JAKARTA, MENARA62.COM – Kurikulum pendidikan harus dibangun dengan kerangka dasar Trimatra Pendidikan yang berisi Kebangsaan-Etika-Logika. Sebab pendidikan sejatinya merupakan proses membangun manusia Indonesia yang bukan sekedar sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara.
“Ketiganya memiliki kedudukan yang sama penting dalam proses membangun manusia Indonesia,” kata Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo ketika memimpin rombongan berbagai organisasi untuk menyerahkan Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbuddiknas) kepada Komisi X DPR-RI bulan lalu.
Karenanya, penyusunan mata-pelajaran harus mengacu pada desain struktur kurikulum inti pendidikan kita yang pada dasarnya ada empat, yaitu “Agama-Kebangsaan-Etika-Logika”. Berbeda dengan negara lain yang tidak menempatkan Agama di dalam kurikulumnya, Indonesia harus menempatkan Agama di dalam kurikulumnya karena selain berhubungan dengan etika, Agama juga berhubungan dengan kebangsaan/nasionalisme.
Pontjo menjelaskan etika dipakai dalam Trimatra Pendidikan karena lebih berkaitan dengan hubungan sosial sebagai manusia atau disebut sebagai etika pergaulan. Pada jenjang pendidikan tinggi maka etika lebih ditujukan pada etika kebangsaan dan etika dalam dunia kerja.
“Mata kuliah etika profesi dan etika yang berkaitan dengan rumpun ilmu masing-masing diperkenalkan, demikian pula etika yang berkaitan kebangsaan (mendahulukan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadi ataupun keilmuwan) diperkenalkan,” lanjut Pontjo yang juga menjabat Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti.
Pontjo yang juga Ketua Aliansi Kebangsaan melanjutkan, dalam soal Kebangsaan dapat dimulai dengan pemahaman bahwa setiap bayi yang lahir di Indonesia adalah penduduk Indonesia sesuai dengan etnis atau sukunya, dan melalui pendidikan dia akan dibentuk menjadi agensi dan warga negara Indonesia yang unggul.
Konsep warga negara memiliki keterikatan-keterlibatan dibandingkan dengan penduduk yang bersifat lepas. Penduduk adalah manusia sebelum menjadi warga negara, tetapi dia mentransendensikan pula kualitas kewarga negaraannya. Sebagai warga negara dia wajib bisa mempertahankan tanah airnya, baik tanah air fisik, tanah air formal, dan tanah air mental !
“Logika sendiri dapat kita bagi menjadi tiga rumpun yaitu Literasi Bahasa, Matematika, dan Sains. Semua mata pelajaran bermuara dari ketiganya,” tukasnya.
Fokus perbaikan matra Logika harus dimulai dari tingkat SD/MI agar kemampuan bernalar pada anak didik sudah dibiasakan dan ditanamkan sejak jenjang ini, karena SD/MI adalah fondasi dari semua pendidikan di atasnya. Dengan demikian pada jangka panjang di tingkat SMP akan dipetik hasilnya dengan nilai PISA yang kompetitif dengan negara lain dan ujungnya menjadi manusia Indonesia yang bernalar sebagai salah satu ciri warga negara Indonesia unggul.
“Tentunya tidaklah elok mengesampingkan estetika. Bingkai besar dari Trimatra Pendidikan adalah kebudayaan dimana estetika sudah masuk di dalamnya,” tegas Pontjo.
Sederhanakan Mata Pelajaran
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Perumus dan Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas Bambang Pharmasetiawan yang juga Ketua Yayasan Budaya Cerdas dan Luhur mengatakan bahwa dalam naskah akademik telah memuat pula tentang hal dalam menyusun mata pelajaran yang kurikulum intinya adalah Agama-Kebangsaan-Etika-Logika. Pada mata pelajaran dan mata kuliah yang dibuat dan ditambahkan hendaknya mengacu pada definisi nilai final dan nilai instrumental.
Nilai final adalah apa-apa yang ditujukan sebagai tujuan pendidikan. Biasanya ditetapkan oleh sebuah keputusan politik atau konsensus para cerdik cendekia. Sedangkan nilai instrumental adalah sebuah disiplin akademik yang diajarkan guna mewujudkan nilai final tersebut.
“Dengan mengacu pada kaidah nilai final dan nilai instrumental maka momok bahwa murid-murid Indonesia terlalu banyak mata pelajarannya (dan bukunya) dapat dihindari dan disederhanakan,” katanya.
Menurut Bambang, ini adalah dasar untuk menyederhanakan mata pelajaran, semua dikembalikan pada asalnya. Jika dia adalah mata pelajaran untuk psikomotorik jangan diperlakukan sebagai kognitif, ujungannya ikut-ikutan menghafal, padahal seharusnya melatih raga (dapat mengurangi jumlah buku siswa yang dimiliki/dibawa).
“Penyederhanaan dapat mulai dilakukan sekarang dengan mengambil momen kondisi pendidikan saat ini di tengah pandemi sehingga dilakukan melalui daring/on-line (PJJ),” ujarnya.
Sebagai contoh lanjut Bambang adalah masalah budi pekerti/karakter. Budi pekerti dapat dikatakan sebuah nilai final. Budi pekerti sebagai nilai final dapat didekati oleh banyak nilai instrumental, misalnya agama, Sejarah, PPKn, Biologi, bahkan olah-raga. Ketika olah raga, yang dinilai adalah kedisiplinan, tanggung jawab, dan gotong royong, dan bukan hanya sebatas prestasi olah raganya saja karena ini adalah pendidikan bukan kompetisi. Dengan demikian budi pekerti embedded dalam semua mata pelajaran, bukan berdiri sendiri (sebagai mata pelajaran tersendiri).
