33.4 C
Jakarta

Pontjo Sutowo Sebut Politik Multi Partai dan Pemilu Langsung Jadi Pemicu Suburnya Kejahatan Korupsi di Indonesia

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Gerakan Reformasi 1998 – 2002 pada dasarnya merupakan upaya mengadakan perubahan sistem pemerintahan negara menjadi sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan lebih bersih tidak diwarnai KKN (Korupsi, Kolusi & Nepotisme). Namun dalam perkembangannya, tingkat korupsi justeru tumbuh semakin subur. Hal itu terjadi setelah Indonesia memberlakukan konstitusi baru UUD NRI 1945 tahun 2002 dimana system politik menganut multi partai dan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Hal tersebut disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada acara FGD Tata Nilai bertema “Urgensi Berantas Korupsi: Problematika dan Solusi” yang digelar pada Jumat (23/8/2024). FGD dengan host Susetya Herawati dan moderator Nurrachman Oerip tersebut menghadirkan narasumber Sekjen Transparency Internasional Indonesia Danang Widoyoko, dan ekonom Prasetijono Widjojo MJ.

Menurut Pontjo, pemilihan umum secara langsung dan kewenangan partai sebagai satu-satunya pintu masuk warga-negara yang ingin duduk dalam pemerintahan (eksekutif maupun legislatif), membuat peran dan posisi partai politik menjadi sangat menentukan. Jargon “power tends to corrupt” pun mulai berlaku. Posisi tawar (bargaining position) partai politik menjadi sangat tinggi.

“Siapapun yang ingin menduduki jabatan kepala daerah, bahkan juga beberapa jabatan penting lainnya harus melakukan tawar menawar dengan partai politik,” kata Pontjo.

Di negara yang memiliki sumber daya ekonomi berlimpah seperti Indonesia, jabatan kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah menurut Pontjo, merupakan daya magnit yang sangat kuat untuk diperebutkan. Sementara itu, kekuatan partai terletak pada besarnya konstituen (rakyat) yang dapat dirangkulnya.

Jiwa dagang para “politisi-ambisius” pada akhirnya mendorong mereka berani melakukan tindakan spekulatif, dengan menawarkan biaya mahar tinggi kepada partai agar dirinya dapat diusung memasuki ajang pemilu. Lantas dari mana uang mahar yang begitu tinggi dapat ia peroleh?

“Tentu saja dari pengusaha yang berharap akan mendapat konsesi eksploitasi sumber daya alam, jika calon yang disponsorinya berhasil memenangkan pemilu. Selanjutnya ketika politisi ambisius tadi berhasil memenangkan pemilu, maka tiba saatnya, ia harus mengembalikan biaya sponsorship kepada para pengusaha tadi,” tegas Pontjo.

Rangkaian pemilihan kepala daerah yang demikian pada akhirnya membentuk apa yang disebut sebagai Siklus Transaksional Triple Helix Politik, Pemerintahan (Eksekutif dan legislatif) – Partai Politik dan Pengusaha.

Rangkaian kegiatan berikutnya setelah pejabat eksekutif maupun legislatif mulai menjalankan pekerjaannya di lembaga pemerintahan tadi, timbulah negosiasi tawar menawar antara wakil-wakil partai di DPR berhadapan dengan wakil-wakil partai yang duduk di eksekutif, yang pada umumnya berakhir dengan win-win solution yang buntutnya menguntungkan pengusaha-pengusaha sponsor tadi. Mereka begitu sibuknya tawar menawar bisnis tadi, hingga kepentingan rakyat warganegara justru kerapkali terabaikan.

Ironisnya, belakangan ini mekanisme triple helix tersebut telah merembet dan melibatkan fungsi kehakiman (yudikatif). KPK baru (hasil UU No.19 tahun 2019), telah digunakan untuk menyandera kekuatan-kekuatan politik yang berseberangan dengan koalisi pemerintah, guna memaksakan kehendaknya untuk menguasai partai besar guna dijadikan sebagai kendaraan politiknya untuk menundukkan pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 yang lalu, agar senantiasa mengikuti skenario yang ia kembangkan kedepan.

