25 C
Jakarta

Rasmu tidak menentukan Islammu!

Baca Juga:

 

Oleh Imam Shamsi Ali

Di sebuah tulisan lamanya Gunawan Mohamad menggambarkan sebuah paradox aneh yang terjadi dalam dunia Arab saat ini.

Di satu sisi kebangkitan Saudi sebagai contoh membawa masalah, bahkan ancaman. Tapi di sisi lain, melihat keterbelakangan masa lalu juga adalah masalah dan juga ancaman.

Kedua hal yang paradoksial itu, menyatu dalam sebuah rasa ketidakamanan (sense of insecurity). Maju berbahaya. Tidak maju juga berbahaya.

Apa yang dimaksud dengan hal itu? Terbelakang menimbulkan masalah sosial dalam segala ragamnya. Salah satunya, Saudi selama ini dikenal sebagai eksporter teroris di berbagai belahan dunia. Mayoritas yang dituduh sebagai pelaku 9/11 adalah warga negara Saudi.

Tapi di sisi lain, kemajuan itu juga menjadi masalah karena dikontrol oleh kekuatan lain. Maka nilai-nilai sosial yang terjadi diwarnai oleh ridho atau murka orang lain. Bukan karena identitas diri sendiri.

Itulah yang disebutkan Gunawan sebagai “surprises” atau kejutan-kejutan di tanah Arab. Kemajuan, tapi keterbelakangan. Kekayaan tapi miskin. Beragama tapi jahil. Paradoks demi paradoks tumbuh silih berganti di tanah leluhur baginda Rasul itu.

Walaupun saya dalam banyak hal beda pendapat dengannya, kali ini saya cenderung setuju dengan Gunawan Mohamad. Bahwa memang apa yang sedang kita saksikan saat ini di dunia yang kerap dianggap pusat Islam itu adalah “kejutan-kejutan” (surprises).

Surprises yang mungkin saja sebagian besar umat ini “take for granted“. Tanpa pernah menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Mereka telan mentah-mentah tanpa melihat kepada implikasi negatif dan destruktif yang ditimbulkan, baik secara politik, ekonomi, sosial budaya bahkan agama itu sendiri.

Saya masih ingat ketika Raja Saudi berkunjung ke tanah air tercinta. Saya mengingatkan bangsa ini agar jangan terlalu “euphoria” dan berlebihan seolah menyambut kehadiran dewa penyelamat dari langit.

Menanggapi tulisan saya itu, seorang ulama di tanah air menegur saya: “Kalau tidak bisa berkata baik, diam saja”. Tentu mengutip sebuah hadits: “barangsiapa yang beriman kepada Allah hendaknya berkata baik atau diam”.

Tentu sang ulama yang saya hormati itu lupa dengan hadits: “barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman”.

Karenanya, banyak kalangan umat ini yang tidak menyadari konsekuensi negatif dari kejutan-kejutan itu. Dan kejutan-kejutan itu bahkan berimbas kepada dunia, khususnya dunia Islam.

Mungkin, sebagian pula dari umat ini segera mencari “justifikasi religi“, bahwa semua itu harus diterima sebagai tanda kemahabesaran Allah melalui doa Ibrahim: “warzuqhum minatstamaraat“.

Bahwa kemajuan Saudi khususnya, dan dunia Arab secara umum itu tidak lepas dari doa nabi Ibrahim AS untuk mereka. Karenanya menyerempetnya atau mengeritiknya seolah mempertanyakan kebesaran Allah dan kebenaran Al-Quran.

Penglihatan batin

Sesungguhnya apa yang dipersaksikan di tanah kelahiran Rasulullah SAW saat ini memang perlu dicermati secara jeli. Dicermati dengan memakai kacamata akal dan batin sekaligus. Dengannya, mudah-mudahan dapat dipahami secara jeli dan dalam apa sesungguhnya yang sedang dan akan terjadi ke depan?

Sejak ditemukannya lahan-lahan minyak di semenanjung Arabia, khususnya Saudi Arabia, gaya hidup orang-orang Arab mengalami perubahan drastis. Dari kehidupan yang sederhana dan apa adanya, menjadi kehidupan mewah, bahkan cenderung konsumeris dan hedonis.

