YOGYAKARTA, MENARA62.COM — Neurosains Pendidikan Islam (NPI) merupakan varietas cabang ilmu hasil penyilangan antara pendidikan Islam dan neurosains. NPI mengadaptasi pendekatan interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin. NPI merupakan ikhtiar membumikan Risalah Islam Berkemajuan (RIB) dalam konteks pendidikan Islam berkemajuan.
NPI memiliki peluang untuk berkembang pesat menjadi cabang ilmu baru sebagaimana cabang-cabang ilmu yang telah ada. Di antaranya, Filsafat Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Sosiologi Pendidikan Islam, Antropologi Pendidikan Islam.
Hal itu diungkapkan Prof Dr Suyadi SPdI, MPdI pada pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Senin (11/9/2023). Prof Suyadi mengangkat judul pidato pengukuhan ‘Neurosains Pendidikan Islam : From Neuron to Nation.’ Prof Suyadi menjadi Guru Besar UAD ke 10 pada usia 41 tahun.
Lebih lanjut, Suyadi mengatakan NPI dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari otak sehat untuk pencerdasan. “Defubusu operasional ini berbeda dengan neurologi yang cenderung fokus mempelajari (mengobati) otaksakit untuk penyembuhan,” kata Suyadi.
Karena itu, kata Suyadi, Pendidkan Islam harus mampu memastikan otak peserta didik sehat, bukan sekedar normal. Jika hal ini dapat diwujudkan maka kualitas kecerdasan otak manusia semakin meningkat dan dengan demikian bangsa semakin maju. “Atas dasar ini, Neurosains Pendidikan Islam menjadi jawaban atas rendahnya kualitas otak manusia dan kemajuan kehidupan berbangsa,” tandas Suyadi.
Kajian NPI, kata Suyadi, mencakup empat dimensi yaitu normatif teologis, filosofis teoritis, saintifik empiris, dan stimulasi edukatif pada ranah implementatif. Kajian NPI yang bersifat normatif teologis mengacu tafsir ayat-ayat neurosains.
Kajian NPI filosifis dan teoritis dikembangkan dari konsep akal bertingkat Ibnu Sina. Kajian NPI saintifik empiris dikembangkan dari neuroanatomi dan neurofisiologi. Sedang kajian NPI stimulasi edukasi dikembangkan dari higher order thinking skills dalam pendidikan Islam.
“Saat ini, saya sedang memperjuangkan Neurosains Pendidikan Islam setara dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Dampak dari ilmu ini adalah menjadi ilmu bagi pencegahan korupsi,” kata Suyadi.
Berdasarkan teori, kata Suyadi, otak seorang koruptor itu normal, tetapi tidak sehat. Suyadi berobsesi ingin menciptakan alat yang bisa mengklasifikasi otak seseorang normal atau sehat. Alat hasil ciptaannya diharapkan dapat menjadi instrumen bagi penyelenggara negara.
Kegunaan alat ciptaan Suyadi, adalah mekanisme setelah tes tertulis formal penerimaan penyelenggara negara, selanjutnya peserta akan menjalani tes gelombang otak. Jika gelombang otaknya terdeteksi normal, maka peserta tersebut memiliki kencenderungan melakukan korupsi besar. Sedang jika gelombang otaknya sejak awal sehat, maka resiko atau potensi korupsi bisa diminimalisir.
“Jadi kita sedang melakukan pencegahan korupsi dengan pendekatan Neurosains sejak awal. Supaya penanggulangan korupsi itu tidak hanya penegakan hukum yang sifatnya represif,” kata Suyadi. (*)