31.7 C
Jakarta

Radio di Yogya “Lesu Darah”?

Baca Juga:

Oleh : Ashari*

Lesu darah. Barang kali kata tersebut lebih pas untuk menggambarkan bisnis radio di DI Yogyakarta saat ini. Tetapi obor bisnis itu belum mati. Semangat untuk tetap hidup (survival) masih nampak, namun situasi pasar yang sudah sangat berbeda pada media tahun 80-90an, menjadikan bertepuk sebelah tangan. Ceruk iklan yang dulu begitu mudah ke kantong-kantong radio, kini kondisinya mulai beralih kepada media lain, yakni televisi dan koran (media massa), masih menempatkan diri mereka sebagai tempat pengiklan dua besar. Setelah itu baru media luar ruang (baliho), internet hingga radio menjadi pilihan terakhir.

Sementara fungsi radio, masih tidak jauh beda, yakni sebagai media informasi, pendidikan dan hiburan (entertainment). Dengan kekhasannya media audio ini akan tetap hadir di muka bumi ini, termasuk di Yogyakarta, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Diantaranya radio dapat menjangkau hampir seluruh warga negara dalam masyarakat, setiap waktu, setiap tempat, dan melibatkan siapa saja (bahkan orang buta huruf) serta di mana saja. Pendengar tidak harus tetap berada di depan pesawat radionya, tidak seperti halnya menonton televisi.

Ini berarti mendengarkan dapat dilakukan sembari melakukan hal-hal lainnya, berpindah tempat, tetapi harus tetap dengan konsentrasi tinggi. Hal ini berarti lebih banyak waktu yang dapat digunakan untuk mengerjakan hal-hal lainnya, sambil dapat mendengarkan/ menikmati suaranya. Ini juga berarti bahwa makin banyak pendengar yang dapat dijangkau sementara mereka masih tetap dapat bekerja sesuai tanggung jawab pekerjaannya.

Radio adalah media elektronik termurah, baik pemancar maupun penerimanya. Ini berarti terdapat ruang untuk lebih banyak stasiun penyiaran dan lebih banyak pesawat penerima dalam sebuah perekonomian nasional. Dibandingkan dengan media lain, biaya yang rendah sama artinya dengan akses kepada pendengar yang lebih besar dan jangkauan lebih luas dari radio. (sumber internet)

Gairah Radio di DIY

Jumlah pasti radio di DIY agak susah dihitung dengan rigit. Namun dari data yang penulis peroleh sekitar 50-an. Itu sudah termasuk radio komunitas, radio kabel dan radio swasta, di samping radio RRI milik pemerintah yang kini menjadi radio publik. Mereka tergabung dalam beberapa organisasi keradioan, misalnya PRSSNI DIY (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ) kini anggotanya ada 21 radio. Ada juga yang tergabung dalam ARSI DIY (Asosiasi Radio Siaran Indonesia) dan beberapa radio komunitas yang dimiliki oleh kelompok/komunitas masyarakat atau paguyuban mereka bergabung untuk dapat berkomunikasi, berinteraksi dengan saling patungan untuk dapat membiayai radio komunitas tersebut sehingga dapat hidup.

Lesu darah bisnis radio di DIY (mungkin juga) di daerah lain, lebih disebabkan oleh faktor eksternal yang berdampak serius pada “dapur” radio secara real. Selain karena faktor korona, yang entah sampai kapan berakhir ini. Catatan ringan ini, bukan untuk menjadi insan radio pesimis menatap masa depan. Namun justru sebaliknya, menjadi pelecut. Semangat.

Pertama, adanya paradigma yang mulai bergeser, baik para pengiklan (klien) maupun masyarakat sendiri, bahwa radio bukan lagi satu-satunya media yang dapat digunakan sebagai media informasi, pendidikan dan hiburan tersebut. Selain pilihan makin variatif, mudah, media lain juga makin memberikan kelebihan-kelebihan yang sifatnya menantang dan entertaint (menghibur). Fitur HP yang makin complicated, menjadikan radio menjadi terpinggirkan.

Kedua, upaya marger beberapa radio menjadi satu dalam kesamaan visi, ternyata tidak selalu memberikan hasil positip. Karena memang tidak mudah menggabungkan 2 atau 3 dapur yang terdiri dari orang-orang untuk dapat disatukan. Namun upaya itu terus dilakukan untuk mencari formula yang tepat, hingga radio tersebut menjadi pilihan masyarakat pendengar dalam radio tertentu. Bahkan trend radio di kota-kota besar “membeli” radio daerah, dengan sindikasi program ternyata juga belum memberikan hasil yang menggembirakan. Padahal infonya, biaya sindikasi dan “beli” penyiar jadi, cost-nya cukup besar.

Ketiga, regenerasi Radio di DIY, saya amati agak terlambat. Memang sudah ada yang menempatkan anak-anak muda yang masih fresh untuk mengurus program dan “jual” suara yang openmic. Namun   banyak yang bertahan dengan stok lama, karena keterbatasan dana dan programacara. Sekian

*Penulis : mantan reporter Radio PTDI FMedari Sleman. Opini pribadi.   

gambar – orang dengar radio. Sekarang  jarang dijumpai orang suntuk dengar radio. Karena perubahan perilaku. Radio sdh di HP, Mobil. Dengar radio sambil lalu.
- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!