ADA dua hal yang sering kali membuat kita (orang tua) terlena, hingga lupa untuk dzikir ( ingat ) kepada Allah. Apa itu? Yakni harta dan anak. Bersandar kepada QS.(63:9) Al-Munafiqun. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu dapat melupakan ingat kepada Allah swt, jika itu yang terjadi, maka kamu termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.”
Harta yang kita cari siang malam, membanting tulang, kadang tidak mengenal waktu, setelah kita dapat maka akan kita kemanakan harta tersebut? Juga menjadi ujian. Jika kecintaan kita berlebihan terhadap harta, maka sering harta yang sudah ditangan, kemudian kita hitung-hitungnya. Bukan untuk dibelanjakan di jalan-Nya, namun berusaha bagaimana untuk mencari tambahan yang lain. Tanpa pernah merasa bersyukur kepada-Nya.
Koruptor bukan berarti dia miskin. Bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang kaya, dalam ukuran standar? Tetapi mengapa mereka masih korupsi? Karena keliru dalam membuat pembanding, disamping pada saat yang bersamaan tidak bersemayam rasa syukur dan qanaah itu. Sehingga yang adalah kurang. Dalam surat Ibrahim (7) : JIka kamu bersyukur kepada Allah, maka akan Aku tambah nikmati itu, namun jika kamu sekalian ingkar, kufur, maka yakinlah bahwa siksa Allah sangat pedih. Maka kita berdoa agar kita dijauhkan dari rasa kufur ini. Namun sebaliknya agar kita menjadi ahli syukur.
Sebab harta seberapapun yang kita miliki, akan selalu selalu merasa kurang. Perburuan harta akan berakhir, kalau kita sudah berkalang tanah, bertabur bunga, alias meninggal. Bukan berarti kita tidak butuh harta, justru kita diperintahkan untuk memburu harta, namun tentu dengan cara-cara yang elegan. Karena beberapa ibadah yang kita laksanakan harus berbekal harta, misal haji, zakat, member sadakah dsb. Pada saat bekerja itu, kita tetap berusaha untuk mengingat akan kebesaran-Nya. Dialah yang membagi rezeki dengan adil dan tanpa batas, kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Bagaimana dengan anak? Setali tiga uang. Sama. Anak juga menjadi ujian berat bagi orang tuanya. Memang disatu sisi, anak adalah permata, buah hati, penerus sejarah, belahan jiwa. Namun disisi yang lain, jika kita salah mendidiknya hingga salah asuhan, maka tidak sedikit diantara anak-anak kita yang menjadi musuh dan fitnah, cobaan bagi orang tuanya. Dan ini tidak ringan. Maka pemberian pendidikan agama sedari dini menjadi menu utama bagi anak-anak kita. Jika tidak, maka kita sebagai orang tua akan kaget dengan perkembangan mereka.
Adalah Khalil Gibran, filsuf dan sastrawan kesohor ini pernah membuat pernyataan mengejutkan, bahwa anak kita bukanlah anak kita. Anak kita adalah milik zaman-nya. Apa artinya ini? Gibran berpikir dan memberikan warning kepada orang tua, bahwa anak-kita akan tumbuh di jamannya. Mereka akan menghadapi tantangan bukan dijaman orang tuanya. Maka karakter yang harus disiapkan juga harus berbeda. Kemudian pengertian anak kita bukan anak kita, maksudnya anak kita tidak selalu identik dengan orang tuanya. Mereka mempunyai keinginan yang kadang bahkan sering tidak sama dengan orang tuanya sendiri.
Ada sebuah cerita nyata, orang tuanya seorang dokter, mereka ingin anaknya menjadi dokter mengikuti jejaknya. Dipaksanya. Padahal anak tidak minat sedikitpun. Dia lebih tertarik menjadi tentara. Masuk ABRI. Sebuah profesi yang sama sekali tidak diingkan oleh orang tuanya. Membayangkanpun tidak. Demi membahagiakan ortunya, si-anak menurut kuliah di fakultas kedokteran. Berangkat kuliah tidak bersemangat, akhirnya hasil belajarnya tidak maksimal. Beberapa kali bahkan harus mengulang ujian. Hingga lama dia tidak lulus.
Orang tuanya sempat uring-uringan melihat prestasi anaknya. Padahal beaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Singkat cerita, orang tuanya kemudian sadar bahwa dunia anaknya memang bukan di dunia kedokteran seperti dirinya. Ia tidak lagi akan memaksakan kehendak anaknya, diikhlasnya anaknya masuk ABRI. Benar, anaknya dapat enjoy, menikmati ‘kerasnya’ pendidikan di angkatan. Meski harus berhadapan dengan medan yang berat, lumpur, panas terik, kadang kehujanan, justru itulah yang dia kehendaki. Berbeda dengan waktu kuliah di kedokteran dulu. Kini dalam waktu yang relatif singkat dia malah dapat berprestasi.
Itulah anak kita. Mereka bukan fotokopi kita. Namun sebagai orang tua untuk urusan akidah harus kuat mengarahkan. Tidak boleh berpaling dari akidah orang tuanya, hanya dengan alasan HAM, Demokrasi dan sejenisnya. Sedangkan untuk urusan sekolah, hobi, pekerjaan sebaiknya kita berikan kebebasan anak untuk memilih, asal tidak keluar dari rel kebenaran agama. Akhirnya marilah kita hati-hati dengan amanah yang berupa harta dan anak ini. Keduanya dapat menjadi ujian yang menelikung. (Sekian, H Ashari, penulis lepas, bapak 2 anak remaja)