Dari ”Pak Itu”, saya mengenal Nafrizal, penulis muda asal Aceh yang sangat berbakat. Bang Naf, begitu ia biasa dipanggil, adalah penulis biografi ”Pak Itu” yang kemarin saya ceritakan.
Semalam kami berdiskusi panjang lebar berlima melalui platform video conference Zoom: ”Pak Itu”, Dr Ilham Maulana MSc, Bang Naf dan Bang Saidi, pegiat lingkungan yang berlatar belakang ”orang media” dan saya sendiri.
Setelah membahas buku selama satu jam, saya melanjutkan obrolan khusus dengan Bang Naf, untuk proses penyelesaian biografi ”Pak Itu” dan pengayaan kontennya.
Dari obrolan itu, saya akhirnya tahu: Bang Nafalumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Sebelum menjadi penulis, Bang Naf pernah menjadi wartawan ”Analisa Aceh”.
Jujur saja, saat membaca naskah kali pertama, saya agak terkejut. Penulisannya bagus. Padahal, setelah saya konfirmasi ke Bang Naf, ternyata belum disentuh editor.
Memang ada penulis yang memiliki kemampuan istimewa. Mereka bisa membuat artikel yang berkualitas ”press-klaar”. Istilah ini saya dengar kali pertama pada awal bergabung di ”Jawa Pos” tahun 1991.
Tidak mudah menulis artikel ‘‘press-klaar”. Apalagi ”press-klaar” dan cepat. Saya harus berlatih keras berbulan-bulan.
Awalnya menulis berita pendek. Lama-lama makin panjang. Awalnya menulis dengan kecepatan lambat. Kian hari kian cepat. Akhirnya bisa menulis ”press-klaar” artikel panjang dengan kecepatan tinggi.
Pentingkan menulis ”press-klaar” dengan speed tinggi? Sangat perlu. Terutama saat menjadi reporter piket tengah malam. Wartawan yang bisa menulis ”press-klaar” dengan kecepatan menulis yang tinggi akan membantu proses penerbitan koran tepat deadline.
Saat latihan, saya menggunakan arloji sebagai stop watch. Menulis berita satu setengah page awalnya butuh 40 menit. Kian dilatih kian cepat. Akhirnya saya bisa menulis berita 1,5 halaman dalam 15 menit.
Apakah ada yang lebih cepat? Ada. Beberapa wartawan ”Jawa Pos” saya lihat bisa menulis lebih cepat daripada saya. Meski demikian, kecepatan menulis yang saya kuasai sudah cukup.
Ilmu menulis berita cepat itu saya peroleh dari Pak Dahlan Iskan yang waktu itu masih sering mengedit tulisan reporter. Caranya ternyata unik:
Tips 1:
Tidak boleh merekam dengan alat perekam. Isi wawancara dan data harus diingat-ingat. Kalau belum bisa mengingat dengan data yang banyak boleh dengan menulis di block notes. Semua wartawan ”Jawa Pos” bebas meminta block notes seukuran handphone melalui sekretaris redaksi.
Mengapa harus mengingat-ingat? Ternyata, mengingat-ingat itu mengaktifkan otak dan memaksa wartawan berkonsentrasi penuh dalam wawancara dan pengumpulan data.
Berbeda kalau menggunakan tape recorder. Wartawan cenderung tidak berkonsentrasi penuh, karena menyerahkan fungsi mengingat-ingat itu kepada alat perekam.
Tips 2:
Dengan konsentrasi penuh, pada saat wawancara dan pengumpulan data, wartawan sudah bisa menemukan angle beritanya sehingga bisa ”nguber” narasumber dengan pertanyaan lanjutan untuk melengkapi laporan.
Dalam perjalanan pulang ke kantor redaksi, wartawan harus sudah punya ”rengrengan” atau ”bayangan berita” yang akan dituilis berdasarkan wawancara dan pengumpulan data terserbut.
Tiba di kantor redaksi, pekerjaan tersisa hanya menulis ”rengrengan” itu menjadi berita sungguhan. Tidak ada kegiatan untuk mendengarkan rekaman lagi. Semua sudah dianalisis dan tersimpan di otak.
Tips 3:
Jangan melihat keyboard komputer saat mengetik. Biarkan jari-jari berfungsi sebagai mata untuk menemukan posisi tuts yang sesuai. Pandangan mata harus selalu ke layar monitor.
Awalnya banyak kesalahan ketik. Sebab jari tangan belum bisa ditugasi mencari poisisi tombol-tombol huruf di keyboard. Setelah dilatih berulang kali, akhirnya bisa.
Namun kemampuan menulis ”press-klaar” dan cepat ternyata tidak permanen. Begitu malas latihan, kemampuan itu pun menurun. Tapi setelah dilatih lagi, kemampuan itu akan muncul kembali.
Menulis ”press-klaar” dan cepat sangat membantu saya dalam menulis dan mengedit naskah buku.
Mau mencoba?