DEPOK, MENARA62.COM – Seandainya perokok pasif lebih asertif dan berani menjadi penggerak budaya baru dengan menyuarakan hak asasi mereka atas udara bersih, maka bisa jadi perilaku merokok yang tadinya dianggap sebagai perilaku normal, akan ditasbihkan sebagai perilaku asosial. Karena dalam situasi belum hadirnya negara melindungi masyarakat dalam bentuk regulasi yang kuat, dibutuhkan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya.
Demikian benang merah yang mengerucut dari acara diskusi dan nonton bareng video dokumenter bertajuk “Perokok Pasif, Dalam Diam Menyimpan Bencana” yang diadakan Lentera Anak bersama BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, pada Kamis (16/3/2023) di Aula Gedung A, FKM UI, Kampus Depok, Jawa Barat.
Persoalan perokok pasif di Indonesia menjadi hal problematik di Indonesia. Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adults Tobacco Survey-GATS) yang dilaksanakan pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden, menunjukkan prevalensi perokok pasif tercatat 120 juta orang.
Sebelumnya, pada tahun 2018, Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) pada tahun 2018 menyebutkan ada 40 juta balita menjadi korban perokok pasif.
Hasil jajak pendapat Lentera Anak & U-Report UNICEF (2022) menemukan sebanyak 97% responden terpapar asap rokok alias menjadi perokok pasif. Sayangnya, meskipun sadar menjadi perokok pasif, mayoritas responden (84,7%) tidak menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka. Mereka hanya menyikapi dengan menutup hidung, menjauh dari asap rokok dan perokok, dan bahkan diam saja, meskipun mengetahui asap rokok berbahaya. Ini menunjukkan betapa perokok pasif tidak berdaya dan tidak bersuara untuk melindungi dirinya dari paparan asap rokok.
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menegaskan bahwa berbagai upaya advokasi perlindungan masyarakat dari bahaya rokok terus dilakukan, namun belum terlihat dampak perubahan signifikan.
Ia menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir prevalensi perokok anak di Indonesia terus meningkat. Data Riskesdas 2018 menunjukkan perokok anak meningkat menjadi 9,1% (3,2 juta anak), dan Bappenas mempredikasi pada 2030 perokok anak bisa mencapai 15,9 juta. “Ini masalah serius mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor resiko penyakit tidak menular, selain juga akan menjadi beban ekonomi dan mengancam kualitas SDM,” tegas Lisda.
“Kita membutuhkan upaya-upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya,” tegas Lisda.
Ketua Perkumpulan Promotor & Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI), Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH, menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap perilaku merokok sebagai perilaku sosial yang normal.
“Bahkan meskipun masyarakat sudah menjadi korban dari para perokok karena menjadi perokok pasif, namun karena adanya budaya eweuh pakeweuh, membuat kita seringkali sungkan menegur perokok,” jelas Rita.
Karenanya Rita mengingatkan perokok pasif untuk lebih asertif dan berani bersuara dalam memperjuangkan hak atas udara bersih. Sebab tanpa sikap berdaya maka perokok pasif akan terus menjadi korban selamanya.
“Perokok pasif harus lebih berani bersuara dan menjadi penggerak budaya baru. Sudah waktunya untuk mengubah perilaku merokok dari yang tadinya dianggap sebagai perilaku sosial menjadi perilaku asosial,” tegas Rita.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, memaparkan penerapan regulasi di Indonesia masih sangat longgar, dan ini membuktikan lemahnya peran Negara.
Julius menambahkan, di saat Negara sudah lalai melindungi masyarakat, disinilah justru dibutuhkan masyarakat yang resisten yang harus melawan pihak-pihak yang merugikannya.
“Dalam kondisi resisten warga seharusnya menyerang balik, karena kita mendapatkan jaminan hak atas udara bersih yang diatur dalam Undang-undang,” tegasnya.
Adapun hak warga negara atas udara bersih dijamin dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 juncto pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya jaminan hak warga atas udara bersih ini, Julius menegaskan warga yang merasa dirugikan seharusnya bisa melawan. Ia mencontohkan kasus kemenangan gugatan oleh 32 warga kepada Negara karena hak mereka atas udara bersih tidak terpenuhi.
Meskipun Pemerintah Pusat dan tiga pemerintah daerah; DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sebagai tergugat masih mengajukan upaya banding, namun putusan tersebut telah membuktikan bahwa masyarakat bisa memperjuangkan haknya atas udara bersih.
Hanya masalahnya, kata Julius, saat ini para perokok merasa nyaman karena mereka menganggap Indonesia adalah kawasan lokalisasi merokok. Karena itu Julius menilai pentingnya menaikkan standar agar Indonesia tidak lagi dianggap sebagai kawasan lokalisasi merokok, salah satunya dengan memperkuat aturan dan penerapan sanksi yang tegas.
Margianta SJD, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia, menyatakan kaum muda saat ini sangat frustasi menghadapi kebijakan Pemerintah yang tidak pro pada kesehatan masyarakat. Karena itu ia mengajak masyarakat untuk bersuara, serta berinisiatif secara bersama-sama membangun lingkungan tanpa rokok.
“Kita bisa memulai dari lingkungan terkecil seperti di rumah sendiri atau lingkungan RT/RW tanpa rokok,” ujar Margianta. Diharapkan, dari keresahan dan permasalahan yang disuarakan oleh masyarakat ini juga dapat didengar oleh Pemerintah.
Menjelang Pemilihan Umum pada 2024, Margianta mengharapkan masyarakat dapat memilih pemimpin yang dapat memberikan solusi konkret atas permasalahan rokok di Tanah Air dan betul-betul berkomitmen melindungi kesehatan masyarakat.
“Jangan memilih figur yang tidak peduli dan semakin membuat kita frustasi,” tandasnya.
Lisda Sundari menegaskan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi masyarakat untuk lebih berdaya.
“Karena dengan belum hadirnya Negara melindungi Kesehatan masyarakat dalam bentuk regulasi yang kuat, maka masyarakatlah yang seharusnya lebih keras bersuara,” tegas Lisda.
“Kita percaya dorongan yang kuat dari masyarakat itu secara perlahan tapi pasti akan dapat mengubah perilaku, norma dan budaya kita menjadi lebih sehat dan berpihak kepada rakyat,” pungkasnya.