WAMENA, MENARA62.COM — Ini bukan kisah selebritis dunia yang menikah antara si kulit putih dan hitam, seperti Kim Kardashian dengan Kanye West, Heidi Klum-Seal, atau Lisa Marie Presley-Michael Jackson. Tetapi, tentang menyatunya hati dua sejoli dalam masyarakat biasa yang pluralis, antara pria asli Papua dan wanita Sunda. Ya, hitam-putih juga!
Mereka adalah Kantius Wenda (28 tahun) dan Yulian Rahmawati (38). Tidak hanya usia yang terpaut jauh, berbeda etnis dan warna kulit yang kontras, tetapi cinta mereka mampu menyatu dengan menembus jarak antara Indonesia bagian timur dan barat.
Desi Purnamawati, wartawan Antara, dengan jeli membidik mereka dan mewawancarainya. Laporan yang dia tulis, menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah suhu politik yang memanas hingga pecah kerusuhan yang menelan banyak korban jiwa dan harta di beberapa daerah Papua.
Para perantau dari berbagai daerah di Indonesia menjadi sasaran anarkis kelompok separatis Papua. Di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, misalnya, dari sekitar 30 korban tewas, 22 di antaranya dalam kondisi jasad gosong akibat terpanggang api yang membakar rumah atau bangunan tempat mereka berlindung.
Peristiwa tersebut membuat traumatis. Sehingga, yang masih bisa menyelamatkan diri, ramai-ramai mengungsi hingga ke daerah asal. Tetapi, pasangan Kantius-Yuliani, yang juga tinggal di Wamena, tampak adem-ayem. Mereka bergeming dan tetap romantis.
Inilah kisahnya:
Silaturahmi Paguyuban Sunda
Di antara wajah-wajah berkulit putih, berambut lurus warga Paguyuban Sunda yang tengah melangsungkan acara silaturahmi di Wamena, Kantius Wenda tampak mencolok dengan kulit gelap dan rambutnya yang keriting. Di sampingnya duduk Yuliani Rahmawati, yang menggendong bayi usia 1,2 tahun berambut keriting yang tertidur nyenyak di pangkuannya.
Di depan mereka duduk seorang anak perempuan berusia hampir empat tahun dengan rambut keriting pula. Bocah ini, Katnis Aurora Wenda, asyik bermain sendiri dan terlihat menggemaskan.
Sesekali, Katnis bermain dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Ia pun sempat menunjuk-nunjuk kacamata yang dipakai Desi Purnamawati, kemudian memperlihatkan jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan kecilnya kepada orang yang baru dia kenal.
Katnis, yang biasa disapa Kasih, dengan suara kecil dan logat Papua mengaku juga memiliki kacamata seperti yang Desi kenakan. Tapi, sayang, kacanya sudah rusak.
“Dia punya kacamata juga di rumah tapi kacanya sudah lepas,” kata sang ibu, Yuliani, yang mencoba menerjemahkan maksud Kasih.
Kasih dan Kayla Obelom Wenda, si bayi yang digendong Yuliani, adalah buah cintanya dengan Kantius Wenda. Pasangan yang menikah beberapa tahun lalu itu tampak kontras: semuai berambut keriting berkulit gelap, sang istri berambut lurus sebahu dengan warna kulit lebih cerah.
Berawal dari Segelas Kopi
Kantius merupakan warga Papua yang berasal dari Kabupaten Lanny Jaya. Sedangkan Yuliani dari etnis Sunda yang berasal dari Bogor, Jawa Barat. Keduanya dipertemukan di Wamena.
Benih-benih cinta bersemi ketika Kantius, yang bekerja sebagai staf konsultan sipil, bertemu dengan Yuliani yang bekerja membantu keperluan istri Bupati Jayawijaya. Sedangkan Kantius, hampir setiap hari datang ke kediaman bupati untuk mengerjakan proyek perbaikan bangunan.
Setiap Kantius datang, mewakili nyonya rumah yang baik, Yuliani selalu menyuguhkan secangkir kopi. Kopi hitam yang pahit tak lagi dirasakan, karena bunga cinta yang telah berkembang, semuanya terasa manis bagi Kantius.
