JAKARTA, MENARA62.COM – Fenomena pandemi Covid-19 yang masuk ke Indonesia sejak Maret 2020 dan belum berakhir hingga kini, menjadi batu ujian bagi ketahanan nasional kita. Bagaimana tidak, wabah Corona yang dimulai dari Wuhan, China pada akhir tahun 2019, dengan cepat telah memporak porandakan semua sendi kehidupan bernegara, tidak hanya masalah kesehatan, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, politik, budaya (kultural), bahkan telah mengubah tatanan global.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Singapore, Korea Selatan, Filipina, saat ini sudah masuk ke dalam resesi ekonomi. Dan Indonesia sendiri sudah mengalami konstraksi ekonomi sampai kurang lebih minus 5%.
“Dampak pandemi Covid-19 ini begitu serius. Karenanya pandemi Covid-19 ini penting untuk dibaca dalam konteks yang lebih luas yaitu keamanan nasional secara komprehensif,” kata Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YNSB) Pontjo Sutowo pada acara bedah buku Menggalang Ketahanan Nasional Dengan Paradigma Pancasila bertema ‘Dampak Semesta Covid-19 Terhadap Perdamaian – Keamanan Global dan Ketahanan Nasional Indonesia’ yang digelar secara virtual, Rabu (19/8/2020).
Konteks keamanan nasional ini merujuk pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara di mana Covid-19 sudah dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keamanan Negara karena terkait dengan keselamatan segenap bangsa. Oleh karena itu, menghadapi Covid 19 dengan segala dampaknya, menurut Pontjo tidak cukup dilakukan melalui upaya kesehatan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta upaya penanggulangan bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana saja.
Menghadapi Covid-19 lanjut Pontjo, harus dilakukan melalui upaya yang menyeluruh dan terpadu termasuk melalui upaya pertahanan negara sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang PengelolaanSumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Pontjo mengingatkan pada UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa dalam menghadapi ancaman non-militer, menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan (maksudnya di luar TNI), sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa perlu dilakukan. Namun sampai saat ini, amanat undang-undang ini belum ada pengaturannya lebih lanjut.
“Akibatnya, sejauh ini Indonesia tidak memiliki pertahanan terorganisir untuk menghadapi berbagai ancaman non-militer, termasuk menghadapi ancaman Covid-19 dengan segala dampaknya,” tukas Pontjo.
Padahal, ancaman non-militer di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara sudah menjadi ancaman aktual yang sangat membahayakan kedaulatan NKRI, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Dengan keadaan seperti ini, tidak heran kalau kemudian dalam menghadapi pandemi Covid-19, pemerintah terpaksa harus membentuk lembaga ad-hoc yaitu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 2020 yang kemudian diubah dengan Keppres No. 9 Tahun 2020. Dan terakhir dibentuk “Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional”dengan membubarkan Gugus Tugas berdasarkan Perpres No. 82 Tahun 2020.
Oleh karena pandemi Covid-19 sudah merupakan ancaman terhadap keamanan negara, maka dalam menghadapinya menurut Pontjo, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Harus menjadi tanggung jawab dari seluruh rakyat Indonesia sebagaimana Sistem Pertahanan Negara yang kita anut yaitu Sistem Pertahanan yang bersifat semesta sebagaimana ketentuan pasal 1 UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
“Sebagai sistem yang bersifat semesta, tentu segala usaha yang dilakukan harus bersifat total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,” jelas Pontjo.
Galang partisipasi masyarakat
Diakui Pontjo, meskipun secara doktrin dan regulasi upaya penanggulangan wabah Covid-19 ini harus melibatkan seluruh sumberdaya nasional. Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kita yang bersikap apatis, berperilaku non-compliance yang berlawanan dengan nalar kesehatan dan kebijakan publik. Bahkan, ada pihak-pihak yang justru memanfaatkan situasi pandemi ini untuk kepentingan golongan, kelompok, dan kepentingan pribadinya.
