YAGYAKARTA, MENARA2.COM — Perlu standar baku sistem pemberdayan kelompok pemulung. Kebutuhan ini muncul dalam workshop pemberdayaan komunitas pemulung, yang diadakan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah di gedung Dewan Pimpinan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (4/5/2017). Acara ini diikuti 70 peserta, terdiri dari kelompok pemulung Mardiko dan beberapa unsur terkait.
Dalam sambutannya M Nurul Yamin, Ketua MPM PP Muhammadiyah menyampaikan, persoalan pemulung merupakan masalah yang kompleks, mulai dari lingkungan, pendidikan, ekonomi, kesehatan dan teknologi. Maka dari itu, perlu dilakukan upaya pemberdayaan yang berimbas pada terselesaikannya berbagai masalah tersebut.
“Inilah yang kemudian menjadi peran MPM itu, keberadaanny sebagai fungsi Penolong Kesengsaraan Umat. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi segenap umat Islam untuk melakukan aktifitas pemberdayaan terhadap kaum mustad’afin atau kaum marginal,” ujarnya.
Kehadiran MPM, menurut M Yami, merupakan upaya untuk mengembalikan ruh awal perjuangan didirikannya Muhammadiyah, yang berujung pangkal pada surat pemaknaan Qur’an Surat Al-Ma’un oleh KH Ahmad Dahlan.
Dikesempatan yang sama, Wuri Rahmawati selaku Ketua Divisi Komunitas Khusus dalam sambutannya menambahkan, pemberdayaan pada kelompok pemulung yang harus ditekankan adalah pada sektor ekonomi kreatifnya. Langkah ini penting, sehingga profesi sebagai pemulung ini tidak menjadi profesi abadi dan menjadi profesi turunan. Selain itu, dimata masyarakat profesi ini dianggap sebagai masalah sosial.
“Padahal bila dilihat lebih jeli, adanya pemulung merupakan pembantu pemerintah dalam melakukan pengolahan sampah, meski dalam skala kecil,” ujarnya.
Namun demikian, hal ini akan terlaksana dengan baik manakala ada sebuah standar baku bagi para pelaku pemberdaya dalam melakukan pemberdayaan. Sehingga capaian yang diinginkan, sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan diawal.
Dalam acara ini nantinya diharapkan memunculkan sebuah rancangan standar oprasional pemberdayaan tepat guna bagi kelompok pemulung diseluruh Indonesia, yang diawali dari kelompok pemulung Mardiko yang bertempat di Pembuangan Sampah Terakhir (TPST) Piyungan Bantul.
Juga dalam acara ini memunculkan istilah baru bagi para pemberdayan pemulung yakni “Sahabat Pemulung”. Istilah ini sebagai langkah untuk memperkuat jalinan persaahabatan tanpa jarak, bukan semata hubungan antara pendamping dan dampingan.
–Prasetyo Ardi Nugroho–