JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo mengatakan bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan, bukan sebaliknya, dan bersumber dari budaya besar Indonesia yang terus tumbuh serta berkembang. Karena pendidikan adalah bagian dari kebudayaan maka semestinya penyebutan yang benar adalah kebudayaan dan pendidikan.
“Kita tidak lagi menyebut Pendidikan dan Kebudayaan namun sudah seharusnya Kebudayaan dan Pendidikan,” kata Pontjo, Rabu (22/7/2020).
Karena itu, naskah akademik yang diserahkan ke Komisi X DPR RI awal Juli lalu, dinamakan Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbudiknas). Naskah akademik tersebut disusun bersama-sama oleh FKPPI, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Aliansi Kebangsaan bersama para kolega seperjuangan yaitu Nusantara Center, Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), NU Circle, Gerakan Berantas Buta Matematika (Gernastaka), Yayasan Budaya Cerdas dan beberapa kolega profesional lain baik sebagai tim penulis maupun sebagai narasumber di FGD.
Menurut Pontjo, suatu pendidikan yang lepas dari budaya adalah pendidikan yang tak kenal arah dan tercabut dari kehidupan. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, akan menjadi tidak benar jika proses pendidikan mengabaikan segi budaya.
Muatan nilai budaya lanjut Pontjo, bukan sekadar menjadi materi pendidikan, namun proses pendidikan itu adalah proses pembudayaan. Ini adalah proses internalisasi yakni meresapkan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikan sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif.
“Maka, walaupun budaya adalah bentukan dari manusia, namun manusia hidup, bergantung dan bertindak dalam sistem budaya,” jelas Pontjo.
Lebih lanjut Pontjo Sutowo mengatakan bahwa persoalan kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab hanya dengan cara mengubah atau memperbaiki kurikulum. Peningkatan kualitas pendidikan juga harus dijawab dengan peningkatan kualitas guru. Oleh karena itulah harus dipikirkan peningkatan kualitas Guru dan Dosen.
“Guru dan Dosen sebagai tenaga profesional memiliki peran strategis untuk mewujudkan visi pendidikan. Guru mempunyai tugas utama pengajaran sesuai dengan prinsip profesionalitas. Guru adalah agen pembelajaran sekaligus pembentuk budaya yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekaysa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik,” kata Pontjo.
Baca Juga:
- Pendidikan Nasional Terpuruk, Revisi UU Sisdiknas Mendesak
- PGRI Desak Pemerintah Segera Susun Cetak Biru Pendidikan
- Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi
Sedangkan dosen mempunyai tugas utama tridharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Bahkan jika kita mengambil konsep dari Ki Hadjar Dewantara maka tugas dosen di perguruan tinggi bertambah satu karena konsep caturdharma dari Tamansiswa selain tridharma ditambah satu yaitu pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan kebudayaan nasional.
Dalam Laporan Pemantauan Pendidikan Global (Global Education Monitoring) Tahun 2016 yang diluncurkan di Jakarta misalnya, diketahui bahwa mutu pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai unsur penting dalam pendidikan berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Keadaan ini tentu memprihatinkan kita semua. Hal ini sangat disayangkan mengingat guru adalah ujung tombak agen pembentuk budaya.
Dalam permasalahan peningkatan kualitas guru, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebuah kementerian yang besar dengan anggaran besar namun tidak memiliki kepanjangan tangan sampai bawah, karena guru dimiliki oleh kabupaten/kota (SD dan SMP) dan propinsi (SMA/SMK).
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepantasnya diperlakukan yang sama dengan Kementerian Agama yang memiliki kepanjangan tangan sampai daerah melalui Kantor Wilayahnya (Kanwil), sehingga dapat memonitor sekolah-sekolah yang di bawah naungan Kementrian Agama secara langsung,” ujarnya.
Mengapa semua itu terjadi? Tentu ada banyak jawaban. Tetapi, lewat pendekatan postkolonial studies didapati jawaban bahwa semua itu karena kita tidak menganggap “pendidikan” sebagai the battle of sovereignty (pertempuran kedaulatan) guna mendapatkan security and prosperity (keamanan dan kemakmuran). Padahal, organisasi tertua pendidikan di Indonesia yaitu Tamansiswa menyebutnya sebagai “alat perlawanan terhadap semua kolonialisme.” Organisasi intelektual tertua Budi Oetomo sudah menyebutnya sebagai, “alat memerdekakan.”
“Sayangnya, kini kita terlalu banyak melakukan pendidikan hanya sebagai pendidikan saja, bahkan seringkali menjadi bisnis usaha jasa,” katanya.
Kesulitan pengembalian sentralisasi pendidikan akibat adanya otonomi daerah ini harus ada solusi sementaranya. Salah satu gagasan adalah dengan membuat Badan Pengelola Guru seperti diusulkan tim naskah akademik Sisbuddiknas ini. Yaitu sebuah badan di bawah Presiden atau badan independen dengan anggaran dari Kemdikbud, yang mengelola guru secara terpusat sehingga segala carut marut permasalahan guru dapat diatasi.