25.5 C
Jakarta

Publikasi Ilmiah Meningkat, Modal Penting Indonesia untuk Menapaki Jalur Industri

Baca Juga:

JAKARTA – Kegiatan publikasi ilmiah dari peneliti-peneliti Indonesia mengalami kemajuan pesat. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kurun Januari-November2017 tercatat 1.535 publikasi ilmiah baik nasional maupun internasional, dimana 40 persen diantaranya merupakan publikasi internasional dengan kualitas terbaik.

Fakta tersebut kata Plt Kepala LIPI Bambang Subiyanto, sebenarnya merupakan potensi penting bagi Indonesia untuk menapaki jalur industri.

“Dilihat dari publikasi ilmiah, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi dan industrinya. Hal ini karena Indonesia tidak ketinggalan dalam capaian publikasi ilmiah dan sitasi,” tuturnya di sela Diskusi Panel Serial (DPS) bertema ATHG Dari Dalam Negeri (Iptek dan Industri) yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti bekerjasama dengan FKKPI, Sabtu (5/5/2018).

Meski publikasi ilmiah meningkat drastis, menurut Bambang, hal tersebut belum cukup jika untuk menempuh jalur industri. Indonesia perlu memperkuat terus R&D agar menghasilkan teknologi sendiri.

“Selain itu juga memberikan perlindungan atau insentif pada pihak yang memanfaatkan teknologi baru hasil negeri sendiri, dan menyediakan infrastruktur atau sarana untuk menguji teknologi baru, untuk interaksi dan sekaligus alih teknologi,” lanjut Bambang.

Menurut Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo, industri tak lepas dari penggunaan hasil riset, inovasi dan ilmu pengetahuan. Dimana semua itu dimanfaatkan untuk mengelola bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Di dunia ini, pengembangan industri semakin besar selepas terjadinya revolusi industri di dunia Barat  Uniknya revolusi industri terjadi selepas terjadinya revolusi dalam dunia pemikiran dan dunia ilmu pengetahuan dalam abad-abad sebelumnya atau dikenal dengan istilah etika Protestan.

“Etika ini meliputi hemat, kerja keras, disiplin, dan keterbukaan. Etika tersebut kemudian menghasilkan konsep ideologi kapitalisme dan antitesanya yaitu sosialisme dan komunisme,”katanya.

Hal menarik dari kemajuan industri, ternyata tradisi keagamaan menjadi salah satu faktor kuat pendorong industri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kemajuan industri China pada tahun-tahun terakhir ini yang ternyata juga mengembangkan kombinasi antara etika Konfusian yang merupakan sumber nilai dasar masyarakat China dengan semangat kapitalisme dan komunisme dalam bentuk baru yang tercerahkan.

“Konsep tersebut kiranya dapat diterapkan di Indonesia karena agama Islam dianut sebagian besar bangsa Indonesia yang bersahabat dengan dunia perdagangan dan teknologi, sehingga Indonesia dapat menapaki jalan revolusi industrinya seperti China,” lanjut Pontjo.

Namun demikian untuk menapak ke jalan revolusi industri, pembangunan industri yang terkait dengan dunia inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi ini tidak dapat dilakukan dengan pendekatan sektoral saja. Diperlukan peran dari dunia usaha, dengan sentuhan keindonesiaan dan mengedepankan nilai kebersamaan atau gotong-royong.

Di tempat yang sama, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja mengatakan jika revolusi industri secara teknis dimulai dari adanya revolusi industri baja. Karena itu jika Indonesia ingin masuk ke revolusi industri,  Indonesia perlu mengelola industri bajanya dengan sungguh-sungguh agar mampu terbangun kedaulatan industri nasionalnya. Terlebih, sumber daya mineral bijih besi dan tembaga Indonesia juga melimpah.

Sayangnya pengembangan industri baja di Indonesia belum maksimal. Sebagai akibatnya Indonesia menjadi importir baja terbesar ketiga dunia (10,9 juta ton), di bawah EU (11,8 juta ton), dan AS (21,1 juta ton). Sementara itu eksportir baja utama dunia adalah China (94,6 juta  ton), Jepang (34,5 juta ton), Rusia (26,7 juta ton), serta Brazil (11,6 juta ton). Dan sekalipun sebagai importir terbesar ketiga dunia, ternyata kebutuhan konsumsi baja Indonesia masih yang terendah di Asean. Kebutuhan perkapita baja di Indonesia tahun 2013 hanya 51 kg perkapita, sementara itu Malaysia 336 kg perkapita dan Thailand 258 kg perkapita.

“Kenyataan tersebut menunjukkan jika kebutuhan baja Indonesia sebenarnya sangat besar, sehingga industri baja perlu terus didukung dan didorong ke depan. Terlebih industri baja juga adalah ibu industri karena berperan penting dalam pembangunan industri nasional dan merupakan kekuatan Industri nasional,” kata Mas Wigrantoro.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!