Ketika mereka masih memiliki kehidupan yang sederhana itu, hidup mereka penuh nilai dan harga diri. Tapi ketika telah dicoba dengan kemajuan materi hidup itu, tiba-tiba penuh dengan kepura-puraan dan kepalsuan.

Ini bukan bermaksud memburukkan orang lain. Demi Allah, sungguh banyak saudara-saudara Arab kita yang luar biasa iman dan Islamnya. Jauh lebih hebat dalam beragama ketimbang banyak di antara kita.

Penyebutan ini sekedar dimaksudkan untuk memberikan latar belakang pemahaman paradoks kehidupan yang sedang terjadi. Bahwa kemajuan terkadang juga menghasilkan keterbekangan. Kepintaran tidak jarang melahirkan kejahilan.

Di sebuah musim panas dua tahun lalu, saya berkunjung ke Florida, Amerika Serikat. Di tengah udara yang membakar itu, saya masuk ke dalam sebuah toko untuk membeli minuman dingin.

Di sebuah rak saya melihat sebuah minuman dingin, kelihatan segar. Tanpa pikir panjang saya ambil dan bawa ke konter untuk membayar. Penjaga konter itu seorang wanita muda berambut pirang.

Mengejutkan ketika akan membayar sang wanita itu mengenali saya dan berkata: “are you sure you want this drink?” (Yakin mau minuman ini?), tanyanya.

What is the problem?”, tanya saya. “This is an alcoholic drink” (ini minuman alkohol), jawabnya.

Segera saya tentunya mengatakan “no”. Tapi sambil tertawa wanita itu berkata: “kebanyakan yang membeli minuman ini adalah Arab visitors. And they don’t care”.

Karena terkejut saya tanya wanita itu: “dan Kenapa anda perhatian dengan orang Islam?”.

Ternyata dia adalah wanita keturunan Maroko dan Muslim. Hanya saja dia tidak memakai jilbab dan berambut pirang. Sehingga wajar saja kalau saya kira dia adalah wanita keturunan Eropa.

Kita kenal bahwa Saudi memang menganut paham agama wahabisme. Sebuah paham yang awalnya bertujuan membasmi penyelewengan riligius (syirik dan khurafat) yang marak ketika itu. Sayang di kemudian hari, paham itu menjadi kendaraan bagi pemahaman agama yang blunder di abad modern.

Penafsiran agama wahabi atau pemahaman agama yang diakui sebagai pemahaman murni (puritanisme), saat ini justeru menjadi kendaraan gaya hidup materialisme dan hedonisme. Sebuah paradoks nyata. Dan khawatirnya, ini pula yang sedang terlihat di tanah kelahiran baginda Rasul SAW saat ini.

Setelah mengalami ragam kritikan atas “rigiditas”, baik dalam pandangan agama maupun politiknya, saat ini Saudi ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kini Saudi sudah mengalami reformasi.

Tapi reformasi itu ternyata juga mengalami kebablasan. Mentalitas teokratis Yang bersifat hitam putih tidak siap menerima lingkungan “kebebasan”. Akibatnya terjadi penangkapan masif mereka yang dianggap berseberangan dengan penguasa.

Peristiwa mutakhir adalah kematian atau tepatnya pembunuhan secara sadis seorang Wartawan senior, Jamal Kashogy. Diyakini oleh banyak kalangan, pembunuhan itu tidak dapat dilepaskan dari kekritisannya kepada pemerintahan Saudi.

Kebebasan yang diberikan di satu pihak kepada kaum wanita untuk mengendarai mobil, ternyata dapat dicurigai sebagai “taqiyah” semata untuk menutupi ragam pelanggaran HAM. Ribuan ulama dan aktifis saat ini, sedang dipenjarakan di Saudi Arabia.

Mungkin yang paling menyayat “hati iman” adalah kenyataan, Saudi Arabia memilih bergandengan tangan dengan Donald Trump. Menutup mata dari kenyataan bahwa secara domestik, Donald Trump memperlakukan kebijakan anti Islam dan Muslim.

Tentu yang terpenting adalah, diamnya Saudi sebagai negara yang harusnya masih punya kharisma di Timur Tengah, terhadap kebijakan Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.

