26.4 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bag-62 )

Baca Juga:

#Rindu Lagi ke Masjid Nabawi

Rindu kadang datang tiba-tiba. Benar adanya. Kadang juga datang tanpa sebab yang menyertainya. Sore itu, disela-sela tugas kantor aku coba membuka konten religi lewat internet. “Ketik Nabawi” otak kananku menyuruh syaraf tangan untuk menggerakkan. Maka tanpa menunggu lama, dalam hitungan detik, muncul gambar masjid agung Nabawi dari berbagai arah dan angle. Kini nampak lebih menarik. Justru beberapa sudut yang dulu belum sempat aku lihat, digambar itu ada. Maka rindu untuk kesana, aku anggap biasa.

Persis 10 tahun aku meninggalkan jejak dan langkah di Masjid yang dibangun nabi era paska hijrah. Menjadi masjid terbesar ke-2 di dunia setelah Masjidil Haram. Konon kota Madinah, luasnya seluas masjid ini. Masjid Nabawi bisa menampung 1.3 juta sekali Sholat Jamaah. Subhanallah. Keagungannya tak tertandingi. Sempat terpikir, siapa yang menjadi arsitek masjid ini. Yang masih aku ingat di masjid ini ada atap yang bisa bergerak sendiri, seiring dengan cahaya matahari. Diluar ada payung raksasa yang bisa “berkembang” – juga karena tenaga surya. Informasinya menggunakan teknologi Jerman. Di Indonesia, diadopsi oleh Masjid Agung Semarang.

“Bisa hafal 30 Juzz, umrah ya le?” kataku satu saat. Tanpa pikir panjang. Spontan. Di pinggir lapangan usai Rohman main bola bersama teman-temannya.
“Sambil beli HP ya pak?” jawabnya. Masih dengan keringat bercucuran di kening.
Meski di pondok lebih setahun, ternyata pikiran tentang HP masih ada dalam benaknya. Terbukti begitu ditawari hadiah umrah ke tanah suci, yang pertama muncul adalah bagaimana bisa beli HP di sana. Dasar anak.
“Kabarnya di sana HP bagus-bagus, pak,” katanya lagi. Sambil minum juz jambu yang dibawa istri.
“HP lagi,” kata istri agak sewot. Kemudian mengelus kepalanya. Hingga membuat rambutnya makin tidak beraturan.
“Tapi bener, pak? kita satu keluarga? Dengan Mas Fauzan juga? Habis banyak nanti,” Rohman mulai agak serius. Menatap wajahku. Seolah ragu, apakah benar penawaranku ini. Karena baginya ini sesuatu yang baru dan mendadak. Selama ini hanya mendengar berita tentang keindahan dua masjid besar dunia yang menjadi pusat ibadah umat Islam, yakni Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dengan pembicaraan tadi, Rohman berpikir, untuk bisa melihat langsung kebesaran 2 masjid itu bukan wacana namun akan menjadi kenyataan.

“Insya Allah, le. Semoga dimudahkan. Bapak bisa ajak kamu kesana,” kataku tembus dalam kalbu. Semoga menjadi doa. Tanpa terasa air mata mulai membendung akan tumpah. Syukur. Namun aku tak ingin Rohman lihat semua itu. Aku beranjak pergi. Pura-pura berjalan ingin menemui Ustdaz Muchtar yang biasa menemani santri main bola. Aslinya hanya tidak ingin Rohman melihat aku meneteskan air mata.
“Pagi tadz. Ijin nengok Rohman, Tadz,” kataku. ragu-ragu antara boleh dan tidak. Tapi kalau tidak boleh toh sudah terlanjur.
“Iya, Pak. Silahkan,” kata ustadz. Sambil melepas sepatu bolanya.
“Ustadz bagus mainnya. Lincah. Gerakannya meliuk-liuk. Umpannya terukur,” pujiku setelah tadi melihat penampilannya di lapangan.
“Iya, dulu waktu masih di Lampung, suka main bola. Pernah ikut divisi kecil-kecilan,” jawabnya merendah.
Benar. Ustadz yang satu ini memang lengket dengan bola. Juga dengan santri dikenal dekat. Lengket dan familiar.
“Rohman bagaimana di pondok tadz?” tanyaku.
“Baik. Cuma aku tidak menjadi walinya langsung,” jawab ustdaz.
Tidak banyak waktu tersisa. Aku kembali ke Rohman. Dia aku lihat asyik dengan HP yang tadi dipinjam dari saku jaketku.
“Sudah, le. Kelamaan nanti lupa hafalannya,”candaku.
“Nggak-lah,” Rohman nyengir.
“Tapi yang rencana tadi benar, bapak mau ajak aku, mas dan ibu ke Nabawi?” rupanya pancinganku yang spontan tadi begitu nancap di kepalanya.
“Insya Allah. Allah yang Maha Kaya. Kita minta Allah semoga dimudahkan,”
“Tapi covid ini bagaimana pak. Katanya gak boleh kemana-mana.”
“Ya, semoga segera reda. Landai.”
“Doakan bapak, rejekinya lancar ya ?” istri menyela. Setelah tadi asyik ngobrol dengan ibunya Bima, santri dari Jakarta, namun ortunya asli Bantul. Sewon.
“Insya Allah,” jawab Rohman, mantap.
****

Pulang dari menengok Rohman, bayangan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram kembali menari-nari di kepala sampai hati. Makin kuat. Memang teman-temanku ada yang sudah kembali umrah ke tanah suci setelah sepuluh tahun haji. Sementara aku harus banyak persiapan panjang. Di samping untuk memenuhi kebutuhan harian. Namun dalam lubuk hati, makin yakin dan percaya, jika keinginan itu dilandasi ikhlas semata mengharap ridha-Nya, Allah akan memberikan jalan keluar dari arah yang sering tidak kita sangka-sangka. Toh 10 tahun lalu, juga aku tidak mengira bisa ke sana. Semua karena kebesaran-Nya.
Kini yang bisa dilakukan adalah berusaha dan berdoa. Jelang dhuhur kami sampai rumah. Setelah menempuh perjalanan hampir 60 menit. Lintas Kabupaten. Segera aku ambil wudhu, ajak Fauzan ke masjid kampung, tenggara rumah. Usia sholat dhuhur, aku tenggelam dalam doa. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!