JAKARTA, MENARA62.COM – Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa agama yang mencerahkan akan tercermin dalam perilaku keseharian, termasuk dalam perilaku berpolitik yang menyejukkan.
“Politik itu dalam manhaj Muhammadiyah, masuk dalam ranah muamalah dunyawiyah, sehingga berlaku kaidah yang diambil dari hadis Nabi, antum a’lamu bi umuri dunyakum,” tuturnya pada pengajian bulanan PP Muhammadiyah mengusung tema: Beragama yang Mencerahkan, dikutip dari suaramuhammadiyah, Jumat (12/4).
Pengajian rutin di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta itu menghadirkan narasumber Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Tafsir, dan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid.
Menurutnya dalam wilayah muamalah, diperlukan kreativitas dan dinaminasi sesuai pertimbangan konteks ruang dan waktu.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dalam berpolitik, Muhammadiyah harus tampil sebagai teladan atau uswah. Warga Muhammadiyah, harus menempatkan berpolitik itu bagian dari berdakwah, dan tidak menempatkan politik sebagai tujuan. Sehingga jika berbeda pilihan, maka perlu dianggap sebagai bagian dari perbedaan ijtihad,” ujarnya.
“Sebagai wilayah ijtihad, masing-masing pendapat harus dihargai,” jelasnya.
Mu’ti membacakan QS. Fatir: 19-22, “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.”
Bermakna bahwa kehidupan yang mencerahkan, yang diliputi cahaya adalah kehidupan yang diterangi oleh petunjuk ilmu pengetahuan. “Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar: 9). Supaya bisa beragama yang mencerahkan, maka dibutuhkan ilmu dan pengamalan secara bijak.
Hamim Ilyas menjabarkan tentang perspektif teologi sebagai dasar dari beragama yang mencerahkan. Pandangan ini mendasari semua ajaran, sehingga ikut mendasari keberagamaan. Hal ini dilandasi oleh QS. Al-Anbiya: 107, “Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.” Menurutnya, pola kalimat ini berupa: menafikan, menetapkan. Bahwa kualitas yang diakui adalah kualitas yang diungkapkan.
Islam harus dipahami dalam paradigma rahmat. Islam sebagai risalah Nabi Muhammad itu rahmatan lil alamin. Menurut Hamim, rahmat itu dimaksudkan untuk seluruh alam, sesuai kebutuhan seluruh makhluk-Nya di alam raya. Kebutuhan untuk mencapai hidup yang baik (hayah thayyibah). Kehidupan yang baik dinilai dengan indikator: bahagia, damai, sejahtera.
Hamim menuturkan bahwa rahmat adalah perasaan lembut yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan kepada yang dikasihi. Rahmat juga bermakna sebagai anugerah kepada yang membutuhkan. Jadi, rahmat adalah ekspresi dari rasa cinta. Dalam relasi keluarga, sering disebut harus ada rahmat, sakinah, dan mawaddah
Tafsir, menjelaskan tentang makna pencerahan. Orang-orang yang tercerahkan, maka akan memancarkan cahaya ke sesama, tidak akan menyakiti, tidak akan mencaci maki. Belakangan, hanya karena pesan WhatsApp, orang menjadi keluar dari grup. Ini pertanda sikap tidak mencerahkan.
Hidayat Nurwahid menyampaikan bahwa beragama yang mencerahkan dimulai dari sikap adil sejak dalam pikiran. Adil bermakna menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan dengan proporsi yang tepat. “Beragama yang mencerahkan adalah fitrah kita, sehingga harus disegarkan,” ungkapnya. (ribas)