25 C
Jakarta

Rekonsiliasi Perang Bubat

Baca Juga:

BANDUNG, MENARA62.COM — Beban sejarah, memang sebaiknya perlu rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi pun, perlu dilakukan dengan kesadaran bersama demi kepentingan nasional. Paling tidak, inilah yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat ketika meresmikan Jalan Majapahit, Jalan Prabu Hayam Wuruk dan Jalan Citaresmi. Langkah ini, sebagai bagian dari rekonsiliasi budaya Sunda-Jawa setelah sebelumnya Jalan Sunda resmi ada di Jawa Timur.

Tiga nama jalan itu, diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wagub DI Yogyakarta Paku Alam X di sela-sela kegiatan Harmoni Budaya Jawa-Sunda di halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, seperti dilansir Antara, Jumat (11/5/2018).

Tiga jalan di Kota Bandung yang namanya diubah adalah Jalan Pusdai menjadi Jalan Citraresmi, Jalan Gasibu menjadi Jalan Majapahit, dan Jalan Cimandiri menjadi Jalan Hayam Wuruk.

“Kita juga mengubah Jalan Pusdai jadi Jalan Citraresmi atau yang lebih kita kenal Dyah Pitaloka. Dulu Citraresmi mau dipersunting Hayam Wuruk,” kata Ahmad Heryawan.

Aher, panggilan akrab Ahmad Heryawan mengatakan, pengubahan nama jalan tersebut telah melewati serangkaian kajian yang melibatkan budayawan dan akademisi, selain masukan dari masyarakat.

“Kajian cukup lama. Kan ini semenjak Yogyakarta sudah terus ada kajian sangat mendalam. Kalau di Jatim diskusi. Gagasan sudah di Yogyakarta, diskusi ilmiah para pakar di Surabaya dan Jabar tinggal eksekusi di Jabar,” kata dia.

Wakil Gubernur DI Yogyakarta Sri Paduka Paku Alam X mewakili Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyambut baik pengubahan nama jalan ini yang disebutnya sebagai titik balik rekonsiliasi budaya Sunda-Jawa.

“Terdapat nilai penting, yakni meningkatkan promosi wisata tiga provinsi. Serta menumbuhkan nilai adat, seni dan budaya,” kata dia.

Di tempat yang sama, Gubernur Jatim Soekarwo menilai Harmoni Budaya Jawa-Sunda akan menyelesaikan masalah Perang Bubat yang terjadi 661 tahun lalu.

Kata dia, kala itu Belanda sebagai penjajah menggunakan sejarah sebagai sarana politik “adu domba” untuk memecah belah Sunda dan Jawa.

Menurutnya, penyelesaian masalah melalui pendekatan budaya akan lebih efektif karena mampu menghilangkan semua batasan. Ini juga akan menjadi contoh baru menyelesaikan masalah pertikaian.

“Penyelesaian budaya menjadi yang paling baik karena bisa menghaluskan yang kasar dan menjernihkan yang kotor,” kata dia.

Beban psikologis

Sebelumnya, Aher juga mengatakan, penamaan atau penggunaan Majapahit dan Hayam Wuruk sebagai nama jalan di Kota Bandung merupakan langkah lanjutan rekonsiliasi antara budaya Jawa dan budaya Sunda.

Menurut dia selama ini, terdapat beban psikologis yang menjadikan Majapahit dan Hayam Wuruk tidak bisa menjadi nama jalan di Jawa Barat karena luka lama yang dialami warga Kerajaan Pajajaran atas kejadian Perang Bubat dengan Kerajaan Majapahit.

Dan sebaliknya, Pajajaran dan Siliwangi tidak dapat menjadi nama jalan di Tanah Jawa karena hal yang sama.

“Alhamdulillah sekarang sudah ada Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogyakarta dan Surabaya. Kita akan buat juga Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Bandung,” kata Aher.