Bagai gayung bersambut, perasaan keduanya saling bertaut meski berbeda kultur, etnis, dan agama. Hingga akhirnya, mereka memutuskan menikah.
Sembat Ditentang Keluarga
Keputusan Yuliani untuk menikahi Kantius pada awalnya mendapat penolakan kedua belah pihak keluarga, tapi akhirnya mereka mampu meyakinkan. Keduanya selalu menunjukkan kehamornisan di tengah perbedaan yang sangat kontras.
Dalam lengketnya hubungan mereka, Yuliani menyebut Kantius sebagai “pace”, yaitu panggilan khas bagi pria Papua. Sebaliknya, Kantius menyebut Yauliani “teteh”, yaitu panggilan akrab bagi perempuan sunda yang usianya lebih tua.
“Dia baik, makanya saya mau dengan pace,” kata Yuliani, menepis stigma orang-orang tentang Papua.
Berada di tengah warga Paguyuban Sunda di Wamena, bagi Kantius, awalnya sedikit gugup. Tapi, kemudian dia segera mendapatkan sambutan hangat.
Kantius kian melebur, karena di antara warga paguyuban ternyata terdapat orang yang sudah dia kenal. Bahkan ada juga yang sudah bergaul sejak masa kecil karena Kantius biasa berbaur dengan kaum pendatang, ditambah menempuh perguruan tinggi di Pulau Jawa.
“Bisa diterima sudah bersyukur, mereka sangat bersahabat, saya senang. Mereka baik dan bersahabat,” kata Kantius.
Baik Papua, Sunda, Jawa, Sulawesi, dan lainnya, menurut dia, sama saja: satu Indonesia! “Perbedaan yang ada di Indonesia, khusus untuk Papua, bisa kita ambil hal yang baik, bukan batasan buat kita,” kata Kantius.
Hampir Pulang ke Bogor
Dia pun menyesalkan kerusuhan yang terjadi di Wamena pada 23 September 2019, hingga berimbas pada eksodusnya warga pendatang ke kampung halamannya masing-masing. Menurutnya, itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Yuliani juga sempat berpikir untuk kembali ke Bogor. Ia trauma atas situasi yang terjadi dan pada akhirnya bisa menimpa dirinya pula. Namun, akhirnya ia tetap bertahan bersama keluarga.
“Dia mau mengungsi, tapi saya bilang, ‘ada saya, kamu orang Wamena juga’,” ujar Kantius.
Ketua Paguyuban Sunda di Wamena, Entis Sutisna, menyebut terdapat 154 orang Sunda di darah itu. Mereka memiliki berbagai profesi, seperti pedagang hingga pegawai negeri sipil (PNS).
Di tengah situasi yang belum stabil pascakerusuhan, Paguyuban Sunda menunjukkan kekompakan dan ikatan yang kuat di perantauan. Tiga keluarga Sunda yang rumah dan tempat usahanya ikut terbakar, juga ditampung di rumah-rumah warga paguyuban.
“Alhamdulillah kondisi kami sehat-sehat semua, tidak kekurangan makan, sandang. Kita saling membantu satu sama lain, tidak meminta bantuan dari pemda, tapi dari warga sedikit demi sedikit dikumpulkan,” ujar Entis.
Berbaur dengan Baik
Warga Sunda di Wamena selama ini sudah berbaur dengan baik bersama masyarakat. Bahkan, mereka juga turut memeriahkan berbagai hari besar seperti Hari Kemerdekaan RI dengan menampilkan kesenian Sunda seperti jaipong, calung, sisingaan, angklung dan pencak silat.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, mengatakan, ikatan yang kuat dan kerukunan yang ditunjukkan Paguyuban Sunda menjadi contoh dan pembelajaran baik untuk keberagaman. “Hal positif ini harus kita jaga agar tetap satu sebagai masyarakat Indonesia,” katanya.
Kantius dan Yuliani juga menjadi contoh kecil keberagaman dan kerukunan di Indonesia, meski berbeda tapi mereka tetap bersatu dan harmonis. Padahal, awalnya hanya melalui segelas kopi, tapi mampu menjadi penyatu cinta dalam perbedaan yang serba kontras.