33.3 C
Jakarta

Potensi Pengekangan Kebebasan Berekspresi Pasca Pembahasan Rancangan KUHP

Baca Juga:

 

Oleh : Supriyadi Widodo Eddyono

Meskipun dalam beberapa ketentuan terjadi perdebatan alot, namun DPR dan Pemerintah tidak secara tegas menghapus pasal-pasal yang bermasalah tersebut, terlihat masih besarnya keinginan negara untuk mengekang hak asasi manusia.

Saat ini Pemerintah dan DPR telah menyelesaikan seluruh pembahasan pertama Rancangan KUHP, proses ini kemudian hanya menyisakan beberapa pembahasan minor terkait pasal-pasal Rancangan KUHP dan perumusan ulang teknis norma hukum, pada dasarnya ada beberapa pasal yang sudah disepakati dan sengaja ditunda karena menimbulkan perdebatan. Dalam beberapa pasal baik yang sudah disepakati dan atau ditunda tersebut, ada beberapa pasal yang kemudian diproyeksi dapat mengekang kebebasan berekspresi.

Setidaknya ada beberapa pidana sebagaimana disebutkan di atas berpotensi untuk disetujui dalam RKUHP. Pertama, kejahatan ideologi negara. Pengaturan mengenai kejahatan terhadap ideologi dalam R KUHP diatur pada Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, yaitu mengenai Penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme (Pasal 219 dan pasal 220) dan Peniadaan dan mengganti Ideologi Pancasila (Pasal 221).

Masalah utama perumusan pasal-pasal kejahatan ideologi tersebut masih menimbulkan banyak penafsiran (multi purpose act) , samar dan tidak jelas dapat berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia. Khususnya terkait dengan jenis perbuatan yang dilarang, apakah perbuatan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme atau perbuatan yang menggantikan atau mengubah Pancasila? Pasal tersebut intinya menyebutkan bahwa dilarang mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme yang ditujukan untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara.

Akibatnya rumusan pasal tersebut sangat luas, frase unsur-unsur tindak pidana tersebut seperti  “menyebarkan atau mengembangkan” kemudian “ajaran Komunisme/Maxisme-Leninisme” Dan“di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun” berpotensi menghadang kebebasan berekpresi dan berpotensi memperparah situasi insiden pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku dan lain-lain  yang diklaim sepihak sebagai ajaran  Marxisme akan  tetap terjadi di masa mendatang

Kedua, Pengaturan mengenai kejahatan terhadap Tindak Pidana penghinaan terhadap pemerintah dalam R KUHP berada dalam Buku II Bab V dengan judul Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Pasal 284 dan Pasal 285 R KUHP. Pasal-pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan terhadap penguasa yang telah dihilangkan Mahkamah Konstitusi juga kembali dimasukkan dalam pasal 284 -285 R KUHP.

Oleh karena itu, ke depan terlihat jelas bahwa tren penguatan pasal-pasal proteksi Negara akan kembali menguat. Pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan pada penguasa disepakati oleh Pemerintah dan DPR masuk dalam KUHP, meskipun mambawa logika perubahan dari delik formil menjadi delik materil, namun penggunaan pasal ini dipastikan akan sangat subjektif digunakan oleh negara untuk membungkam kritik dari masyarakat.

Ketiga, Tindak Pidana Penghinaan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP berada dalam Buku II Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden, di Bagian Kedua. Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam Pasal 265 dan Pasal 266 RUU KUHP dan bila diamati Pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan pasal-pasal tindak pidana martabat presiden dalam Bab II KUHP, yakni Pasal 134, 136 Bis 137 KUHP.

Dalam pembahasannya, pasal ini memang dipending oleh DPR, namun tim Pemerintah bertahan dengan argumen perlu untuk menjaga martabat presiden dan wakil presiden. Pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste yang bermaksud menempatkan pemimpin negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik. Oleh Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, materi ketentuan ini dicabut, mengaturnya kembali sama saja membangkang pada konstitusi.

Keempat, Pemerintah dan DPR telah masuk dalam pembahasan BAB VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Contemp of Court. Di permulaan pembahasan, Prof. Muladi yang mewakili pemerintah menyebutkan bahwa konsep dalam BAB VI ini merupakan bentuk pengaturan yang lebih dari Contemp of Court (CoC), Pemerintah menyebutkan pengaturan ini adalah bentuk lebih luas dari CoC karena juga mengandung ketentuan terkait pengabaian perintah pengadilan, penghinaan pada hakim dan integritas peradilan, Trial by Press, sampai dengan perlakuan tidak sopan di muka sidang. Pemerintah menyebutkan bahwa ketentuan ini di-design demi melindungi proses peradilan dan bersifat futuristik.

Bahwa kondisi pembahasan khusus pasal CoC ini bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam CoC sangat sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia. Misalnya saja larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata dewan pers yang bisa mengadili maslaah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana. Meskipun dalam beberapa pasal terjadi penundaan pembahasan, namun sekali lagi, baik DPR dan Pemerintah tidak secara tegas menghapus ketentuan yang dianggap bermasalah.

Kelima, Ada beberapa masalah mendasar terkait dengan delik penghinaan dalam R KUHP yaitu meningkatnya ancaman pidana (yang akan dijelaskan dibawah ini), dan ketiadaan alasan pembenar yang cukup. R KUHP nampaknya tidak melihat penggunaan doktrin “Alasan Membela Diri” dalam perkara penghinaan. Ini agar kebebasan berekpresi terkait kritik  tidak dicampur adukkan dengan menghina. Selama ini ekpresi yang bersifat kritik seringkali di laporkan ke aparat penegak hukum sebagai penghinaan.

Meskipun pembahasannya dipending, namun tampaknya DPR dan Pemerintah sepakat untuk menaikkan ancaman pidana dari pasal penghinaan selama ini Aliansi mendorong setidaknya penggunaan pidana denda sebagai ancaman pidana dalam pasal-pasal penghinaan. Pidana Fintah dan Pengaduan Fitnah akan memiliki ancaman pidana 5 tahun, yang artinya akan ada tindakan represif berupa penahanan pada pelaku penghinaan, dalam praktik selama ini, termasuk yang terjadi dalam UU ITE, pasal ini akan digunakan sebagai alat yang sangat efektif untuk membungkam kritik dan mengekang kebebasan berekspresi. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for  Criminal Justice Reform (ICJR), tulisan ini atas nama Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!