#Antara Ziyadah dan Muroja’ah
Ziyadah proses menambah hafalan baru. Sedangkan muroja’ah adalah proses mengulang-ulang hafalan lama. Jelang dhuhur, saat rebahan di kamar tengah, ternyata istri mencoba memanfaatkan waktu phone ke Rohman. Seminggu sekali kali dapat jatah 2 kali. Antri. Pertama by phone, kedua bisa dengan VC (video call). Kabarnya untuk yang kedua ini daftar tunggunya lebih padat. Menyemut bahkan mengular. Sehingga kadang tidak dapat waktu. Lewat. Tapi bisa sambung suara, sudah bisa menyambung rindu hati.
Setelah tanya basa-basi. Akhirnya pembicaraan ke materi hafalan. HP masih dikendali istri.
“Bagaimana hafalannya,”
“Masih 6 bu?”
“Belum. Nambah dikit. Karena ustadz minta muraja’ah. Aku males,”
“Kok, males?” suara dan intonasi agak meninggi. Aku mendekat. Pingin tahu.
“Ya. gak tahu. Males saja. Aku semangatnya kalau pas Ziyadah, bisa nambah. Tapi ustadz pinginya murajaah. Mengulang-ulang hafalan,”
“Nanti, nambahnya pelan. Padahal waktu terus berjalan, jadi kalau pas murajaah, Rohman gak ikut, karena males?” masih tinggi.
“Ya ikut, cuma males,”
“Ketika males, coba alihkan dengan kegiatan yang membuat kamu semangat. Setelah itu kembali ke program pondok. Ya, kalau memang harus murajaah, kan tidak bisa menolak. Pasti dari pondok tujuaannya agar hafalannya tidak cepat hilang, maka harus sering di murajaah,”
“Iya, tapi aku males,”
Aku mencoba menurunkan tensi istri.
“Sabarlah dik. Namanya anak, emosinya masih naik turun. Males itu biasa. Insya Allah tidak lama. Nanti kalau lihat temannya giat, aktif, pasti akan terbawa serta,”
“Gak bisa sabar ini, mas. Gak ada yang bisa dilakukan kalau dia males. Harus dicari tahu penyebabnya,”
“Iya. Aku tahu. Tapi kita kan tidak lihat langsung kondisi dan situasinya di sana. Percayakan Rohman. Kita coba cari tahu teman-temannya apakah mereka mengalami hal yang sama atau tidak,”
Rupanya Rohman mendengar percakapan kami ini. Meski sesekali sinyal putus, karena mungkin jaringan.
“Ibu marah ya, aku nambah hafalannya sedikit, murajaah terus?”
“Gak marah, le,” istri mulai mereda.
“Itu tadi aku dengar…”
“Ibu hanya bingung, bagaimana bisa membantu kamu, agar kamu tidak males di pondok. Agar Rohman tidak rugi,” aku mulai setuju dengan jawaban istri ini. Karena tidak setiap hari bersamanya, maka hanya lewat phone upaya yang bisa dilakukan untuk memberikan support. Kalau di tepi lapangan, pas main bola. waktunya kurang pas.
“Waktunya hanya kalau pas phone begini le, ibu memberikan semangat agar kamu tidak malas. Kalau suara ibu tinggi, karena kalau pelan, kamu gak dengar. Ibu gak marah,”
Istri rupanya juga tidak ingin Rohman akan terbawa emosi dengan melihat kondisi batin kami. Istri mencoba menahan emosi, untuk tidak diperlihatkan secara verbal. Aku yang disamping-nya dan melihat langsung mimik mukanya, memang ada sekian persen emosi itu. Tapi aku senang, istri mencoba membenamkan ego itu. Aku sebenarnya mau ikut terpancing, ketika mendengar Rohman males muroja’ah.
“Apa yang membuat Rohman termotivasi?”
“Gak tahu”
“Kok gak tahu,”
“Iya gak tahu, kok,”
“Hm, Rohman..beliin HP ya?”
“Iii-ya,” samar suaranya.
“Huh, HP lagi.” ternyata istri masih bisa dengar, suara Rohman yang pelan tadi.
HP memang kini seperti pisau bermata dua. Disatu sisi kita bisa belajar banyak lewat HP, namun di sisi lain, sisi buram juga ada di HP. Sehingga kami masih ragu untuk memberikan gift HP, ketika dia nanti bisa sampai pada batas tertentu.
HP diberikan kepadaku. Saatnya aku bermain. Rohman ada dalam pelukanku.
“Sehat, le?”
“Sehat pak,”
“Sudah mandi?”
“Belum,”
“Belum mandi?, sudah mau waktu dhuhur, belum mandi. Antri atau males?”
“Iya antri, tadi pagi kerja bhakti- masih gerah pak,”
“Ooo..Ibu tadi tidak marah le. Cuma bapak menambahkan. Rasa males itu biasa naik turun. Nah saat males, coba kamu alihkan ke hal-hal yang menyenangkan kamu. Apapun yang menjadi peraturan pondok, kamu ikuti, le. Saatnya kamu, bersabar. Bapak dan ibu, juga mas..ikut doakan. Kamu bisa”
Rohman diam.
“Kok diam, le?”
“Iya dengar, kok. Cuma bingung mau bilang apa,”
“Yang semangat ya mas?” pertanyaan standarku. Flat. Datar.
“Iya, Sudah dulu ya pak. Sudah mau dhuhur”
“Iya. Mandi ya le,” aku mengeraskan suara
Rohman diam lagi. Tapi aku yakin dia mendengar suaraku. Aku sengaja tidak membahas soal Ziyadah dan Muraja’ah. Karena tadi sudah. Khawatir dia “muntah”. Bosan.
“Kalau kami sering tengok kamu, kamu gak enak dengan teman-teman yang lain,”
“Iya..Gak enak. Sebulan sekali saja di lapangan bola..” Habis itu terdengar suara agak riuh. Gantian ke santri lain. Otomatis sambungan kami terputus. Kami diskusi. Aku bilang ke istri untuk tidak keras-keras dengan anak. “Bukan keras, mas. Harus tegas. Gak jadi nanti Rohman kalau terlalu longgar,” kata Istri, mengunci perbincangan kami siang itu. Karena adzan dhuhur di masjid kampung terdengar. (Bersambung)