, kolaborasi tripartit antara akademisi, civil society, dan pemerintah menjadi kunci penyelesaian masalah struktural di Jawa Timur. Beliau memberikan aspirasi pada CSO yang memilih jalan terjal advokasi langsung kepada Masyarakat. Muhammadiyah juga memberikan dukungan nilai dalam teologi al-maun.

 

Dalam sesi pembuka yang penuh antusiasme, Dr. H. M. Busyro Muqoddas menyampaikan analisis mendalam tentang dimensi ideologis pembangunan yang kerap terabaikan. Mantan Ketua KPK ini menegaskan bahwa keadilan ekologis dan hak asasi manusia seharusnya menjadi jiwa dari setiap proses pembangunan, bukan sekadar unsur tambahan yang bersifat formalitas. “Pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan ekologis dan HAM pada hakikatnya adalah pembangunan yang cacat sejak lahir,” tegasnya dengan nada serius.

 

Dia mengkritik keras praktik pembangunan selama ini yang seringkali mengorbankan lingkungan dan hak-hak dasar masyarakat demi kepentingan ekonomi semata. “Kita menyaksikan bagaimana proyek-proyek infrastruktur besar dan eksploitasi sumber daya alam justru menciptakan ketimpangan sosial baru dan kerusakan lingkungan permanen,” paparnya sambil menunjukkan data-data lapangan.

 

Busyro menekankan pentingnya pendekatan pembangunan berkelanjutan yang benar-benar mempertimbangkan aspek ekologi dan hak-hak masyarakat lokal, seraya mengutip prinsip-prinsip dasar konstitusi yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat. “Ini bukan sekadar wacana, melainkan imperatif konstitusional yang harus kita perjuangkan bersama,” tandasnya di hadapan peserta yang menyimak dengan khidmat. Sesi ini menjadi fondasi penting bagi seluruh diskusi selanjutnya, menegaskan komitmen kolektif untuk memperjuangkan model pembangunan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan di Jawa Timur.

 

Dalam paparan lanjutannya, David Efendi (Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah) memperkuat analisis tersebut dengan memetakan tiga episentrum konflik sumber daya alam di Jawa Timur yang menjadi fokus utama. Dengan data lapangan yang solid, ia mengungkapkan: “Dari Trenggalek hingga Pakel, kebijakan ekstraktif yang tidak berpihak pada masyarakat terus mengorbankan warga lokal. Di Trenggalek, pertambangan emas rakyat dihadang dengan dalih demi kesemalamatan lingkungan dan manusia. Di Sumenep, proyek garam industri menggusur petambak tradisional. Hal yang sama juga terjadi di Kenjeran, kota Surabaya. Dan yang memprihatinkan di Pakel Banyuwangi, dimana masyarakat kehilangan akses terhadap agraria mereka tetapi ‘negara’ jurstru memberikan untuk kepentingan korporasi

 

David mempertanyakan narasi pembangunan yang diusung pemrakarsa proyek sering juah panggang dari api: “Klaim bahwa proyek-proyek ini membawa kesejahteraan adalah ilusi. Faktanya, di sekitar lokasi tambang Tumpang Pitu, angka kemiskinan justru meningkat 23% dalam 3 tahun terakhir, sementara fasilitas kesehatan dan pendidikan tetap minim.” Ia juga mengkritik keras pola perizinan yang tidak transparan dan partisipatif, dimana masyarakat hanya dijadikan objek, bukan subjek pembangunan. Banyak kebijakan daerah cenderung meminggirkan hak-hak masyarakat adat dan lokal dengan dalih investasi dan pembangunan. Muhammadiyah sebagai kekuatan CSO memiliki track record dalam kerja kerja advoikasi sejak kelahirannya. “setelah teologi al-maun, lalu neo-almaun untuk kelompok termarjinalkan, kini Muhammadiyah berkiprah untuk zaman baru yaitu green al-maun—yaitu kerja untuk mengantisipasi meluasnya kemiskinan dan kemeralatan baru akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan aktifitas ekonomi dan politik.”, pungkas David Efendi.