Orang nomor satu di Provinsi Jawa Barat ini menilai sudah bukan saatnya lagi mempertahkan isu-isu emosional dari masa lalu, termasuk mengungkit-ungkit peristiwa Pasunda Bubat, atau Perang Bubat pada abad ke-14.

Ia menuturkan, peristiwa tersebut baru ditulis dua abad setelahnya, yakni pada abad ke-16 dalam sebuah karya sastra berjudul Kidung Sundayana.

“Peristiwa Pasundan Bubat adalah sejarah, fakta empiris yang tidak terhapus dari catatan Bangsa Indonesia. Peristiwa Pasunda Bubat tidak boleh dilupakan, tapi maafkanlah,” kata dia.

“Jadi mari kita hilangkan dendam sejarah, berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang dimasa depan,” kata Aher seperti dikutip Antara.

Budaya Damai

Perang Bubat pada abad ke-14 berdampak besar bagi kehidupan etnis Sunda dan Jawa. Perang yang terjadi pada 1279 Saka atau 1357 Masehi ini berlangsung saat pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Perang ini berawal dari perselisihan antara Patih Gajahmada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda, di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda

Konon katanya, akibat peristiwa inilah maka kemudian orang Sunda dan Jawa tidak bisa disatukan, terutama dalam hal lembaga perkawinan.

Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menyebutkan ada semacam “emosi kolektif” antara warga Indonesia etnis Sunda dan Jawa akibat Perang Bubat itu. Tidak ada nama Jalan Majapahit atau Jalan Gajah Mada di banyak kota di Jawa Barat, atau Jalan Pajajaran, di banyak kota dan kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Itu sekedar gambaran.

Orang nomor satu di Jawa Barat itu mencoba mengakhiri “perselisihan” yang terjadi selama 661 tahun antara Orang Sunda dan Orang Jawa melalui sebuah rekonsiliasi budaya, yakni melalui nama jalan.

Bertempat di Hotel Bumi Surabaya, pada Selasa 6 Maret 2018 lalu, tiga kepala daerah dari etnis Sunda dan Jawa Barat berkumpul. Mereka adalah Heryawan, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

Penyatuan dua etnis ini melalui suatu rekonsiliasi budaya bukan hanya sekadar acara seremonial semata. Heryawan mengatakan, budaya damai, atau rekonsiliasi, dapat dibangun melalui kejujuran, hidup berbagi, saling menghormati, dan merawat perbedaan.

Ia menilai, sudah bukan saatnya lagi mempertahkan isu-isu emosional dari masa lalu, termasuk mengungkit-ungkit peristiwa Pasunda Bubat.

Walaupun demikian, peristiwa tersebut baru ditulis dua abad setelahnya, yakni pada abad ke-16 dalam karya sastra berjudul Kidung Sunda (Kidung Sundayana).

Pasunda Bubat adalah sejarah, kata dia, fakta empiris yang tidak terhapus dari catatan Bangsa Indonesia sehingga peristiwa Pasunda Bubat tidak boleh dilupakan namun maafkanlah pihak yang dianggap bersalah.

“Hilangkan dendam sejarah, berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan,” kata Gubernur Aher pada kegiatan Harmoni Budaya Sunda-Jawa, di Hotel Bumi Surabaya, beberapa waktu sebelumnya.

“Marilah kita jalin harmoni budaya Sunda Jawa menjadi sebagai pemersatu dan penguat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” lanjutnya.

Salah satu bentuk, atau simbolisasi rekonsiliasi, sekaligus keakraban budaya tersebut adalah dengan menghadirkan Jalan Sunda, dan Jalan Padjadjaran di Kota Surabaya. Suatu jalan, setiap hari akan dilalui masyarakat untuk beraktivitas. Dengan rekonsiliasi budaya lewat cara ini, diharapkan dapat menghadirkan kesatupaduan etnis Sunda-Jawa yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, dalam bingkai kesatuan persatuan, dan kebhinekaan di lingkup Indonesia.

