#Kabar dari Atas Bukit
Waktu bergulir terus tak peduli sekitar. Menggerus siapa saja yang tak mau memperdulikannya. Hanya penyesalan diakhir yang didapat. Jika tidak sigap menangkapnya. Masa depan gemilang yang dicita, tidak bisa diraih, jika hari ini kita masih kedodoran dalam mengatur waktu. Modal kita semua sama : 24 jam/hari. Tidak lebih.
Ada orang yang bisa mengurus beberapa pekerjaan dengan beres. Bahkan perusahaan besar. Namun ada juga yang mengurus diri sendiri saja masih berat. Usia besar, dewasa belum. Sebaliknya ada yang – masih belia, namun “mrantasi”. Merampungkan pekerjaan.
Sabtu, kemarin-agak lupa -apa pekerjaan dikantor sehingga menyita hati dan pikiranku, sehingga sampai lupa, jatah phone dari pondok. Tahu-tahu sudah petang. Jelang maghrib.
“Gak phone Rohman, dik,” kataku sambil meletakkan helm. Pulang kerja. Tas masih ditangan. Keburu pingin tahu kabar.
“Gak bisa. Penuh..” jawabnya singkat.
“Ya, kalau sambungan cuma 1 atau 2, sementara yang mau phone ratusan, memang antrinya gak tertahankan. Apa ada solusi lain ya?” kataku memancing.
“Ya, tambah pesawat phone-nya,”
“Betul.Tapi boleh tidak sama pondok, kalau jumlah sambungannya menjadi banyak. Minimal tambah. Biar antrinya tidak kelamaan,”
Kangen Rohman hari itu cukup aku telan. Bulat-bulat. Dalam hati, toh masih ada besok.
Kegiatan sore jelang maghrib rutin. Mandikan Fauzan, kakaknya Rohman. Sebab kalau hanya disuruh bisa berjam-jam, dan kami bisa terlambat jamaah Maghrib di masjid atau mushola. Fauzan sebenarnya bisa mandi sendiri, hanya – lama dan kurang bersih. Ganti baju juga bisa, cuma lama. Makan juga bisa, tapi lama. Itulah sebabnya jika waktu terburu, kami yang mengalah, memandu dan mendampinginya.
Habis Isya, baru agak landai kegiatan rumah. Itupun jika Fauzan tidak rewel.
———-
Ahad. Hari libur. Kami di rumah saja. Selain kegiatan rutin, saat-saat longgar biasanya kami gunakan untuk bisa hubungi Rohman. Hal sama dilakukan oleh banyak wali yang anaknya juga mondok. Setelah beberapa ke-reject, antri. Kali ini bisa masuk.
Masih ibunya yang pertama kali, say hello. Salam dan kabar-kabar harian. Aku cukup mendengarkan disamping. Sesekali saja sambung.
“Sehat mas,?”
“Sehat, bu..”
“Bagaimana latihan ujian kemarin?” oh oya, belum lama Rohman latihan ujian, seperti UNBK. Ujian Nasional Berbasis Komputer. Namun lebih berat pada Assestmen.
“Biasa saja. Lancar. ”
“Kata, bapak soal-nya panjang-panjang,”
“iya, panjang. harus dibaca agar bisa paham,”
“Syukurlah kalau bisa,”
“Ya, tidak semua bisa bu..”
“Kemarin ditanyakan Mas, lho?”
“Mas Fauzan, tanya aku bu?”
“Iya, awalnya nangis, terus kok nyebut namu kamu”
Karena disamping maka, HP disorong dekat telinga Fauzan.
“Ini, mas Rohman,”. Lagi, Fauzan no respon. malah bilang, “emooh,”
Gak sambung. Ya sudah. Kami maklum.Paham.
“Itulah, mas. Besok satu saat kalau kamu sudah besar, punya tanggugjawab tambahan. Mengurus mas. Siapa lagi kalau bukan kamu,” masih kata ibu Rohman, disebrang HP.
“Iya tahu,”
“Bukan bermaksud menambahi beban. Cuma agar kamu tahu saja. Itu kakakmu. Mas-mu. Sekarang cukup tahu saja, karena kan masih bersama bapak dan ibu. Tapi satu saat pasti bersama Rohman”
“Iya tahu,” jawab singkat.
“Syukurlah, kalau tahu. Ini sebabnya mengapa, ibu minta kamu serius sekarang. Biar besok kalau besar, bisa menanggung mas. Agar tidak menjadi beban orang lain.”
Tiba-tiba HP disodorkan ke aku. “Rohman, mas, mau bicara apa?” padahal tanpa diberitahu, aku tahu itu suara Rohman. Namun mungkin untuk menandaskan bahwa bisa sambung suara dengan Rohman adalah sebuah perjuangan. Perjuangan kesabaran. Menunggu. Antri dan masih banyak lagi.
“Bagaimana le, kabar. Sehat?
“Sehat pak. Tadi baru saja kerja bhakti,”
“Lah, jam segini baru selesai kerja bhaktinya,”
“Ya sudah agak tadi kok,”
“Jadi belum mandi ini,?
“Ya belum.”
“Usahakan sebelum dhuhur mandi ya le, biar seger,”
“Ya pak,”
“Uang tabungan masih?”
“Masih, pak.”
“Mau dikirim berapa? Sama dengan bulan kemarin?,”pancingku. Uang saku yang relatif kecil, sebagai jaga-jaga untuk beli : sabun mandi dan sabun cuci, sampo dan sejenisnya. Kadang ya beli snack atau jajanan lainnya.
“Terserah bapak saja. Oya kemarin aku beli sepatu dari teman, pak?”
“Berapa?”
“23 ribu”
“Kok murah mas, sudah rusak,”
“Masih bagus kok. Dia belinya 20 ribu. Yang punyaku, ijin aku jual ke teman ya pak, sudah kecilan, gak enak,” ups. anak-anak sudah mulai transaksi jual beli dan ambil untung. Aku ingat kiriman sepatu bagus dari teman baik di ibu kota yang mengirimkan sepatunya ber-merk. Sayangnya kecilan. Tapi tetap terimakasih.
“Mandi jangan lupa lho, mas,” itulah pertanyaanku hampir setiap kali terima phone. Pertanyaan standar. Sehat, mandi, sudah makan belum, hanya seputaran itu. Sekali lagi aku gak pernah tanya hafalannya sampai apa. Itu bagian ibunya-yang sering bertanya rigit dan detail. Aku cukup dengan pertanyaan-pertanyaan pinggiran. Yang tidak berat.
Diakhir phone, Rohman justru cerita kalau ada sedikit benjolan di, maaf dekat selangkangannya. Awal-nya gatal. Itulah maka aku sering serius ingatkan mandinya.
“Mungkin hanya kelenjar saja. nanti kalau pas tidak capek, biasanya hilang,” terang ibunya yang masih ngopi pembicaraan santai bapak-anak, lewat HP pondok siang itu. (bersambung)