0leh: Arief Budiman Ch
Muktamar ke-31 Muhammadiyah di Purwokerto ini, sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Rencana tanggal 9-14 Juli 1953 bakal diselenggarakan. Direncanakan juga, Presiden RI Ir Soekarno dimohon hadir untuk memberikan pidato sambutan dan membuka Muktamar.
Ternyata, Presiden Soekarno menyatakan tidak bisa hadir. Alasannya situasi negara, karena belum terbentuknya kabinet yang baru. Seperti diketahui dalam sejarah, pergantian kabinet saat itu amat sering terjadi, Kabinet Wilopo baru saja mengembalikan mandatnya kepada Presiden, awal Juni 1953. Tercatat, sejak proklamasi kemerdekaan 1945, telah terjadi 15 kali pergantian kabinet dengan masa tugas terpendek satu bulan dan terlama 18 bulan. Masa perjuangan paska proklamasi kemerdekaan itu memang merupakan masa-masa sulit dalam menjalankan pemerintahan. Karena itu, Presiden Soekarno tidak bisa meninggalkan ibu kota, ia perlu berkonsentrasi untuk menuntaskan masalah penyusunan kabinet agar pemerintahan kembali dapat berjalan.
Namun demikian, Presiden Soekarno menulis surat kepada Pengurus Besar Muhammadiyah (kini sebutannya menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Presiden menyatakan penyesalannya karena tidak bisa menghadiri Muktamar, yang beliau sebut sebagai Kongres dalam surat itu. Bung Karno, demikian panggilan tenarnya sejak di Bengkulu, menyatakan mengenal Muhammadiyah dari dekat, karena ia pernah ikut aktif di Muhammadiyah selama beberapa tahun. Ketika Bung Karno menjalani masa penahanan oleh pemerintah kolonial di Bengkulu tahun 1938 sampai 1942. Bung Karno memimpin di bagian Majelis Pengajaran Konsul Muhammadiyah Daerah Bengkulu.
Kesediaan Bung Karno menjadi Ketua Majelis Pengajaran, bermula dari permintaan Hasan Din, Ketua Muhammadiyah Bengkulu yang suatu pagi datang ke rumah pengasingan Bung Karno di Kelurahan Anggut Kecamatan Ratu Sambat Bengkulu. Hasan Din menyampaikan, bahwa Muhammadiyah di Bengkulu menyelenggarakan sekolah rendah agama dan sedang kekurangan guru. Hasan Din mengatahui bahwa ketika di Ende, Bung Karno memiliki hubungan yang akrab dan sepaham dengan Guru Ahmad Hassan, pemimpin organisasi Persatuan Islam di Bandung. Karena itu Hasan Din meminta agar Bung Karno bersedia membantu Muhammadiyah di Bengkulu dengan menjadi guru. Bung Karno menjawab dengan senang hati dan menyatakan, permintaan tersebut adalah sebuah kehormatan. Bung Karno dengan senang hati menaiki sepeda onthelnya memberikan pengajaran kepada siswa/siswi Madrasah Muhammadiyah di Kebun Ros.
Tahun 1940 Bung Karno memprakarsai penyelenggaraan konferensi Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera yang dinamai “Konferensi Daeratul Kubra”. Konferensi dihadiri oleh KH Mas Mansyur selaku ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dari Yogyakarta, konsul-konsul Muhammadiyah se Sumatera, Teuku Hassan dan staf Konsul Muhammadiyah Aceh, Hamka dan kawan-kawan Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur, AR Sutan Mansur dan kawan-kawan Konsul Muhammadiyah Minangkabau, Abdul Mu’in dan staf dari Konsul Muhammadiyah Tapanuli, konsul Muhammadiyah Riau, Jambi, RZ Fananie dari Konsul Muhammadiyah Palembang dan Konsul Muhammadiyah Lampung.
Kota Bengkulu menjadi semarak oleh konferensi ini. Resepsi pembukaan diselenggarakan di gedung Bioskop Royal. Persidangan konferensi dipimpin oleh Udin Syamsudin dari Sumatera Barat dan Bung Karno sebagai sekretaris sidang. Konferensi ini menghasilkan keputusan tentang rencana peningkatan tenaga pengajar, peningkatan mutu pendidikan, pelajaran agama dan umum berimbang meliputi kurikulum, metodologi penyempurnaan administrasi sekolah dan perserikatan. Selain itu dibahas juga agar para pengajar Muhammadiyah dapat menanamkan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air, selain cinta kepada agama kepada murid-muridnya.
Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda dan kedatangan bala tentara Jepang, yakni saat Perang Dunia kedua dan Perang Asia Timur Raya berlangsung, atas saran Residen Hooykas, Bung Karno bersama pengurus Konsul Muhammadiyah Bengkulu lainnya mendirikan lembaga untuk menolong korban perang. Lembaga ini diberi nama PEKOPE (Penolong Korban Perang). Oey Tjeng Hien (Ketua Konsul Muhammadiyah Bengkulu) menjadi ketua, Bung Karno sebagai wakil ketua, sekretaris Supeno dan sebagai bendahara adalah dr Djamil.
Pada tahun 1943, Bung Karno menikahi Fatimah, putri Hasan Din. Dari pernikahan dengan Fatimah, yang kemudian dipanggilnya Fatmawati, Bung Karno dikaruniai lima anak, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Jauh sebelum pengalaman beraktivitas di Muhammadiyah Bengkulu hingga menikahi Fatmawati, Bung Karno sudah berkenalan dengan pendiri Muhammadiyah. Yaitu ketika Kiyai Ahmad Dahlan sering berceramah di rumah HOS Cokroaminoto, Peneleh Surabaya, Soekarno yang masih berusia 15 tahun dan menjadi anak kos di situ sering mendengarkan ceramah-ceramah itu. Menurut Bung Karno, pidato atau ceramah Kyai Dahlan itu berisi regeneration dan rejuvenation daripada Islam. Bung Karno bersimpati kepada Kiyai Ahmad Dahlan, sehingga dia mengintil kepadanya (selalu mengikuti setiap ceramah tabligh KHA Dahlan).
Agaknya, pengalaman-pengalaman itulah yang membuat Bung Karno merasa menyesal tidak bisa menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto tahun 1953 itu. Sehingga Bung Karno memerlukan untuk menulis surat. Ada beberapa poin isi surat yang ditulis tangan oleh Bung Karno di atas kertas kop Presiden RI itu. Pertama, pernyataan penyesalan karena tidak bisa hadir. Kedua, forum Muktamar Muhammadiyah dirasakan penting bagi Bung Karno untuk mengeratkan tali silaturahmi dengan keluarga besar Muhammadiyah. Ketiga, Bung Karno sangat memahami arti penting dan peran Muhammadiyah dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik dalam kehidupan ruhani, kenegaraan maupun kemasyarakatan. Keempat, Bung Karno mendoakan akan Muhammadiyah tetap dalam posisi dan perannya yang demikian. Kelima, Bung Karno mengakui karakter,kepribadian dan jiwa yang hidup di kalangan orang-orang Muhammadiyah, yang ikhlas, ulet dan bijaksana. Karakter jiwa yang demikian yang dibutuhkan bagi pembangunan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita kemerdekaannya.
Untuk lebih jelasnya, berikut kutipan lengkap surat tersebut, ditulis sesuai ejaan aslinya.
Jth sdr sdr Pengurus Besar Muhammadijah. Assalamualaikum w. w.,
Surat undangan jang sudara2 kirimkan kepada saja untuk menghadiri Kongres Purwokerto ini, telah saja terima dengan rasa terimakasih. Saja sungguh menjesal, bahwa saja, berhubung dengan belum terbentuknja kabinet baru, tidak dapat menghadiri Kongres ini. Sebenarnja saja ingin benar menghadirinja, bukan sadja untuk mengeratkan silaturachmi dengan sudara-sudara, tetapi djuga oleh karena saja mengetahui betapa besar artinja Muhammadijah dalam kehidupan roechani bangsa kita, dan pula kehidupan kenegaraan dan kemasjarakatan. Saja mengenal Muhammadijah dari dekat, bahkan buat beberapa tahun djuga dari dalam. Karena itu saja dengan sungguh-sungguh mendo’a kehadzirat Tuhan jang Masa Esa moga-moga Ia senantiasa memberkati dan memberi taufik-hidajah kepada Muhammadijah, agar supaja Muhammadijah tetap menduduki arti-penting dalam kehidupan keroechanian bangsa kita itu, dan mendjadi salah-satu penjumbang tenaga jang penting dalam pembangunan Negara kita dan masjarakat kita.
Pekerdjaan pembangunan bukanlah pekerdjaan jang mudah. Ia meminta keichlasan, keuletan, kebidjaksanaan. Dan terutama sekali ia meminta kesutjian djiwa. Saja mengenal djiwa jang hidup dalam kalangan sudara-sudara. Saja jakin, bahwa dengan djiwa jang hidup dalam kalangan sudara-sudara itu, sudara-sudara dapat memenuhi apa jang diharapkan dari sudara-sudara.
Moga2 Konggres sudara2 berhasil!
Merdeka !
Soekarno
7-7-53
Penulis: Arief Budiman Ch, Komunitas Peminat Studi Muhammadiyah (KomPaSMu)