SOLO, MENARA62.COM – Meningkatnya kasus perundungan (bullying) di Indonesia menjadi perhatian serius para akademisi dan praktisi psikologi, termasuk dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dosen Fakultas Psikologi UMS, Prilya Shanty Andrianie, S.Psi., M.Psi., Psikolog., menilai fenomena ini harus disikapi secara menyeluruh, terutama karena telah menimbulkan dampak psikologis yang berat hingga berujung pada kasus bunuh diri di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Prilya menyoroti beberapa kasus yang baru-baru ini mencuat di media, seperti tragedi yang menimpa almarhum Timothy dan mahasiswa di Solo. Menurutnya, perundungan bukan satu-satunya faktor penyebab tindakan ekstrim seperti bunuh diri, namun bisa menjadi pemicu gangguan mental yang sudah ada sebelumnya.
“Kasus di Solo itu setelah saya telusuri, ternyata memang mahasiswa tersebut ada indikasi bipolar, yakni gangguan emosi dan mood. Jadi bisa jadi bukan murni perundungan, tetapi ada gangguan psikologis yang menjadi pemicu,” jelasnya, Sabtu (1/11).
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia menunjukkan bahwa tahun 2023 terdapat 3.800 kasus bullying, dan pada 2024 jumlahnya meningkat hampir 100 kasus. Jenis bullying yang paling dominan adalah fisik (sekitar 55–56%), disusul verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%).
“Bullying psikologis sering kali tidak disadari. Misalnya, ketika seseorang diabaikan, dikucilkan, atau tidak dilibatkan dalam pertemanan. Itu termasuk bentuk perundungan,” ujar Prilya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa ranah pendidikan dan keluarga kini menjadi dua lingkungan utama tempat perundungan terjadi. “Padahal seharusnya dua tempat itu menjadi ruang paling aman bagi anak dan remaja,” imbuhnya.
Menurut Prilya, fenomena perundungan di perguruan tinggi sering kali merupakan akumulasi dari pengalaman negatif di jenjang pendidikan sebelumnya.
“Bisa jadi pelaku atau korban pernah mengalami bullying sejak SD, SMP, atau SMA, dan tidak terselesaikan dengan baik. Akibatnya, saat kuliah, dampaknya muncul kembali dalam bentuk gangguan mental atau perilaku yang berulang,” terangnya.
Ia juga menyoroti adanya budaya senioritas dan balas dendam, yang memicu praktik perpeloncoan saat masa orientasi mahasiswa baru. “Budaya senior-junior ini harus diubah. Sistem orientasi seharusnya menumbuhkan rasa kekeluargaan, misalnya dengan konsep kakak asuh–adik asuh. Jadi mahasiswa baru merasa diterima dan aman,” sarannya.
Prilya menjelaskan, terdapat tiga pihak yang berperan dalam siklus bullying: pelaku, korban, dan bystander (penonton). Upaya pencegahan dapat dilakukan jika semua pihak memiliki sikap empati dan asertivitas.
“Empati membuat seseorang enggan membully karena bisa merasakan posisi korban. Sementara asertivitas berarti berani menyampaikan sesuatu secara positif, seperti menegur atau melapor saat melihat tindakan bullying,” jelasnya.
Selain itu, lingkungan sekitar perlu peka terhadap tanda-tanda korban bullying, seperti menarik diri, menjadi pendiam, mudah emosional, atau enggan masuk sekolah/kuliah.
Dalam menangani korban, Prilya menekankan pentingnya PFA (Psychological First Aid) atau pertolongan pertama psikologis. Langkah ini meliputi kepekaan terhadap perubahan perilaku, kesediaan mendengarkan tanpa menghakimi, serta membantu korban mendapatkan rujukan profesional bila diperlukan.
“Kadang seseorang tidak butuh solusi langsung, tapi hanya ingin didengarkan. Kalau kita tidak mampu menanganinya, bantu dia untuk bertemu dengan psikolog atau psikiater,” tuturnya.
Sebagai langkah preventif di perguruan tinggi, Prilya mendorong adanya satuan tugas (Satgas) anti-bullying yang aktif melakukan sosialisasi dan kampanye tentang lingkungan kampus yang aman dan positif.
“Kampus perlu memiliki sistem yang jelas untuk pelaporan, peer counseling, dan sosialisasi keberanian bersikap. Dengan begitu, UMS maupun perguruan tinggi lain bisa menjadi rumah yang benar-benar aman bagi mahasiswa,” pungkasnya. (*)
