33.3 C
Jakarta

Rahasia Gayatri

Baca Juga:

Sebuah kereta baru saja melintas di dekat jalan yang biasa ia lalui. Udara panas terasa, mengiringi hempasan debu yang terbawa angin oleh gerakan cepat kereta yang melintas.

Gayatri baru saja mendapatkan haid pertama. Gadis berusia sebelas tahun itu tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Bukan karena takut dimarahi, tetapi lebih karena perasaan malu yang tidak bisa ia jelaskan. Untuk menghindari rasa canggung saat mengaji, ia memilih bolos bersama adik tirinya, Saraswati, selama tiga malam berturut-turut.

“Kelak kamu juga akan mengalaminya,” ujar Gayatri saat mereka berjalan menjauh dari rumah menuju rel kereta api.

“Bagaimana rasanya, Mbakyu?” tanya Saraswati, yang masih menggenggam erat mukena dan sajadah.

“Awalnya perut terasa sakit, badan lemas, lalu darah akan keluar. Tapi ini hanya perempuan yang bisa merasakannya.”

“Kenapa hanya perempuan?” Saraswati memiringkan kepalanya, tak mengerti.

Gayatri menghela napas panjang. “Karena perempuan dan laki-laki itu diciptakan berbeda. Tapi nanti saja kamu tanyakan hal itu kalau sudah SMP.”

Saraswati mengangguk. Ia tidak terlalu memikirkan jawaban itu, karena yang lebih menarik baginya adalah perjalanan kecil mereka ke rel kereta api, tempat mereka duduk di bawah langit malam sambil memandangi bintang.

“Rel ini panjang sekali. Kalau kita terus berjalan, katanya bisa sampai ke Mataram,” kata Gayatri sambil mengingat masa kecilnya di rumah nenek di kota itu.

Saraswati, yang baru kelas tiga SD, hanya mendengarkan. Bagi Saraswati, Gayatri adalah kakak yang bijak dan penuh rahasia. Namun, ada hal yang Saraswati tidak tahu—dan mungkin Gayatri pun belum menyadarinya sepenuhnya.

Pada malam keempat, rencana mereka bolos mengaji lagi segera terungkap, ketika guru mengaji mereka datang ke rumah. Gayatri dengan menunduk malu, akhirnya menceritakan alasan sebenarnya kepada orang tuanya. Ibunya, Kanthi, tidak marah, tetapi malah tersenyum lembut.

“Gayatri, mari bantu Ibu di dapur,” kata Kanthi. “Kita buat kue bersama. Nanti kalau kuenya enak, bisa kita jual di warung.”

Malam itu, Gayatri membantu ibunya membuat kue berbahan kacang hijau, tepung beras, dan pandan. Kue itu diberi nama “gayatri,” sesuai dengan namanya. Ada rasa bangga yang timbul di hati Gayatri. Ia merasa mulai menemukan tempatnya di dunia ini, meskipun ada keraguan yang masih tersisa—akankah ia bisa melanjutkan sekolah ke SMP?

Namun, cerita tidak berhenti di sana. Keesokan harinya, Saraswati kembali dari rumah Rosidah, temannya, dengan wajah yang murung. Ada rasa marah yang ditahankannya.

“Mereka bilang sesuatu yang aneh, Mbakyu,” Saraswati berbisik di depan kamar Gayatri.

“Apa itu?” Gayatri menoleh, mencoba membaca ekspresi adiknya.

Saraswati menggigit bibirnya. “Orang tua Rosidah bilang, kamu itu bukan anak kandung Bapak. Mereka bilang kamu anak dari hubungan rahasia almarhumah ibu saat bekerja di luar negeri.”

Gayatri tertegun. Perasaan aneh menghantam dirinya, tetapi ia menahan diri untuk tidak memperlihatkan emosi. Ia mengambil napas panjang dan tersenyum tipis. “Kamu percaya itu?”

Saraswati menggeleng cepat. “Tidak, Mbakyu. Aku tahu kamu adalah kakakku, apa pun yang mereka katakan.”

Gayatri tersenyum. “Bagus. Karena tidak semua yang orang katakan itu benar. Mereka mungkin hanya ingin menciptakan cerita yang menarik untuk mereka bicarakan.”

Namun, malam itu, Gayatri tidak bisa tidur. Ia memandangi buku cerita lama peninggalan ibunya.

Salah satu buku itu bercerita tentang seorang putri yang mengharapkan datangnya pangeran. Ia sendiri lupa apa judul buku itu. Dikisahkan, selama ini, sang putri merasa, semua orang di rumah tempat tinggalnya memang berlaku baik dan sopan. Malah terlalu sopan. Namun entah apa penyebab, dan rahasianya.

Tapi yang jelas, malam ini dada Gayatri berguncang hebat. Ia memandangi wajahnya di cermin. Memang, wajahnya cukup cantik dan sekilas mirip putri dari negara seribu satu malam.

Dengan mata yang lelah, Gayatri berbisik kepada dirinya sendiri, “Kalau pun itu benar, aku tetap anak Ibu. Aku akan melangkah lebih jauh, seterhormat yang Ibu inginkan.”

Pagi harinya, sebelum azan subuh berkumandang, Gayatri memberanikan diri bertanya kepada ibunya.

“Ibu, aku dengar sesuatu di rumah Rosidah… tentang aku.”

Kanthi, yang sedang menyiapkan adonan kue, terdiam sejenak. Lalu ia menoleh, tersenyum tipis, tetapi matanya tampak menyiratkan sesuatu yang dalam.

“Gayatri, apa pun yang kamu dengar, ingatlah satu hal. Kamu adalah anugerah. Ibu memilihmu untuk menjadi bagian dari keluarga ini karena kamu istimewa. Tidak semua orang berhak tahu rahasia yang hanya milik kita.”

Gayatri tidak meminta penjelasan lebih lanjut. Dalam hatinya, ia tahu bahwa jawaban itu cukup. Apa pun asal-usulnya, ia akan tetap menjadi Gayatri, gadis yang berani melangkah dan menentukan jalannya sendiri.

Hari itu, Gayatri membawa sepiring kue buatannya ke warung kecil di depan rumah. Ia tersenyum kepada Saraswati yang membantunya membawa baki. Di kejauhan, terdengar suara kereta melintas.

Ia pun mengajak adiknya untuk menikmati suasana dengan mendekati rel kereta tersebut.

“Mari kita buktikan kepada dunia bahwa siapa pun kita, kita bisa menjadi lebih baik.”

Di rel kereta api tempat mereka biasa duduk, Gayatri melihat ke arah utara, seolah membayangkan jalur panjang yang membentang hingga ke kota besar. Langit terlihat cerah pagi itu, seperti membuka jalan untuk masa depan yang lebih terang.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!