33.3 C
Jakarta

Refleksi Akhir Tahun 2021, Demokrasi Indonesia Sedang Sekarat!

Baca Juga:

YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Refleksi Akhir Tahun terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, Program Studi Ilmu Pemerintahan (Prodi IP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) gelar Webinar yang bertajuk “Menahan Laju Regresi Demokrasi dan Kegagalan Politik Desentralisasi di Indonesia.”

Dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi Menara62.com, Webinar menghadirkan beberapa narasumber kondang seperti Dr. Busyro Muqoddas (PP Muhammadiyah), Thomas Power (Australian National University), Prof. Azyumardi Azra (Pakar Politik Islam), M. Nur Arifin (Bupati Trenggalek), Bachtiar Dwi Kurniawan S.Fil.I., MPA dan dengan Ketua Tim Riset David Efendi S.IP., MA.

Diskusi diawali dengan pembicara utama yakni Dr. Busyro Muqoddas yang aktif dalam memberikan tanggapan-tanggapannya mengenai perkembangan demokrasi dan penanganan korupsi di Indonesia. Ia menjabarkan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami kemunduran demokrasi bahkan pada posisi ekstrimnya adalah demokrasi yang sekarat berdasarkan beberapa fenomena yang terjadi saat ini. Bahkan, isu mengenai korupsi digeser oleh isu radikalisasi dan intoleransi agar semakin menenggelamkan isu korupsi di kalangan para pejabat tingkat eksekutif dan legislatif.

“Ada indikasi kuat pengalihan isu-isu terhadap korupsi yang sistemik dan terstruktur dialihkan ke isu-isu intoleransi dan radikalisasi,” tegasnya.

Dr. Busyro memberikan setidaknya 6 indikasi yang menyebabkan demokrasi sekarat, di antaranya pertama, pemecatan 57 pegawai inti KPK dengan immoral dan anti hukum. Lalu korupsi ditengah pandemi, kekerasan, peretasan dan pelemahan terhadap masyarakat sipil oleh aparat. Kemudian dampak tewasnya 2 mahasiswa Kendari yang tewas dalam mengawal Revisi UU KPK, penegakan hukum dan penindakan teroris yang intransparan serta komodifikasi isu intoleransi dan radikalisme moderasi agama dan ketidakadilan tata kelola sumber daya alam.

Bahkan, Ia menambahkan bahwa dinasti politik dan dinasti nepotisme di Indonesia mengarah terhadap otoritarianisme.

Prof. Azyumardi Azra kemudian menyambung diskusi dengan lebih membahas mengenai refleksi demokrasi di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ia menyebutkan bahwa banyak penyimpangan dari berbagai segi didukung oleh oligarki yang sangat kuat.

“Pemerintahan demokrasi harus senantiasa mengembangkan iklim dan suasana kewargaan demokratis yang membuat masyarakat sipil dinamis. Hanya dengan kewargaan demokratis, civic culture, keadaban (civility dan masyarakat sipil aktif dan bergairah, demokrasi bisa menguat dan berkelanjutan),” ujarnya.

Disisi lain, Prof. Azra juga menawarkan solusi dengan memerlukan konsolidasi masyarakat sipil dengan menggandeng organisasi masyarakat sipil untuk mengawal Demokrasi di Indonesia. “Kita memerlukan konsolidasi masyarakat sipil yang bisa menggandeng ormas yang lain seperti muhammadiyah,” lanjutnya.

Selanjutnya Thomas Power juga menggambarkan bahwa dahulu Indonesia menjadi salah satu contoh negara demokrasi terutama di masa reformasi. Namun, saat ini berbalik menjadi contoh regresi demokrasi di dunia.

Indonesia sudah memasuki zaman resesi, dulu Indonesia dianggap menjadi salah satu gambaran demokrasi yang bagus,” ucap Thomas.

Beranjak kepada pembicara terakhir yakni Bachtiar Dwi Kurniawan S.Fil.I., MAP. Atau yang akrab dipanggil Gus Bach membahas mengenai Demokrasi dan Politik yang terjadi di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia hampir kehilangan optimisme di masa pemerintahan SBY Jilid ke-2 dimana kekuatan politik terlalu kuat.

Ia menyampaikan bahwa kebebasan berserikat juga mengalami kemunduran dengan banyaknya buzzer pendukung pemerintah yang memporak-porandakan demokrasi.
“Saat ini kebebasan berserikat mengalami kemunduran. Banyak tekanan terhadap kebebasan publik. Banyak buzzer politik yang bergerak menerror dan mematikan semangat berekspresi dan berdemokrasi yang kita rasakan diawal reformasi,” ujarnya.

Gus Bach juga menyinggung mengenai kanibalisme politik yang terjadi di tubuh partai politik itu sendiri yang erat kaitannya dengan proyeksi Pemilu atau Pilkada di Indonesia.
“Demokrasi seperti ini demokrasi politik pasar bebas (neoliberalisme), Pemilu 2014 dan 2019 terjadi liberalisme politik dan terjadi kanibalisme politik bahkan didalam tubuh partai politik itu sendiri tidak hanya dengan partai yang lain. Kanibalisme politik berlangsung berasal dari proses pemilu dimana masyarakat juga mengharapkan hadiah yang diberikan oleh calon yang diusung,” tutupnya.

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!