Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1, menjadi penting pada saat bulan Ramadhan. Ini merupakan hitungan jumlah rakaat dalam shalat tarawih, yang dijalankan warga persyarikatan Muhammadiyah.
Ibadah puasa di bulan Ramadhan, merupakan ibadah utama. Ibadah ini, tentu diiringi berbagai ibadah lain untuk semakin mendekatkan diri pada Allah SWT, sang pencipta dan pemberi hidup.
Terkait ibadah puasa, Muslim memiliki kesatuan pendapat mengenai kaifiyah caranya. Yakni menahan berbagai hal yang membatalkan puasa dari terbit hingga tenggelamnya fajar. Hal yang membatalkan tersebut antara lain makan-minum, hubungan suami-istri di siang hari, muntah disengaja, keluar mani disengaja, haid, nifas, serta keluar dari Islam (murtad).
Berbeda dengan ibadah puasa, ibadah tarawih membuka berbagai perbedaan cara (kaifiyah) di kalangan Muslimin. Lantas, bagaimana pelaksanaan ibadah tarawih menurut Muhammadiyah? Situs Muhammadiyah.or.id melansir tentang cara tarawih warga Persyarikatan Muhammadiyah.
Dua Cara
Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Tri Sundani menjelaskan, pada prinsipnya salat tarawih sama halnya dengan salat malam. Karena itu, menurutnya, umat Islam wajib berlapang dada dengan perbedaan cara yang ada.
Imam mazhab seperti Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal misalnya, melakukan salat tarawih dengan 20 rakaat dengan satu witir. Sementara itu Imam Malik melakukan 36 rakaat dengan ditutup salat witir.
Menurut Agus, beberapa ulama atsar dan sahabat Nabi bahkan ada yang tidak membatasi jumlah rakaat salat tarawih.
“Salat tarawih itu kan disebut sebagai salat lail (salat malam), atau kalau bangun tidur disebut sebagai salat tahajud, kalau dilaksanakan di bulan Ramadan disebut dengan tarawih karena ada jeda istirahatnya,” ujar Agus.
Muhammadiyah sendiri menurut Agus memilih mengikuti tata cara yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam yakni salat tarawih dengan dua macam pilihan cara.
Tarawih 4-4-3
Pilihan pertama, Muhammadiyah menggunakan formasi 4-4-3. Pilihan ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi,
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah melakukan shalat sunah pada Ramadan dan bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian, beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat (witir).”
“Rakaat pertama witir baca Surat Al-A’la, rakaat kedua Al-Kafirun, dan rakaat ketiga baca Al-Ikhlas. Atau bisa tiga qul itu (Al Ikhlas, Al Falaq, An-Nas),” jelas Agus.
Tarawih 2-2-2-2-2-1
Sedangkan pilihan kedua, Muhammadiyah menurut Agus memakai formasi 2-2-2-2-2 ditambah satu witir. Cara ini, berdasarkan hadis riwayat Muslim dari sahabat Ibn Abbas yang berbunyi,
“Aku berdiri di samping Rasulullah, kemudian Rasulullah meletakkan tangan kanannya di kepalaku dan dipegangnya telinga kananku dan ditelitinya, lalu Rasulullah salat dua rakaat kemudian dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, dan kemudian dua rakaat, selanjutnya Rasulullah salat witir, kemudian Rasulullah tiduran menyamping sampai Bilal menyerukan azan. Maka bangunlah Rasulullah dan salat dua rakaat singkat-singkat, kemudian pergi melaksanakan saalat subuh.”
“Nah karena Muhammadiyah memperbandingkan hadis-hadis itu, maka pilihan yang dipilih oleh Tarjih Muhammadiyah adalah dua tadi. Jadi warga Muhammadiyah bisa memilih salah satu dari dua tadi karena itu tanawu’ ibadah. Pilihan dalam ibadah,” ungkapnya.
Kapan Dilaksanakan?
Karena Salat Tarawih adalah sama dengan ibadah salat malam, menurut Agus salat tarawih boleh dikerjakan di awal waktu setelah ibadah salat Isya’ atau di tengah malam.
“Waktu salat tarawih itu mulai bada Isya’ sampai munculnya fajar. Ada yang dikerjakan awal waktu yaitu bada Isya, boleh saja itu namanya salat malam dikerjakan di malam hari. Hukumnya boleh saja,” kata Agus.
Tarawih disaat Pandemi?
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sudah mengeluarkan panduan ibadah Ramadhan di masa pandemi 1442 Hijriyah. Salah satunya adalah himbauan shalat tarawih di rumah.
Namun Muhammadiyah juga membolehkan diadakannya shalat tarawih di masjid, bagi daerah yang tidak memiliki kasus penularan Covid-19.
Dalam pelaksanaannya pun, shalat tarawih harus mengindahkan enam syarat. Keenam itu adalah: 1) shaf berjarak, 2) memakai masker, 3) jamaah masjid hanya terbatas bagi warga setempat, 4) anak-anak, lansia, dan orang sakit dengan riwayat komorbid tidak dianjurkan datang ke masjid, 5) membawa peralatan salat sendiri dan melakukan protokol kesehatan sebelum masuk masjid, dan 6) takmir memastikan masjid sesuai protokol kesehatan baik sebelum maupun sesudah ibadah tarawih.