JAKARTA, MENARA62.COM – Guna lebih membumikan dunia saintek di Indonesia, Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minat Saintek), Kementerian Pendidikan Tingggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek) tengah mengkaji program Living Lab. Program ini intinya mengkolaborasikan antara peneliti dengan masyarakat luas, sehingga dapat mendobrak sekat yang selama ini memisahkan peneliti dengan masyarakat.
“Jangan lagi kegiatan saintek itu banyak di lab yang dibatasi ruang, dibatasi alat. Tetapi bagaimana kegiatan ini juga melibatkan masyarakat,” kata Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minat Saintek) Yudi Darma pada diskusi dengan media bertema Membangun Ruang Hidup Sains dan Teknologi untuk Masyarakat di Jakarta, Jumat, 3 Oktober 2025.
Dengan konsep Living Lab, nantinya masyarakat akan turut dilibatkan dalam mengevaluasi sekaligus memberikan masukan atau intervensi terhadap program-program riset.
“Jadi, kalau misalnya kemarin semua kegiatan riset itu ada di laboratorium secara tradisional, di ruang lab saja, kemudian produknya diluncurkan ke masyarakat, kita jadi pemakai gitu ya. Padahal, sebenarnya, dalam keseharian masyarakat itu juga punya keinginan (ikut berkecimpung),” ujarnya.
Dengan Living Lab, lanjut Yudi, maka masyarakat akan merasa mempunyai laboratorium untuk menyelesaikan persoalan di lingkungannya.
Ia menekankan bahwa sebenarnya kunci dari riset berdampak adalah dapat menjawab apa yang menjadi tuntutan dan harapan masyarakat. “Sebenarnya masyarakat ada harapan, tuntutan, bahkan di pihak peneliti juga masyarakat itu selalu memberikan porsi (ide) di research center,” kata dia.
Dalam persoalan ini, menurut Yudi, penting dibangun kedekatan antara peneliti dan masyarakat. Kolaborasi bersama antara peneliti dan masyarakat tak cuma perkara menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk riset.
Yudi menceritakan bahwa pihaknya mendapatkan temuan jika banyak produk riset tidak berhasil dihilirisasi. Hal ini menimbulkan frustasi bagi peneliti. “Isu-isu produk riset gagal hilirisasi ini banyak soal ya, mungkin juga dari segi bisnis. Tapi yang jelas ini sudah membuat peneliti frustasi,” ucap Yudi.
Ia berharap, kemampuan atau analisa ilmuah pun hidup di masyarakat. Sehingga terjadi diskusi-diskusi berbasis ilmiah di kehidupan bermasyarakat. “Ketika masyarakat lebih paham, maka harus bisa sampai berdebat dengan saintis,” tuturnya
Yudi ingin kontribusi masyarakat semakin masif dalam memengaruhi produk saintek. Untuk itu, ia sekali lagi menekankan interaksi dalam saintek.”Kita ciptakan siklus, bukan hanya interaksinya saja, tapi di sana ada keberlanjutan di situ, sehingga dirasakan langsung oleh masyarakat,” tuturnya.
Melalui proses ini, Yudi berharap, tidak hanya akan tercipta transfer ilmu pengetahuan, namun ada partisipasi masyarakat dalam memperbaiki dunia saintek di Indonesia.
Selain itu, produk yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat juga menjadi kendala. Karena itu, diperlukan kolaborasi lebih kuat antara peneliti dan masyarakat.
Co-creasi, Libatkan Publik Sejak Awal
Di tempat yang sama, Dosen Sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, Evi Eliyanah menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sejak awal terhadap dunia sainstek atau diistilahkan sebagai Co-kreasi. Ini adalah langkah untuk melibatkan masyarakat sejak awal dalam riset, sehingga masyarakat terlibat aktif dalam melahirkan produk riset.
“Jadi dengan co-kreasi bersama ini masyarakat dilibatkan bahkan sejak memetakan permasalahan yang ada,” kata Evi.
Dengan adanya co-kreasi, lanjut Evi, masyarakat tidak cuma sekadar menerima hasil riset. “Jadi masyarakat nanti tidak hanya dilemparkan produk baru. Jadi dari awal dikembangkan bagaimana,” ungkapnya.
Pelibatan lebih luas adalah dengan kolaborasi langsung dengan industri. Tujuannya adalah maksimalisasi seluruh riset dari hulu ke hilir.
Tak kalah penting, bagaimana pemetaan persoalan baru setelah produk riset ada di masyarakat. Agar terus ada perbaikan dan pengembangan produk riset.
“Jadi ada umpan balik dalam memetakan bagaimana masalah yang kita hadapi ini dan akan kembali diselesaikan bersama,” tegasnya.
Sementara itu, Dosen sekaligus sejarawan Monas University, Luthfi Adam menerangkan jika salah satu tantangan riset adalah koneksi antara peneliti dan masyarakat. Menurutnya komunikasi antara peneliti dan masyarakat adalah hal penting.
“Karena jangan sampai terpisah dunia riset itu antara kampus dengan penelitinya serta masyarakat,” kata Luthfi.
Peneliti lanjut Luthfi, memang punya kemampuan sebagai ekspertis. Tapi masyarakat yang lebih dekat dengan persoalan yang nyata.
“Jadi harus ada ruang yang didobrak sehingga saintis dan masyarakat berada dalam satu ruang yang sama,” tutur Luthfi..
Bahkan menurutnya, masyarakat harus dijadikan sebagai informan bagi peneliti. Sehingga riset yang dilakukan bersama lebih berkembang.
“Saintis harus punya relasi dengan siapa saja, mereka harus punya informan dan informan itu adalah orang lokal, masyarakat yang memberikan informasi pengetahuan,” tutup Luthfi.
