# Mondok Dulu dan Kini
Sinar matahari jatuh pelan di ufuk barat. Sinarnya tidak lagi garang. Perlahan redup mendekati maghrib. Ditelan awan. Pucuk pohon bambu pojok rumah nampak tenang. Biasanya jika sang bayu menghembuskan nafas-nya keras-keras, terdengar suara gaduh. Pucuk-pucuk daun saling bergesekan. Berirama. Aku pulang kerja. Setelah ganti kostum seperlunya, aku melompat cepat ke kebun pisang barat rumah. Menyiram pohon pisang baru yang belum lama aku tanam. Ada sekitar 7 tunas pisang menjadi keluarga baru di kebun persegi panjang itu. Jika sudah begitu, rasa capekku hilang. Entah kemana.
Pohon pisang pinggir kali itu memang seringkali menjadi penetrasi saat aku suntuk dengan pekerjaan. Itu opsi yang pertama. Yang kedua adalah memberi makan ayam atau lele yang bisa dihitung dengan jari. Ayam 2 ekor. Lele 21 ekor. Besar selengan bayi. Dua kegiatan sampingan itu membuat aku terasa balance pikiran.
Saat memberi air beberapa pohon pisang pinggir sungai itu usai. Aku duduk-duduk sebentar di pembatas kebun dan sungai. Seperti pematang sawah memanjang. Namun berupa tumpukan batu. Anganku ke Rohman. Muncul juga dalam angan Ustadz Hanan Ataki (UHA) dan Ustadz Adi Hidayat (UAS) dan beberapa yang lain: UAS – Ustadz Abdul Somad. Aku hanya mencoba membandingkan mondok dulu dan sekarang. Sependek yang aku tahu.
Ya, benar belakangan aku banyak dengar pengajian ustadz tadi. Terlambat? Jelas. Tapi tidak mengapa. UAS mondok di Libya, sementara UAS dan UHA, sama-sama dari Al-Azhar Kairo. Kalau mendengar cerita ketiganya saat mondok atau kuliah diluar negeri, tidak begitu bebas untuk bisa berkomunikasi dengan keluarganya. Bisa-dua tiga bulan tidak bertemu dengan orang tua. Biasa. Aku bandingkan dengan Rohman sekarang yang relatif lebih mudah untuk bisa bertemu, meski tidak live. Minimal bisa phone. Bahkan video call. Dengan kecanggihan teknologi – bahkan wali yang di rumah bisa mengikuti kajian yang diadakan Ustadz di pondok. Siaran tunda. Delay. Kurang apa sebenarnya? Kenapa masih juga kadang masih was-was, khawatir kondisi anak di pesantren? Jika wali masih diberikan kesempatan untuk menjalin komunikasi dengan santri.
Kekhawatiran yang berlebihan? Bisa ya, bisa tidak.
Bahkan kegiatan di pesantren acap kali dishare lengkap dengan photonya sekalian. Meski tidak semuanya. Hingga kadang emak-emak baper ingin anak-anaknya ditampilkan. Akhirnya aku kuatkan hati untuk tetap membenamkan Rohman di pondok atas bukit itu, minimal 3 tahun.
“Setelah itu kemana?” tanyaku dalam benak
“Cari pondok lagi biar relevan,” jawab hatiku sendiri.
“Tadi dia pingin di IT,?
“Kan banyak pesantren yang berlatar IT, kenapa tidak”
“Tapi, bagaimana dengan beaya?”
“Kan ada Allah?”
“Ya, tapi kan harus usaha. Harus realistis, biasanya yang berbau IT menelan bea tidak sedikit,”
“Insya Allah bisa,” hatiku memantapkan.
Mengandalkan hasil panen pisang? Aku nyengir sendiri. Bagaimana mungkin, pohon pisang tidak lebih dari 30 batang, untuk beaya pondok. Aku tidak boleh memperpanjang angan. Karena kadang menyiksa diri. Hadapi yang ada didepan mata.
“Tetapi masa depan, kan bisa direncanakan,” hatiku lagi berontak.
“Ya, tapi jangan terlalu rigit,”
“Terus bagaimana?”
“Hadapi hari ini dengan semangat dan istiqamah. Hari esok akan datang dari langkah-langkah hari ini yang kita bangun,”
Suara istri memanggil berkali-kali. Aku sadar dari angan. Melompat dari pematang sungai. Bergegas mandi dan segera mengayuh sepeda kumbang ke masjid. Adzan. (bersambung)