Korupsi Makin Kompleks

Diakui Pontjo, perilaku korupsi dewasa ini sudah semakin kompleks, tidak sekadar korupsi untuk menumpuk kekayaan saja, tetapi juga sudah berubah menjadi korupsi politik (kekuasaan), membentuk budaya baru yang oleh Dahlan Iskan disebut sebagai Budaya Post-Truth. Hukum sudah tidak mampu memecahkan persoalan dan mengatasi problem korupsi ini.

“Mungkin kita harus mengembangkan “Post Parliamentary Demokrasi” melalui media sosial, atau apa yang saya sebut sebagai “Digital Democracy” yang mengandalkan jargon “No Viral No Justice”, yang dewasa ini merupakan sarana ekspresi kedaulatan rakyat,” kata Pontjo.

Menurut Pontjo, perilaku korupsi dapat terjadi tidak hanya karena motivasi seseorang yang pada dasarnya memiliki “corrupted mindset”, akan tetapi dapat juga terjadi karena adanya “kesempatan”, atau karena kelemahan sistem tata kelola yang berakibat tidak efektifnya sistem pengawasan yang seharusnya berlaku.

Mengingat bahwa pembangunan peradaban satu bangsa yang berpenduduk 230 juta manusia, tidak dapat dilakukan hanya oleh puluhan ribu pejabat pemerintahan saja, maka kata Pontjo, partisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan untuk berhasil melaksanakan pembangunan nasional. Partisipasi bisa bermacam-macam bentuknya, dapat berupa saran & rekomendasi tentang rancangan strategis, atau berupa dukungan untuk dilaksanakannya kebijakan publik tertentu, maupun dukungan materil yang mungkin dapat diberikan oleh masyarakat.

Ia mengingatkan bahwa korupsi di kalangan pejabat pemerintahan maupun pimpinan organisasi kemasyarakatan adalah bentuk kejahatan yang luar biasa sebagaimana penyakit kanker yang menggerogoti dan mengancam kelangsungan hidup manusia, maka Pontjo ingin menggugah kesadaran kolektif masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menjaga jati diri budaya bagsa, menjaga kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, serta membangun kemandirian ekonomi bangsa Indonesia, dengan cara bergotong royong memberantas korupsi.

Senada juga disampaikan Prasetijono Widjojo MJ, seorang ekonom. Dalam paparannya ia menyebut bahwa makin maraknya korupsi disebabkan oleh rendahnya komitmen berlaku jujur, berintegritas dan bertanggungjawab para oknum penyelenggara negara. Kejahatan korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya makin marak karena rasa malu mulai memudar. “Mantan koruptor bisa menjadi legislatoratau pimpinan BUMN. Ini jelas merupakan atribut penghancuran budaya tata nilai , tata Kelola dan tata Sejahtera kehidupan mulia dan bermartabat bangsa,” tegasnya.

Ia menekankan perlunya perbaikan system tata Kelola dan mental karakter. Artinya bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi harus diarahkan bagi terwujudnya masyarakat anti korupsi melalui perbaikan system di semua lini layanan public, penguatan integritas masyarakat, peenegak hukum, penyelenggara negara serta penguatan system pencegahan.

Sementara itu, J. Danang Widoyoko ,Sekjen Transparansi Internasional Indonesia dalam materinya mengatakan upaya pencegahan korupsi tidak hanya fokus pada penegakan hukum. Karena integritas penegak hukum yang bermasalah justru membuat penegakan hukum bisa disalahgunakan.

“Pencegahan adalah aspek penting, tetapi kurang menjadi perhatian. Karena itu perlu fokus melihat mekanisme insentif untuk mendorong pencegahan yang efektif. Tidak ada strategi yang one-size-fits-all, perlu strategi spesifik untuk sektor tertentu,” tandasnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!