JAKARTA, MENARA62.COM – Merayakan ulang tahun ke-13, Aliansi Kebangsaan gelar orasi ilmiah sekaligus meluncurkan Program Hibah Dana Riset Kebangsaan. Kegiatan yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada Senin (30/10/2023) tersebut dihadiri oleh Ketua Aliansi Kebangsaan Ponjo Sutowo, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Prof Komaruddin Hidayat, ilmuwan Tri Mumpuni, Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Dr.Alfitra Salam,Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Mohammad Nasih dan sejumlah tokoh penting lainnya.
Orasi ilmiah berjudul “Kembali Kepada Fitrah Cita Negara” disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito Atmoredjo, SH, MSi.
Dalam sambutannya, Pontjo Sutowo menyampaikan Aliansi Kebangsaan lahir pada 28 Oktober bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda. Aliansi Kebangsaan lahir dan hadir dari sebuah kegelisahaan tentang masa depan bangsa yang melenceng dari cita – cita Para Pendiri, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Karena itu, saya mengajak kita semua untuk merenungkan secara mendalam, momen Sumpah Pemuda yang selalu kita peringati pada setiap 28 Oktober,” kata Pontjo.
Menurut Pontjo, ada dua tema sentral yang ingin diperjuangkan melalui Sumpah Pemuda, yaitu Merebut ‘kemerdekaan’ dari tangan penjajah dan serta perlunya memiliki identitas kolektif sebagai satu “bangsa”.
Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan “komitmen perjuangan bersama” untuk bersatu melawan kolonialisme dan imprialisme yang menjajah Indonesia. Sungguh ironis, Indonesia dengan kekayaan alam yang berlimpah bukannya menghadirkan kemakmuran, justru menimbulkan petaka dijajah ratusan tahun lamanya. “Inilah barangkali apa yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam sebagaimana dikemukakan oleh Richard Auty,” lanjutnya.
Padahal kemampuan bangsa mengelola kekayaan alamnya sangat menentukan posisi suatu bangsa pada kancah global.
Selain sebagai komitmen perjuangan bersama, peristiwa Sumpah Pemuda juga merupakan tonggak sejarah penting dalam proses “kebangsaan (nationhood) menjadi Indonesia” yang menandai adanya transformasi kultural dari nasionalisme etnik (ethnic nationalism) menjadi nasionalisme madani (civic nationalism) yaitu suatu gagasan kebangsaan yang mengedepankan kesatuan identitas kolektif sebagai warga yang menempati suatu wilayah negara yang mengatasi perbedaan suku, agama, ras, dan kelas sosial di antara para warganya.
Pontjo melihat bahwa Sumpah Pemuda ada “kesadaran dan pengakuan” atas perbedaan-perbedaan kemudian “berkehendak” yang kuat untuk melebur dalam satu bangunan ke-Indonesiaan. Hal ini merupakan “janji kebangsaan” yang menurut Ben Anderson merupakan modal sosial yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan.
Janji kebangsaan untuk memelihara Ke-Indonesia-an kita, harus terfasilitasi oleh negara dengan baik, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi “common domain” yang efektif mengawal keutuhan bangsa yang majemuk. Bersyukur bangsa ini memiliki Pancasila sebagai “shared values” yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya common domain ke- Indonesiaan tanpa menegasikan/meniadakan identitas etnisitas dan identitas lainnya.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural yaitu Pancasila sebagai “konsensus moral” pemersatu bangsa, dan sepakat memfungsikannya sebagai “Titik Temu, Titik Tumpu, dan Titik Tuju”, namun sayangnya, Pancasila belum sepenuhnya menjadi rujukan utama dan menjelma ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, bahkan, kita seakan menjauh darinya.
“Masih terdapat jurang yang kian lebar antara idealitas dengan realitas aktualisasinya. Pancasila belum sungguh-sungguh didalami dan dikembangkan menjadi “ideologi kerja (working ideology)” dalam praksis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan. Dengan kata lain, ideologi Pancasila itu belum dijadikan sebagai kerangka paradigmatic dalam pembangunan nasional,” ujar Pontjo.
Bahkan The Fund for Peace tanggal 14 Juni 2023, dalam publikasinya berjudul Fragile State Index 2023 menyebut saat ini Indonesia masih dikelompokkan dalam kategori “warning” sebagai negara gagal. Penyebabnya antara lain kurang berhasilnya mengelola keberagaman, seperti terjadinya kekerasan antar etnik, kekerasan atas nama agama, diskriminasi, dan sebagainya. Bahkan, ragam corak identitas yang seharusnya luruh dan mencapai “titik temu” dalam bangunan kebangsaan Indonesia, belakangan ini justru semakin menguat karena sering dipolitisasi untuk kepentingan politik kekuasaan.
“Publikasi “Fragile State Index 2023” ini sudah seharusnya menjadi “alarm” buat kita semua untuk menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif bangsa bahwa Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja,” lanjut Pontjo.
Kontemplasi Kebulatan Pikiran
Oleh karena itulah, Aliansi Kebangsaan dalam momen peringatan Ulang Tahun-nya yang ke-13 ini mengajak segenap komponen bangsa untuk melakukan kontemplasi dengan kebulatan pikiran serta perhatian penuh terhadap keberlangsungan negara-bangsa Indonesia.