Menghadapi keadaan ini, Pontjo menilai perlu upaya sungguh-sungguh dan berkelanjutan dalam menggalang partisipasi masyarakat baik dalam pemikiran maupun tindakan sebagaimana tujuan disusunnya buku Ketahanan Nasional ini. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat, teori pembangunan partisipatif (participatory development) yang dikemukakan oleh Manshuri dan Rao (2011) dalam bukunya “Participatory Development Reconsidered”, menekankan perlunya masyarakat dijadikan subyek dalam pembangunan termasuk dalam menghadapi berbagai masalah pembangunan.
Untuk menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan tentu termasuk dalam menggalang ketahanan nasional, perlu dikembangkan model pembangunan yang bertumpu pada komunitas (community driven development). Bali dengan peran “pecalang”-nya dimasing-masing desa, merupakan salah satu contoh keberhasilan penerapan konsep pembangunan bertumpu pada komunitas, sehingga dinilai cukup berhasil dalam memperkecil resiko pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya.
Sementara itu Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai mengatakan pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan global. Organisasi regional telah berkurang perannya sehingga memaksa negara bangsa harus berjuang sendiri menghadapi pandemi Covid-19.
“Hal ini membuat bangsa ini perlu segera memperkuat Ketahanan Nasionalnya. Ketahanan Nasional yang tentu saja berbasis Pancasila,” jelas Dewa Putu Rai.
Menurutnya, beberapa negara telah memberi inspirasi dengan keberhasilan mereka mengatasi krisis yang ada karena memiliki ketahanan budaya. Sebut saja Vietnam dan Jepang.
Senada juga dikemukakan Dr. Riant Nugroho. Ia menyatakan jika keunggulan suatu negara-bangsa sebenarnya ditentukan oleh keunggulan kebijakan publiknya. Demikian pula dalam dalam penanganan Sistem Ketahanan Nasional Indonesia ataupun penanganan Pandemi Covid-19 yang kini tengah melanda.
“Pada saat ini yang kita perlukan adalah bagaimana mengubah kebijakan yang biasa menjadi kebijakan yang luar biasa dengan mengedepankan bangsa dan negara sehingga menjadi bangsa unggul dan terhindar dari krisis,” kata Riant Nugroho.
Di tempat yang sama Harjono Kartohadiprodjo mengatakan jika pandemi Covid-19 yang dapat berujung pada minusnya pertumbuhan ekonomi yang ekstrim dan terjadinya resesi ekonomi, mendorong untuk segera dilakukan penguatan akan ketahanan nasional. Utamanya perlu segera dihadirkannya pemimpin yang berwibawa serta pemerintah yang disegani dan menjadi panutan rakyatnya.
“Dengan hal tersebut, maka kembali normalnya kehidupan setelah mengalami pandemi Covid-19, dapat segera dapat diraih. Selanjutnya perlu dilakukan segera evaluasi policy Nasional untuk memperoleh hal terbaik bagi bangsa dan negara,” jelasnya.
Di samping persoalan pandemi Covid-19, ketahanan nasional Indonesia saat ini juga diuji oleh kasus klain China atas wilayah Laut Cina Selatan. Untuk mengatasinya, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Cina, Juwana SI Pol memandang perlunya gerakan ke dalam dan keluar. Ke dalam, salah satunya dengan melakukan konsolidasi dalam menghadapi kepentingan geopolitik dan strategis negara-negara besar. Keluar, salah satunya dengan memperkuat kerjasama multilateral dengan pihak yang terlibat dalam menegakkan hukum internasional di wilayah itu.
Pada webinar Bedah Buku YSNB ke-3 ini, bertindak sebagai narasumber adalah Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai, Dr. Riant Nugroho, Brigjen TNI (Purn) Junias MS Tobing, Mantan Duta Besar Cina Juwana, dan Harjono Kartohadiprodjo. Moderator bapak Nurrachman Oerip dan Keynote speech, Pembina YSNB Pontjo Sutowo.