“Ini adalah rekonsiliasi budaya, rekonsiliasi sejarah, rekonsiliasi antar etnis besar Jawa dan Sunda, dan tentu rekonsiliasi ini pengaruhnya sangat besar untuk persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar dia.

Adapun Jalan Siliwangi di Surabaya, diakomodasi dari Jalan Gunungsari (sebagian), mulai dari pertigaan Jalan Gajah Mada sampai dengan pintu masuk tol Gunungsari.

Sedangkan Jalan Pasundan diakomodasi dari sebagian Jalan Dinoyo yang dimulai dari perempatan Jalan Keputran (Jalan Keputran, Jalan Sulawesi, Jalan Dinoyo, Jalan Pandegiling) sampai pertigaan Jalan Majapahit (Jalan di depan Universitas Widya Mandala Surabaya).

Jika di Jawa Tengah ada Jalan Sunda dan Jalan Diponegoro, maka dengan ada rekonsiliasi budaya ini, maka di Jawa Barat akan hadir pula Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk, di Kota Bandung.

Jauh sebelum ada rekonsiliasi antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, di DI Yogyakarta sudah terlebih dahulu memiliki nama jalan bernuansa Jawa Barat, yaitu Jalan Padjadjaran dan Jalan Siliwangi.

Lewat harmoni budaya itu, Heryawan berharap akan hadir keakraban diantara masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, yang semakin erat. “Uniknya, di tahun politik ini yang ramai dengan isu perpecahan, kita malah bersatu,” ujar dia.

Sementara itu, Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan, merupakan langkah berani yang juga layak ditempuh oleh semua elemen bangsa. Karena keberagaman keragaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.

“Semoga inisiatif yang kita lakukan kemarin di Yogyakarta, sekarang di Jawa Timur, di Surabaya, dan kemudian akan dilakukan di Jawa Barat, membawa prospek masa depan sosial yang baik dalam pembangunan jiwa bangsa,” kata dia.

Dia mengatakan, penting bagi pemuda, mengetahui peristiwa sejarah Pasunda Bubat sebagai peristiwa budaya. Selain menjaga keakraban budaya yang berkesinambungan, sebagai inspirasi untuk daerah lain.

“Kami masyarakat Jawa Timur berterima kasih atas kebesaran jiwa Kang Aher, juga Sri Sultan Hamengku Buwono dalam memfasilitasi pertemuan ini. Semoga jadi bagian penting, jadi hadiah penting bagi Kang Aher sebelum masa jabatannya habis,” ujar dia.

Kang Aher, kata dia, telah menempuh jalan yang luar biasa setelah 661 tahun sejarah Perang Bubat, kini sejarah tersebut diselesaikan dengan hati yang tulus. Juga Sultan Hamengku Buwono sebagai `pengadem`, atau penentram keadaan, yang juga sosok pemimpin yang juga pelindung budaya Jawa.

“Semoga semua selesai, dengan menghadirkan Jalan, ini bagian simbolik, terpenting hati kita kini bebas menerima, lelaki Jawa cinta perempuan Sunda atau sebaliknya, silahkan persunting,” ujarnya.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan, pentingnya mengetahui sejarah, sekaligus menghilangkan sekat- sekat kesalah fahaman yang telah terjadi di masa lalu.

“Karena setiap etnis yang ada, menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri,” kata Hamengku Buwono X.

Rekonsiliasi antar budaya, antar etnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antar manusia, yang sebelumnya mengalami “kecelakaan sejarah”. Maka harmoni budaya yang dilakukan Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur, menjadi wahana solusi jangka panjang untuk manangkis permasalahan tersebut.

Dia mengimbau, bangsa Indonesia supaya menafsir sejarah secara kritis. Kidung Sundayana dibuat di abad ke- 16, sementara perang bubat terjadi ke-14.

Adapun seorang penulis Belanda pada abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda pada tahun 1927 yang mengurai Peristiwa Bubat, yang bisa saja hal tersebut memiliki sangkut paut politik di dalamnya.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!