JAKARTA, MENARA62.COM–Peran keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM) di tanah air selama ini, dirasakan sangat membantu dalam kontribusinya menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat dan mengurangi tingkat kesenjangan sosial. Namun, sangat disayangkan selama ini optimalisasi terhadap program-program microfinance pemberdayaan ekonomi bagi perempuan sangat minim, padahal dalam penelitian dan kajian selama ini terkait tingkat kehati-hatian (prudent) perempuan dalam pengelolaan keuangan sangat tinggi. Maka sangat penting melakukan konstruksi arah pembangunan microfinance di Indonesia ke depan dengan fokus dalam optimalisasi microfinance berbasis perempuan. Peryataan ini dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Induk Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM) Agus Yuliawan, dalam kajian ekonomi tentang perempuan dan pemberdayaan ekonomi pada peringatan hari Kartini di Jakarta, hari ini Jumat (21/4).
Lebih jauh, Agus mengatakan, selama ini ada beberapa faktor yang menjadi kendala bagi microfinance di Indonesia enggan dan fokus pada isu perempuan, pertama, dari segi kelembagaan dan orientasi bisnis tidak memiliki porsi tersendiri terhadap keberpihakan dalam pemberdayaan perempuan. Kedua, tidak punya kreatifitas secara inovasi financial engineering dalam membidik segmentasi perempuan sebagai sebuah potensi ekonomi dalam microfinance. Ketiga, persepsi sosial budaya masyarakat yang sebagian besar masih menganggap perempuan bukan aktor utama pelaku ekonomi menjadikan orentasi microfinance berbasis perempuan minim program. “Maka sekali lagi sangat penting bagi microfinance di Indonesia melakukan rekonstruksi ulang program dalam mengoptimalisasi microfinance berbasis perempuan,” paparnya.
Progres microfinance berbasis perempuan tiap tahun sangat menarik diamati, apalagi dalam kajian yang dilakukan di Induk BTM melihat ada antusias yang tinggi bagi perempuan untuk mendukung keluarga dalam pengembangan ekonomi. Seperti di Jawa Timur dilakukan oleh koperasi Aisyiyah telah mampu membentuk struktur kelembagaan koperasi merata di semua kabupaten dengan basis pemberdayaan perempuan, hal ini menjadikan kontribusi yang nyata bagi peran pemberdayaan perempuan Indonesia. Hal yang sama juga di provinsi Lampung, dari data yang diperoleh di BTM Lampung menyebutkan 90 persen dari anggota yang mengakses pembiayaan yang dimiliki oleh BTM tersebut adalah kaum perempuan. Begitu juga di Jawa Tengah yang merupakan komunitas nelayan di Pantai Utara, banyak BTM–BTM memiliki program sepisifik dalam produk–produk pembiayaan kepada para perempuan. Mereka melakukan semua itu karena ada ceruk menarik yang bisa dieksplore lebih jauh dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Untuk mengoptimalisasi microfinance berbasis perempuan, Agus berharap agar microfinance di Indonesia memanfaatkan peran dari sebuah riset yang selama ini aktif dilakukan oleh lembaga akademisi. Dari beberapa karakter riset selama ini menunjukkan indikator yang positif dan perempun minim terjadinya kredit macet atau non performing loan. Mengapa ini terjadi? Hal ini tidak lepas dari berbagai sudut pandang dan karakter yang dimiliki oleh perempuan dalam pengelolaan ekonomi.
Dalam mendukung optimalisasi microfinance berbasis perempuan, Induk BTM berharap ada sinergisitas isu bersama antarpelaku microfinance di Indonesia dan disain program dalam membuat sebuah formula microfinance yang berpihak kepada perempuan. Yang esensinya adalah, adanya kedekatan dan kemudahan dalam mengakses keuangan (keuangan inklusif) hal ini perlu diformatkan secara konkret dalam perspektif pemberdayaan. Selama ini, terkesan masih sebatas program dan wacana saja dan belum ada dalam praktik pendampingan dan edukasi yang jelas diwujudkan dari program keuangan inklusif selama ini. “Kami juga meminta pemerintah adanya good will dan political will dalam keseriusannya dalam program mikro berbasis UMKM jika ingin kesenjangan dan keadilan sosial itu terjawab dalam keberhasilan pembangunan,” tegas Agus.