Demikian pula dengan masalah kebangsaan dan budaya unggul, keduanya dapat dititipkan dalam berbagai mata pelajaran. Bahkan dapat dibuat sebuah kegiatan yang berkorelasi dengan lebih dari satu mata pelajaran, pembelajaran terintegrasi, sehingga konsep pembelajaran modern yang berbasis Science Technology Engineering Art and Mathematic (STEAM) dapat diterapkan, sekalipun itu tentang tema Pancasila.
Beberapa mata pelajaran seperti PPKn dan Sejarah dapat menjadi lokomotif dalam pembentukan warga negara yang baik, di samping mata pelajaran pendukung yang lain seperti Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Biologi, dan lain lain yang tidak boleh meninggalkan nilai keindonesiaannya. Jadi jangan sampai ada lagi anak Indonesia yang tidak tahu letak kota Sabang atau hasil tambang di Papua ada emas juga. PPKn harus dijadikan suatu mata pelajaran yang diisi materi Pancasila dan Sejarah Kebangsaan dan disertai analisa sebab-akibat yang disesuaikan dengan jenjangnya, bukan menghafal undang-undang atau bahkan tahun kejadian semata.
Menghadapi globalisasi (tanpa batas) dan generasi milenial yang berfikiran kreatif (creative), kolaboratif (collaborative), berkarakter (character), dan saling terhubung (connected) maka penguatan pendidikan yang berlatar belakang kewarganegaraan sangat penting karena mindset harus dibentuk untuk ketahanan bangsa. Dengan demikian materi Ke-Indonesiaan dan Kemaritiman harus melekat dalam Kurikulum Indonesia dimana Pancasila adalah dasar dari seluruh mata pelajaran yang ada karena Pancasila adalah acuan utama dari Kurikulum Indonesia.
Metode Meta Science untuk SDM Unggul
CEO Nusantara Center Yudi Haryono, selaku Ketua Tim Perumus dan Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas, menegaskan bahwa kita harus menghasilkan warga negara unggul via metoda meta science yang berenergi mental Pancasila, sesuai yang termuat dalam naskah akademik tersebut. Definisi warga negara unggul yang merupakan gabungan antara kata warganegara dan kata unggul maknanya adalah “patriot sejati Indonesia yang takwa, ikhlas, berperikemanusiaan, adil, beradab, jujur, bertanggung jawab, mumpuni, ulet dan tangguh.
Ujungnya, lanjut Yudi, mereka punya knowledge (know what), attitude (know why) and skills (know how). Dengan demikian seorang warganegara unggul tidak saja memiliki kecerdasan dan nalar yang baik (Logika), namun juga memiliki sikap sosial yang baik (Etika) dan nasionalisme yang tidak diragukan lagi (Kebangsaan), inilah keterkaitan Trimatra Pendidikan dengan warganegara unggul.
Menurutnya, prasyarat untuk menjadi warganegara unggul adalah Kewarganegaraan harus diperkuat terlebih dahulu sehingga internalisasi ini akan meresap ke dalam dasar jiwa anak-anak. Jika konsep warganegara ini sudah tertanam benar barulah diperkenalkan Kewargaan, karena pada dasarnya kewargaan adalah menunjukkan bahwa warganegara Indonesia juga merupakan bagian dari warga dunia. Jika pengenalan ini terbalik maka akan buruk akibatnya.
“Jadi nuansa keindonesiaan harus mewarnai seluruh mata pelajaran yang diajarkan, juga matakuliah di perguruan tinggi. Namun bukan berarti kita menutup diri dari luar, tetapi lebih menguatkan dulu rasa nasionalisme anak didik Indonesia,” jelas Yudi.
Ahmad Rizali Kabid Pendidikan NU Circle (Kelompok Profesional NU) yang merupakan salah seorang penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas mengutarakan bahwa dalam naskah akademik tersebut termuat pula prioritas perbaikan pendidikan pada jenjang SD/MI untuk jangka panjang. Beberapa survei dan studi yang kredibel menunjukkan bahwa saat ini hanya 1 dari 10 warga Indonesia di usia 18 Tahun yang menjawab soal 1/3 – 1/6 dengan benar. Lalu 7 dari 10 murid kelas 5 dan 6 SD di sebuah daerah di Indonesia yang diuji menjawab soal 3/4 + 3/4 dengan 6/8. Ini sesuai dengan mengamati hasil uji PISA 2018 bahwa Indonesia semakin terpuruk dan hasil Asesmen Kompetensi Murid yang sangat rendah.
“Jika ingin serius memperbaiki mutu manusia Indonesia, maka harus dimulai dengan membenahi jenjang SD/MI, karena dari sana pula rasa kebangsaan menjadi Indonesia ditanamkan,” kata Ahmad Rizali.
Selain “discipline mind” tersebut, rasa empati kepada sesama dan apresiasi terhadap budaya, seni dan kriya dapat ditanamkan sejak dini. Semua dapat dimulai dari mengurusi guru SD/MI, sejak PGSD/PGMI hingga melatih mereka dengan tepat di KKG bahkan sekolah.
Karena itu jika tatakelola menghambat, sudah selayaknya perlu diterbitkan “Inpres SD/MI” tentang mutu. Presiden Soeharto menerbitkan Inpres SD dan 40 Tahun kemudian APM SD/MI kita menjadi 91 %, dan sudah saatnya sekarang diterbitkan “Inpres SD jilid-2” agar 30 Tahun lagi, mutu pendidikan kita tak lagi semakin terpuruk. Jadi jika dulu ada SD Inpres untuk akses maka kini sebaiknya ada SD Inpres untuk mutu.