JAKARTA, MENARA62.COM – Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo mengingatkan bahwa Indonesia tidak hidup di ruang hampa tetapi berada dalam pusaran kepentingan politik global, dalam segala bentuk dan manifestasinya. Karena itu, Indonesia harus mampu bekerja sama secara setara, dan sekaligus wajib sanggup bersaing dan berkompetisi dengan berbagai bangsa dan negara.
“Eksistensi dan kelangsungan hidup sebuah negara dimulai dari pikiran warga-negaranya. Sehingga warga negara harus dibangun sebagai benteng ketahanan demi kelangsungan hidup negara-bangsa. Dan untuk membangun benteng tersebut adalah tugas pendidikan” kata Pontjo dalam siaran persnya, Jumat (18/9/2020).
Menurut Pontjo, Pendidikan dan Kebudayaan adalah sarana terciptanya Otak Bangsa (Brain of the Nation) sebagai bagian integral elemen Kekuatan Nasional Indonesia dalam era pertarungan permanen kepentingan politik global. Terlebih pada era di mana kini kita sudah memasuki perang generasi ke-empat yang dikenal sebagai perang nir-militer yang memasuki segala sendi baik ekonomi, sosial, bahkan politik. Dengan demikian Pendidikan dan Kebudayaan tidak dapat dipisahkan.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa saat ini tantangan suatu bangsa adalah membangun sistem pendidikan yang tepat yang sesuai dengan konteks sosial-budaya, sejarah, lingkungan alam bangsa yang bersangkutan, dan kebutuhan masa depan. Dengan demikian meskipun pendidikan merupakan investasi dalam menghadapi tantangan masa depan, pendidikan nasional kita harus tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
“Jadi hanya dengan sistem pendidikan yang tepat, yang berwawasan sejarah, berwawasan budaya, dan berwawasan masa depan, pendidikan kita dapat menjadi wahana dalam mengokohkan budaya bangsa,” tegas Pontjo.
Sementara itu Ketua Yayasan Budaya Cerdas Bambang Pharmasetiawan yang juga pakar pendidikan dari YSNB mengatakan bahwa Pendidikan dan Kebudayaan adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama, bahkan lebih dari itu Pendidikan merupakan bagian dari Kebudayaan. Jika Kebudayaan dihilangkan dari Pendidikan maka anak-anak Indonesia akan lupa mereka berasal dari mana.
“Itu sebabnya mata pelajaran sejarah yang merupakan salah satu implementasi dari Kebudayaan di Pendidikan merupakan mata pelajaran yang wajib bagi siswa sejak SD sampai SMA/SMK,” jelas Bambang.
Sejarah jadi pelajaran tidak wajib
Ia juga sangat mengawatirkan adanya wacana pada kurikulum baru yang menempatkan mata pelajaran sejarah hanya berupa mata pelajaran pilihan di SMA, bahkan dihilangkan dari SMK.
“Miris melihat wacana kurikulum baru yang menempatkan mata pelajaran Sejarah sebagai pilihan, sejajar dengan mata pelajaran pilihan lain. Bagaimana bisa menjadi warga negara unggul jika dia tidak tahu asal usul bangsa Indonesia lengkap dengan sejarah perjuangannya,” lanjutnya.
Menurut Bambang sejarah erat kaitannya dengan pendidikan karakter bangsa. Dan Pendidikan adalah alat perjuangan, karena Indonesia mungkin satu-satunya bangsa yang sudah memiliki sistem pendidikan nasionalnya sendiri sebelum merdeka.
Prasetijono Widjojo Ketua Tim Perumus pada Aliansi Kebangsaan yang juga mantan Deputi Bappenas pada kesempatan yang sama mengingatkan ungkapan Jas Merah dari Bung Karno yaitu Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Ini sesuai ungkapan Jawa yaitu dadi uwong iku, ojo koyo kacang lali karo lanjaran, orang yang lupa akan identitasnya, lupa akan apa yang membuatnya bisa tumbuh berkembang dan berdiri tegak di atas kaki sendiri. Jadi orang jangan lupa akan sejarahnya.
“Jadi mata pelajaran Sejarah adalah wajib, karena ini merupakan bagian dari Budaya dan harus tetap melekat pada Pendidikan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama Sururi Aziz dari Pergerakan Literasi Indonesia mengatakan bahwa jika generasi penerus bangsa tidak mengenal sejarah bangsanya, maka tidak akan ada rasa kebanggaan sebagai bangsa. Mereka hanya akan merasakan sebagai orang yang tinggal menikmati hari ini tanpa pernah tahu perjuangan para pendiri bangsa. Maka dari itu Kebudayaan tidak boleh dihilangkan dari pasal-pasal Pendidikan di RUU manapun.
Nurrachman Oerip mantan Dubes Indonesia di Kambodja mengatakan aktualisasi pemajuan kebudayaan dan dunia pendidikan, Indonesia adalah kondisi prasyarat “supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas (Alinea 3 Pembukaan UUD 18 Agustus 1945)” demi kelangsungan hidup dan berlanjutnya kemajuan Indonesia yang secara permanen berada dalam pusaran kepentingan politik global. “Nation and Character Building” Indonesia merupakan sarana agar Eksistensi, Identitas (Pancasila), dan Regenerasi Bangsa Indonesia terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikut, mencegah terputusnya mata rantai sejarah (historical missing-link) bangsa Indonesia.
Maka dari itu wacana di kurikulum baru yang menempatkan mata pelajaran sejarah hanya berupa mata pelajaran pilihan sungguh disesalkan, dan akan putus mata rantai sejarah bagi anak-anak Indonesia. Itu sebabnya frase Kebudayaan tidak boleh dihilangkan dari pasal-pasal Pendidikan di RUU Cipta Kerja.
Dalam kesempatan yang sama Susetya Herawati wakil Sekjen PP KB FKPPI menyampaikan bahwa budaya sebagai konstruksi penting yang akan menentukan maju tidaknya sebuah sistim Pendidikan. Kebudayaan dan Pendidikan adalah sebuah input dari proses untuk mewujudkan potensi manusia sebagai sebuah sistem (cara/pola pikir). Terwujudnya potensi manusia yang mengenal jati dirinya dan tidak terasing dari budayanya sendiri. Keberhasilan ini akan terukur dengan tingkat kesejahteraan sebagai bagian dari kebahagiaan.
“Pendekatan budaya merupakan sebuah keniscayaan ketika kita berbicara tentang hidup dan kebahagiaan yang menyangkut sistem nilai yang dihayati manusia, oleh karena itu Pendidikan dan kebudayaan tidak boleh dipisahkan, harus satu kesatuan sebagai input,” tutup Herawati.