JAKARTA, MENARA62.COM – Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan tiga kebijakan strategis dalam rangka mengatasi pandemic virus Covid-19. Ketiga kebijakan tersebut adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Terhadap ketiga kebijakan tersebut Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dr. Anis Byarwati menyampaikan masukannya. Pertama jika Pemerintah berencana melakukan upaya penanganan Covid-19 skala besar melalui penerbitan Perppu 1/2020, dengan nilai belanja mencapai Rp405 triliun, dimana sumber pembiayaan utamanya adalah dengan melebarkan defisit yang mencapai di atas 5%, maka Pemerintah harus bergerak cepat dan melakukan alokasi belanja yang sesuai dengan kebutuhan.
“Alokasi belanja tersebut bisa dilakukan dengan dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu optimalisasi realokasi anggaran, dimana belanja-belanja yang tidak dibutuhkan dapat dialihkan untuk belanja penanganan dampak wabah Covid-19. Kemuidan yang kedua adalah ekspansi fiskal, dengan menambah defisit anggaran sebagai bentuk stimulus perekonomian,” kata Anis yang juga Anggota Komisi XI DPR RI dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Majelis Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur Selasa, awal pekan ini.
Tentang optimalisasi realokasi anggaran, menurutnya, Pemerintah perlu mempertimbangkan melakukan efisiensi belanja. Sebab ruang fiskal semakin sempit karena besarnya belanja-belanja wajib (rutin) seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bunga utang, meningkatkan efektivitas dan pengaruh komponen belanja-belanja pemerintah pusat menurut fungsi.
“Kemudian pos-pos belanja rutin yang tidak diperlukan segera dialihkan kepada pos belanja lain,” lanjut Anis.
Ia berpendapat bahwa masih ada banyak ruang efisiensi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Misalnya, perjalanan dinas dalam negeri, dan belanja barang non-operasional, yang banyak digunakan untuk honorarium, penyelenggaran administrasi kegiatan di luar kota, paket rapat, dan lainnya. Dalam kondisi wabah seperti ini, belanja non-operasional diperkirakan tidak akan banyak bermanfaat.
Kedua, Anis yang Doktor lulusan terbaik Universitas Airlangga ini juga menyoroti tentang ekspansi fiskal yang dilakukan Pemerintah. Kebijakan ekspansi fiskal diperlukan tetapi berbiaya tinggi. Pemerintah dinilai masih kesulitan menjaga anggaran dengan baik, terbukti dari realisasi defisit APBN ternyata membengkak dari target awal.
Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, defisit tahun 2019 mencapai Rp353 triliun, atau membengkak sebesar 19,2% apabila dibandingkan dengan kesepakatan di APBN 2019 yang sebesar Rp296 triliun atau 1,84 persen PDB. Ditambah lagi stagnannya pendapatan negara dikarenakan rendahnya realisasi pendapatan negara berupa shortfall penerimaan perpajakan. Pada tahun 2019 tercatat bahwa realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 84,4% dari target.
“Rendahnya realisasi ini pada dasarnya mengikuti tren melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak selama lima tahun terakhir,” pungkas Anis.