Bahkan, Saudi ada di baris terdepan menyerang dua wanita muda Muslimah yang baru terpilih menjadi anggota Kongres Amerika, Ilhan dan Rashida. Keduanya, oleh Saudi dituduh sabagai anggota “Ikhwanul Muslimun”. Entah siapa sponsor di balik tuduhan itu. Namun yang pasti sangat menggerahkan umat Islam Amerika.

Juga baru beberapa hari lalu, Pangeran MBS justeru membela China dalam kebijakannya yang represif terhadap warga Muslim Uighur. Bahkan, Arab ikut memberikan pembenaran bahwa itu adalah hak China untuk memberantas radikalisme di negara mereka.

Rasmu bukan jaminan imanmu

Paradox lainnya adalah adanya “mental state” (situasi mental) yang tidak jujur dalam menyikapi dunia lain, termasuk dunia Islam lainnya. Diakui atau tidak, kerap teman-teman Timur Tengah merasa lebih Islami karena dasar ras dan etnis.

Saya masih teringat beberapa tahun lalu di saat melaksanakan ibadah haji bersama rombongan haji New York USA. Di suatu sore saya duduk di mesjid Nabawi selepas Asar sambil membaca dzikir dan tasbih. Tiba-tiba saya didatangi oleh seorang Arab, dan terjadilah dialog berikut:

Arab: excuse me. From USA?
Saya: Yes I am
Arab: Bad, you’re bad. USA is bad!
Saya: Why? What do you mean?
Arab: America is a kafir country. And you leave in kafir country!

Terus terang saya agak tersinggung dengan tuduhan itu. Soalnya saya tahu, kalau banyak orang Amerika yang Muslim dan Islamnya belum tentu lebih kurang dari orang Arab. Bahkan, saya tahu betapa banyak orang Amerika, asli orang Amerika bahkan muallaf, jauh lebih hebat komitmen agamanya dari orang-orang Arab yang juga banyak saya kenal.

Maka generalisasi seperti itu, bahwa Amerika dan semua orang Amerika jahat, tentu sangat tidak adil. Sehingga hati serasa memberontak. Karakter keras saya tiba-tiba menaik. Saya menatap orang yang berjubah dan berjanggut lebat itu dan bertanya:

Saya: How about you? Where are you from?
Arab: I am from here.
Saya: a Saudi?
Arab: yes from the City of Rasul (Madinah)

Tanpa terpikir, spontan saya katakan sama dia: “sorry but I am not sure if you have Muhammad blood. Possibly in you Abu Lahab blood is running”.

Dengan itu, saya menyampaikan bahwa tidak ada jaminan jika imannya lebih dari bangsa lain hanya karena ras Arabnya. Darah Arabmu tidak menambah atau mengurangi iman dan Islammu.

Saya ingin tegaskan, bahwa rasmu tidak menentukan imanmu. Yang menentukan kehebatan dan kemuliaanmu di mata Tuhan hanya “iman dan amal”. Keduanya itulah yang terangkum dalam kata “taqwa”.

Orang yang bisa bahasa Inggris dengan cukup baik itu hanya menatap saya agak geram, lalu keluar meninggalkan saya di masjid.

Saya kemudian ikut keluar tidak jauh di belakang dia. Sambil menelusuri keramaian, dia menyeberang jalan dan ikut di sebuah antrian panjang.

Saya lihat dari jauh kira-kita itu antrian apa? Ternyata, itu adalah antrian orang-orang yang ingin menikmati kopi “starbuck” di sore hari. Sebuah perusahaan milik Yahudi yang setiap tahunnya memberikan keuntunganya secara masif kepada negara Israel.

Dalam hati saya berbisik: “sungguh realita paradox. Benci tapi rindu”!

Penulis: Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. New York, 24 Pebruari 2019,

Saudaraku yang Allah muliakan. Jadilah bagian dari usaha dakwah kita di Amerika melalui pembangunan pondok pesantren pertama di bumi Amerika. Untuk donasi, dapat dilakukan melalui website: www.nusantaraboardingschool.com (klik support).

Atau transfer rekening:
Rek rupiah : 1240000018185
An. inka nusantara madani
Bank Mandiri. Jazakumullah khaer!

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!