JAKARTA, MENARA62.COM – Produk radiofarmaka Pusat Teknologi Radioisootop dan Radiofarmaka, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yakni TB Scan atau kit radiofarmaka etambutol telah mengantongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan dikantonginya izin edar, maka TB Scan tersebut siap untuk diproduksi massal dan dikomersilkan.
Dalam keterangan persnya yang digelar secara daring, Kepala BATAN, Anhar Riza Antariksawan mengatakan TB Scan memiliki akurasi hingga 90 persen lebih dalam mendiagnosis infeksi TB baik pada paru maupun di luar paru. Dengan akurasinya yang sangat tinggi tersebut diharapkan produk ini menjadi solusi menekan angka kasus TB di tanah air.
“TB Scan ini mempunyai fungsi untuk mendeteksi infeksi penyakit tuberkulosis di paru dan di luar paru seperti tulang, sistem gastrointestinal, dan sistem syaraf secara lebih akurat dan cepat,” kata Anhar, Rabu (24/3/2021).
Data 2020 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat ketiga kasus TB di dunia setelah India dan China. Dengan kehadiran radiofarmaka etambutol TB scan ini akan sangat membantu pemerintah dalam menangani penyakit TB di Indonesia dengan menyediakan cara diagnosis yang sangat efektif.
Produk TB Scan ini menurut Anhar telah melalui proses penelitian yang panjang dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di luar BATAN seperti RS Hasan Sadikin, Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia, PT. Kimia Farma, dan BPOM. Kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam melakukan penelitian dan inovasi sangat dibutuhkan agar hasil penelitian dan inovasi tersebut dapat dihilirkan kepada masyarakat.
Diakui Anhar, TB Scan merupakan produk radiofarmaka ke-6 yang dihasilkan BATAN yang segera dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. “Kami berharap semakin banyak produk radiofarmaka yang dihasilkan, penerimaan masyarakat terhadap nuklir semakin membaik. Nuklir tidak selalu berhubungan dengan hal-hal yang berbahaya atau hancur seperti Hirosima. Nuklir juga bisa dimanfaatkan untuk kemanusiaan dan kesehatan,” tambahnya.
Dikatakan Anhar, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan produk radioisotop dan radiofarmaka sehingga dapat mengurangi produk impor, bahkan dapat meningkatkan ekspor. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki fasilitas reaktor riset yang merupakan salah satu reaktor riset daya dan fasilitas pendukung yg termasuk terbesar.
“Potensi pengembangan produk radioisotop dan radiofarmaka cukup besar, namun demikian, karena ekosistem industri radioisotop dan radiofarmaka mencakup berbagai aspek dan juga perlu keterlibatan berbagai pihak, maka kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem industri tersebut sangat diperlukan,” jelas Anhar.
Kepala PTRR, Rohadi Awaludin mendeskripsikan, kit radiofarmaka etambutol/TB scan merupakan sediaan farmasi kering steril yang di dalamnya terkandung ethambutol hydrochloride dan beberapa zat tambahan. Zat tambahan ini berguna untuk membantu proses penandaan atau pengikatan radioisotop Tc-99m ke dalam senyawa etambutol.
Kit radiofarmaka etambutol diklaim mampu mendiagnosis TB di dalam dan di luar paru. TB di luar paru atau dikenal dengan TB ekstra paru, adalah kondisi infeksi bakteri mycobacterium tuberculosis telah menyebar ke jaringan dan organ tubuh selain paru-paru.
“TB di luar paru tidak mudah didiagnosis menggunakan metode lain. Organ yang dapat terinfeksi bakteri penyebab TB adalah sendi, tulang, kelenjar limfa, selaput otak, ginjal, kulit dan organ saluran urin,” tambahnya.
Adanya infeksi TB di luar paru jelas Rohadi, dapat diketahui menggunakan kit radiofarmaka etambutol ini. Kit radiofarmaka etambutol ini digunakan di rumah sakit-rumah sakit yang telah memiliki fasilitas kedokteran nuklir.
Di rumah sakit, sediaan ini digunakan setelah ditambahkan larutan mengandung zat radioaktif Tc-99m, selanjutnya diberikan kepada pasien melalui pemberian intravena (pembuluh darah balik). “Etambutol bertanda Tc-99m akan terakumulasi di dalam jaringan yang terinfeksi bakteri TB sehingga keberadaan infeksi tersebut dapat diketahui melalui pemindaian/scanning menggunakan kamera gamma,” ujar Rohadi.
Pengembangan kit etambutol kata Rohadi, sudah dimulai sejak tahun 2015, namun jauh sebelumnya, penelitian yang sama telah dilakukan oleh Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT). Hasil penelitian PSTNT ini kemudian dievaluasi oleh tim peneliti PTRR khususnya terkait dengan pengembangan proses produksi didasarkan pada sistem Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) radiofarmaka yang ada di PTRR.
“Beberapa modifikasi dilakukan disesuaikan dengan proses produksi di dalam sistem CPOB di PTRR. Setelah proses produksi berhasil disesuaikan dengan sistem CPOB di PTRR dan diperoleh hasil yang memenuhi persyaratan, selanjutnya dilakukan validasi proses sesuai dengan persyaratan regulasi,” katanya.
Selama proses pengembangan ini, tim peneliti BATAN dipandu oleh tim pengembangan produk PT Kimia Farma. Tim pengembangan produk PT Kimia Farma telah memiliki daftar dokumen dan data yang diperlukan untuk proses registrasi produk ke BPOM.
Sebelum mendapatkan izin edar, produk ini dilakukan serangkaian pengujian klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Data data hasil uji klinik yang sangat mendukung berhasil diperoleh dari kegiatan uji klinis ini.
“Data hasil uji klinis ini sangat diperlukan dalam proses registrasi di BPOM selain data proses produksi dan kendali kualitas produk. Pada akhirnya tanggal 22 Februari 2021 kit radiofarmaka etambutol mendapatkan izin edar dengan nomor DKL 2112432144A1,” pungkas Rohadi.