 

Trisno Raharjo, Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah, turut melengkapi diskusi dengan analisis mendalam mengenai sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dinilai strategis, termasuk di dalamnya praktik kriminalisasi terhadap para aktivis serta berbagai bentuk pelanggaran hak yang dialami oleh masyarakat adat di berbagai wilayah. Ia menyoroti bagaimana aparat dan kebijakan negara kerap kali tidak berpihak pada kelompok rentan, sehingga menciptakan ketimpangan akses terhadap keadilan dan perlindungan hukum. Dalam konteks ini, Trisno menegaskan bahwa salah satu akar persoalan utama yang membuat masyarakat mudah dimanipulasi dan dirugikan adalah rendahnya pemahaman hukum di tingkat akar rumput, yang menyebabkan mereka tidak memiliki daya tawar maupun perlindungan ketika berhadapan dengan kekuasaan atau kepentingan modal. “Pemahaman hukum yang rendah membuat masyarakat rentan dimanfaatkan,”  tegasnya,  sambil  mendorong  agar  agenda  edukasi  hukum  dan pendampingan masyarakat menjadi prioritas bersama dalam memperkuat gerakan keadilan sosial dan perlindungan HAM di Indonesia.

 

Pertemuan ini menghimpun kekuatan dari berbagai elemen masyarakat sipil yang memiliki fokus kerja beragam namun saling melengkapi, di antaranya lembaga hak asasi manusia seperti KontraS Surabaya, LBH Surabaya, dan Amnesty Unair; organisasi lingkungan seperti Walhi Jawa Timur dan Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3); kelompok akademik dan mahasiswa seperti KIKA, BEM Unair, dan LKBH Universitas Muhammadiyah Sidoarjo; organisasi berbasis komunitas seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Surabaya; serta jaringan internal Muhammadiyah seperti Majelis Hukum dan HAM (MHH) PWM Jawa Timur dan LHKP PWM Jawa Timur, yang seluruhnya menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci dalam memperkuat gerakan advokasi untuk keadilan sosial dan lingkungan di tingkat daerah maupun nasional.

 

“Keragaman peserta ini menunjukkan bahwa isu keadilan sosial, tata kelola sumber daya alam dan lingkungan adalah tanggung jawab kolektif,” papar David Efendi.

 

Sebagai hasil konkret dari forum ini, para peserta merumuskan sepuluh butir-butir pemikiran yang merepresentasikan komitmen bersama dalam mendorong transformasi kebijakan, kolaborasi-advokatif, dalam rangka memperkuat peran masyarakat sipil khususnya di regional Jawa Timur, yaitu antara lain:

 

Pembaruan pemetaan konflik sebagai langkah strategis memperkuat koalisi masyarakat sipil dan meningkatkan kesadaran atas dampak kebijakan politik terhadap HAM dan lingkungan.

Penguatan agenda koalisi CSO untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, keadilan sosial, dan keberlanjutan

Kolaborasi untuk mitigasi praktik mengundang bencana alam dalam perizinan tambang yang merugikan masyarakat lokal di Jawa

Perlindungan kebebasan sipil dan akademik, khususnya dalam menghadapi ancaman dari UU TNI/RUU POLRI yang berpotensi melegitimasi represi kepada civitas

Reformulasi strategi gerakan masyarakat sipil demi penguatan demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan keadilan hukum dan Hak Asasi

Kritik terhadap proyek pembangunan bermasalah yang berdalih “percepatan pembangunan” namun justru merampas hak-hak Masyarakat

Membersamai warga yang mengupayakan ‘penolakan reklamasi’ dan perusakan ruang hidup, serta mendorong kerja-kerja pemulihan ekosistem dan perlindungan mata pencaharian Masyarakat

Penguatan peran masyarakat sipil lintas sektor, termasuk kampus, NGO, dan ormas, sebagai kekuatan utama dalam gerakan demokrasi dan pembaharuan sosial yang

Bekerjasama untuk mengkritisi dan mengvaluasi dan jika diperlukan melakukan judicial review dan sejenisnya terhadap UU dan atau regulasi bermasalah yang menjadi hambatan advokasi dan pintu masuk bagi beragam praktik penyalahgunaan

Kolaborasi antara kampus dan masyarakat sipil sebagai poros penting dalam memperkuat dukungan terhadap agenda advokasi warga, advokasi kebijakan, dan pemulihan demokrasi yang bermakna.

 

Melalui Civil Society Organization Gathering Jawa Timur 2025 ini, Muhammadiyah bersama elemen masyarakat sipil menegaskan komitmennya untuk terus membangun solidaritas lintas sektor dalam memperjuangkan keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, serta pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berpihak pada rakyat. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!