Pontjo juga menyoroti 25 tahun reformasi dan diberlakukannya UUD 1945 hasil empat kali amandemen. Menurutnya, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun kemajuan yang dicapai itu berdiri di atas landasan yang goyah. UUD 1945 yang mengalami perubahan empat kali dalam kurun waktu 1999-2002, telah membawa perubahan mendasar dengan berbagai implikasinya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
“Harus disadari, selain membawa implikasi positif, amandemen UUD 1945 juga telah menimbulkan berbagai implikasi negatif, atau setidaknya menimbulkan beberapa masalah serius dalam kehidupan politik ketatanegaraan, hukum, ekonomi, sosial, bahkan pertahanan keamanan,” tegas Pontjo.
Pada ranah tata nilai, etik mengalami kemunduran. Dengan meluluhnya dimensi etik, Indonesia sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya. Pada ranah tata kelola politik kenegaraan, kebebasan yang dimungkinkan oleh demokrasi harus dibayar mahal dengan robohnya rumah tradisi kekeluargaan. Desain demokrasi dan kelembagaan negara menyimpang dari prinsip negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan seperti dikehendaki oleh cita negara Pancasila.
Lalu pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tidak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial semakin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi kesejahteraan menyangkut harta, kesempatan dan privilese sosial.
Dengan memperhatikan berbagai distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam rentang waktu 25 tahun reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tidak berada di jalur yang tepat. Distorsi dan degenerasi demokrasi bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, akan tetapi kegagalan sistemik.
Oleh karena itulah, Aliansi Kebangsaan menawarkan untuk “kembali kepada fitrah cita negara Pancasila” sebagaimana tema peringatan HUT Aliansi Kebangsaan tahun ini. Kembali kepada fitrah cita negara salah satu pintu masuknya adalah dengan kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli. “Tentu banyak hal lain yang harus kita lakukan untuk Kembali kepada fitrah cita negara Pancasila. Kembali ke UUD 45 yang asli terlebih dahulu sangat esensial, agar bangsa Indonesia dapat melakukan reorientasi ke “titik awal” sehingga tidak kehilangan jejak dalam perjalanan hidupnya dalam mewujudkan cita-cita proklamasi,” tandas Pontjo.
Sementara itu, Prof Dr Sudjito Atmoredjo dalam orasi ilmiahnya mengatakan bahwa hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan perjalanan panjang. Dimulai dari satu titik tertentu, berperoses secara dinamik, menuju pada cita-cita yang telah dirumuskan oleh bangsa dan/atau Negara yang bersangkutan. Titik tertentu, sebagai awal keberadaan bangsa dan/atau Negara itu dalam perspektif religius disebut sebagai fitrah.
Ia mengingatkan bahwa fitrah kebangsaan (nasionalisme) Indonesia perlu dirawat. “Jangan sekali-kali nasionalisme tergusur, tergeser, apalagi tergantikan dengan internasionalisme, ataupun faham-faham lain sejenis, ataupun faham-faham derivasinya,” pesannya.
Beberapa ajaran Bung Karno tentang nasonalisme perlu dipahami seksama, antara lain pertama, bahwa internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.
Kedua, bahwa sebagai seorang nasionalis, Bung Karno tidak pernah memisahkan dirinya dari dimensi ketuhanan, yang diyakini oleh diri dan bangsanya dalam menjalani kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Ketiga, nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang menyendiri, bukan “chauvinisme”, bukan sesuatu yang terisolasi dan saling menegasi dengan tatanan global (internasionalisme).
Lalu keempat, bahwa nasionalisme dan internasionalisme saling berelasi, bermediasi, dan bersinergi dalam membangun peradaban dan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Dan kelima, bahwa manusia sebagai wakil Tuhan, (khalifatullah fil ardhi), memiliki tanggungjawab bersama dalam membangun dan merawat keseimbangan dan keharmonisan kehidupan bersama.
“Fitrah bangsa dan negara sebagai konsep abstrak, perlu diaktualisasikan, agar tertransformasikan menjadi perilaku konkrit, berupa aktivitas-aktivitas bernilai ibadah,” katanya.
Menurut Prof Sudjito, bangsa Indonesia sudah sepakat bahwa dasar filsafat Negara adalah Pancasila. Oleh para pakar sering dinyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia.
Adapun bentuk dan susunannya sebagai berikut. Pertama, Pancasila sebagai sistem nilai mempunyai ciri-ciri, yaitu merupakan kesatuan yang utuh dari setiap unsur pembentuknya, dan unsur-unsur itu mutlak adanya, tidak dapat ditambah atau dikurangi.
Kedua, susunan sila-sila Pancasila merupakan kesatuan organis, satu sama lain membentuk sistem yang disebut “majemuk tunggal”. Majemuk Tunggal artinya Pancasila terdiri dari 5 (lima) sila, tetapi merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh.
Terkait Program Hibah Dana Riset Kebangsaan, akan diberikan kepada mahasiswa S2 atau S3 yang melakukan riset dan pengabdian Masyarakat terkait dengan 4 pilar kebangsaan Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Besaran dana hibah yang diberikan tergantung pada kebutuhan riset dan jenis pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa yang bersangkutan.