SOLO,MENARA62.COM – Presiden Prabowo Subianto memanggil beberapa pejabat Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke Istana Negara.
Dilansir keterangan resmi Biro Pers Istana, Senin (13/1/2025), pertemuan yang berlangsung tertutup itu juga dihadiri Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, dan Plt Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh.
Menurut Ketua Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia (RI) periode 2016-2018, Prof. Dr Aidul Fitriciada Azhari S.H., M.Hum., mengatakan pertemuan tersebut merupakan langkah menegaskan komitmen dari Presiden Prabowo dalam upaya koordinasi dan penegakan hukum serta bagian dari upaya sekaligus untuk memperkuat politik hukum dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Pertemuan itu saya kira langkah tegas komitmen dari Presiden dalam upaya langkah koordinasi dan penegakan hukum, sekaligus memperkuat politik hukum dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi yang muncul dari perizinan jadi dua hal yang saya kira penekanan memang Kejaksaan Agung ada di bawah Presiden perlu menunjukkan politik hukum terkait pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujarnya, Senin (20/1/2025).
Dia juga menyampaikan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Agung relatif lebih berhasil dibandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Misal pada tahun 2021 sampai 2023 Jaksa Agung sudah menyelamatkan aset dan memulihkan kerugian Negara melalui jalur Perda sebesar 11 Triliun lebih, kemudian untuk memulihkan kerugian negara melalui jalur Perdata sebesar 52 Triliun dan untuk menyelamatkan aset barang rampasan dan barang ciptaan sebesar 5 Triliun,” imbuh Guru Besar Ilmu Hukum UMS tersebut.
Guru Besar UMS itu menuturkan Pemerintah Indonesia sudah memiliki instrumen yang lengkap dalam pemberantasan korupsi, seperti undang-undang, lembaga peradilan, serta aparatur mandiri seperti KPK dan PPATK yang tidak dimiliki oleh semua negara. Namun menurutnya, masalah utama terletak pada mentalitas dan budaya hukum yang belum berkembang dengan baik.
“Meskipun dari segi substansi dan aparatur hukum Indonesia sudah maju, perilaku hukum yang buruk, seperti korupsi yang dilakukan oleh hakim, polisi, jaksa, dan pejabat, menunjukkan hilangnya teladan dalam penegakan hukum. Hal ini menyebabkan hukum di Indonesia cenderung menurun dan mengalami kemerosotan,” paparnya.
Aidul menilai bahwa korupsi di Indonesia sudah sistemik mulai dari hulu sampai hilir, serta Indonesia belum memiliki Role Model dalam pemberantasan korupsi, Penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum justru dilakukan oleh aparatur itu sendiri. Ia mengungkapkan pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan oleh satu instansi saja melainkan perlunya sinergitas antar lembaga tidak hanya dalam penegakan melainkan juga dalam pencegahan.
Menurutnya, Indonesia memiliki krisis keteladanan dalam pemberantasan korupsi, tidak hanya terjadi di sektor-sektor tertentu, misal pengelolaan dana desa yang mencapai 1 milyar, yang sering disalahgunakan oleh aparat desa.
“Korupsi di Indonesia sudah menjadi masalah sistemik yang perlu diberantas, pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan oleh satu instansi saja, perlunya sinergi antara berbagai lembaga baik Kejaksaan Agung, PPATK, dan KPK harus bekerja sama. Dalam pemberantasan korupsi bukan hanya dalam penindakan penegakan hukum tetapi juga melalui pencegahan awal, perbaikan sistem, reformasi birokrasi, serta peningkatan kesadaran hukum.” pungkasnya (*)