JAKARTA, MENARA62.COM – Kesadaran masyarakat akan ancaman ketahanan nasional sebagian besar masih sangat rendah. Padahal bentuk ancaman ketahanan nasional saat ini jauh lebih kompleks dan lebih canggih dibanding 75 tahun yang lalu dimana bentuk ancaman lebih bersifat militer.
Karena itu menurut Pontjo Sutowo, Ketua Aliansi Kebangsaan, dibutuhkan peran para cendekiawan untuk menyadarkan masyarakat terkait ancaman ketahanan nasional ini. Sebab jika masyarakat abai, tidak peduli dan terus terlena, bangsa ini bisa jatuh lalu musnah.
“Apabila suatu negara ada masalah, maka saya beranggapan bahwa kaum cendekiawanlah yang paling bertangggungjawab. Demikian pula yang terjadi dengan kondisi negara kita saat ini, di mana ketahanan nasional menghadapi masalah, maka cendekiawan memiliki tanggungjawab besar untuk mencari solusinya,” kata Pontjo di sela bedah buku ‘Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila’, yang diselenggarakan Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) dan Forum Komunikasi Putra-Putri TNI/Polri, Sabtu (7/3/2020).
Meski cendekiawan memiliki peranan strategis, Pontjo juga mengingatkan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama menjaga ketahanan nasional juga sangat penting. Itu mengapa buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila yang merupakan sumbangan pemikiran 80 cendekiawan yang disusun sebagai intisari dari serial diskusi ketahanan nasional yang digelar selama dua tahun, penting untuk disebarkan ke ruang publik.
“Buku ini bisa dijadikan referensi untuk mengambil sikap terhadap kondisi ketahanan nasional kita,” tambah Pontjo yang juga Pembina YSNBI.
Menurut Pontjo, peran para cendekiawan ini telah dibuktikan sejak jaman Indonesia belum merdeka. Melalui organisasi bernama Boedi Oetomo yang beranggotakan para cendekiawan, negara Indonesia kemudian dibentuk.
“Kita tahu bagaimana Pangeran Diponegoro atau Imam Bonjol berjuang, para raja berjuang untuk kemerdekaan. Tetapi pada akhirnya peran para cendekiawan yang bergabung dalam satu organisasi bernama Boedi Oetomo berhasil menjadikan Indonesia merdeka,” tukas Pontjo.
Dalam situasi negara kita seperti sekarang ini, sekali lagi, peran cendekiawan amat penting dan strategis. Terutama untuk membangun kesamaan persepsi tentang ancaman yang dihadapi bangsa dan negara, agar bangsa dapat bersatu padu dalam merespons setiap ancaman dengan baik dan menemukenali solusi yang tepat.
Mengacu pada pendapat Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) Pontjo mengingatkan bahwa kegagalan suatu bangsa tidak terjadi dengan tiba-tiba. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan. Dan karena kegagalan suatu negara tidak terjadi secara tiba-tiba, maka kini perlu segera dilakukan perencanaan pertahanan.
“Perencanaan pertahanan tersebut, harus dilaksanakan secara sadar, terencana, sistematis, terarah, dan berkelanjutan dengan tetap bersendikan pada nilai-nilai dan karakter bangsa, agar pertahanan bangsa dapat mengikuti ancaman yang selalu berubah sesuai kondisi jamannya,” kata Pontjo.
Sementara itu Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri menyatakan jika Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu bentuk ancaman bagi nilai-nilai bangsa dan pertahanan negara. Hal ini karena ada insible hand dalam Amandemen UUD 1945. Adapun beberapa indikasinya adalah UU Referendum dihapus, Penjelasan dihapus, 6 butir yang tidak boleh berubah dilanggar, dan kehadiran NDI di Senayan.
“Jika kondisi tersebut tidak dikaji ulang, maka pertahanan negara dalam posisi genting. Hal ini Amandemen UUD 1945, dapat menggiring pada perpecahan bangsa sebab karenanya, sendi-sendi negara seperti nasionalisme, patriotisme, toleransi, kebersamaan, dan gotong royong telah dibuat luntur,” kata Kiki Syahnakri.
R.M.A.B. Kusuma sebagai salah satu narasumber mengatakan jika UUD Amandemen 2002 merupakan bentuk pembubaran negara proklamasi UUD 1945 dan penggantian UUD 1945. Terlebih UUD Amandemen 2002 tidak mendasarkan pada Pancasila dan memiliki semangat liberalisme yang berbeda jauh dengan UUD 1945.
“Kondisi ini perlu menjadi pemikiran seluruh anak bangsa, dalam menyusun kembali pertahanan negara”, kata R.M.A.B. Kusuma.
Baca Juga: Penguasaan Teknologi Rendah, Indonesia Sulit Capai Kemandirian Ekonomi
Di tempat yang sama, Mayjen (Purn) I Dewa Putu Rai mengatakan jika buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila secara umum berisi dua hal. Pertama, saran atau pemikiran dalam menyempurnakan atau updating konsep dan doktrin pertahanan nasional. Kedua, saran atau pemikiran dalam menguatkan kondisi pertahanan nasional bangsa.
Hal ini karena ancaman keamanan nasional telah berkembang lebih luas. Ancaman terhadap Keamanan Negara, Ancaman terhadap Keamanan Masyarakat, dan Ancaman terhadap Keamanan Insani.
“Untuk itulah maka kini harus dibuat langkah untuk mengenali kemungkinan ancaman, serta membangun keuletan dan ketangguhan negara di segala bidang kehidupan”, kata Putu Rai.
Di tempat yang sama, Yudhie Haryono menyatakan jika buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila membuka mata kepada seluruh anak bangsa bahwa Indonesia tidak memiliki sistem peringatan dini dan protokol krisis kenegaraan guna memastikan keamanan, ketahanan, dan kemartabatan negara dan warganegara di dunia. Ketidakadaan keduanya menyebabkan bangsa ini tidak menyadari ancaman tantangan hambatan dan gangguan virus demokrasi liberal yang kini berkembang yang mengakibatkan berkuasanya oligarki, absennya UU Indonesia, absennya mentalitas Indonesia. Ataupun ancaman nir militer lainnya.
Baca Juga: Buku Menggalang Ketahanan Nasional segera Diluncurkan
“Karena itulah maka sistem peringatan dini dan protokol krisis harus segera dibangun di Indonesia. Keduanya tentu saja harus berlandaskan Pancasila guna memastikan bantuan bagi otoritas kenegaraan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat,” tutup Yudhie Haryono
Buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila merupakan buku yang isinya membangun kesamaan persepsi, serta menumbuhkan kesadaran (awareness) dan kewaspadaan (alertness) kolektif bangsa Indonesia terhadap seriusnya berbagai bentuk ancaman yang dihadapi bangsa dan negara ini. Buku ini disusun sebagai intisari dari rangkaian diskusi serial yang digelar selama dua tahun dengan 80 narasumber dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu.
Turun hadir dalam bedah buku tersebut adalah Bob Mangindaan, Prof Sofian Effendi, Prof Kaelan, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Mayjen (Purn) I. Gede Putu Rai, Isnaeni, R.M.A.B. Kusuma, dan Prof. Yudhie Haryono