27.1 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bag-63)

Baca Juga:

# Menyoal Larangan Menengok

Pagi itu aku buru-buru. Bukan karena bangun kesiangan. Tapi mungkin karena aku kurang bisa memenej waktu. Jadwal piket sekolah, 15 menit harus sampai lokasi. Biasa jalan darat tidak ngebut dari rumah sampai sekolah menelan waktu 8 menit. Sementara jam 06.46 aku masih di rumah. Ada saja yang belum tuntas. Keluar masuk pintu, sepertinya ada sesuatu yang tertinggal. Membuat detak jantung berdebar lebih cepat. Emosi sedikit tidak stabil. Tapi aku bisa menahan. Karena kalau aku tarik – “aku sendiri yang keliru,” batinku. Kenapa menyiapkan bekal, buku dan semacamnya di pagi hari, saat mau berangkat. Charger HP juga kenapa harus pagi. Semua itu seharusnya sudah harus kelar malam, sebelum tidur.

“HP-nya mas, nanti ketinggal lagi. Pelupa,” ibunya Rohman muncul dibalik pintu dapur, mengingatkan. Dan benar HP, masih dalam posisi di charg- menancap kuat dekat pintu ruang tamu. Aku masuk lagi. Dengan langkah terburu, sepatu tidak dilepas, pun juga helm masih di kepala.
“Nah..nah…sepatunya gak dilepas. Baru saja disapu. Kotor lagi,” istri bersungut-sungut. Aku sengaja tidak menyahut, khawatir terjadi perang dunia ke-3. Toh semua salahku.
Saat mau berangkat. HP bergetar. Penasaran, aku tengok. Butuh waktu lagi. Isinya, larangan dari pondok untuk menengok santrinya, meski hanya di pinggir lapangan bola. Pesan itu dishare di grup wali. Sehingga terbaca jelas. Sebenarnya alasan pondok jelas: jika pandemi sudah selesai, kondisi aman, maka aksi jenguk-menjenguk, tengok-menengok akan normal kembali. Karena memang tamu dari luar, agak susah terdeksi. Aku paham itu. Namun aturan itu tetap membuatku sesak. Sesak nafas dan hati. Aku tidak perlu cerita ke istri, toh dia juga masuk dalam gruop wali, sehingga juga membaca akan larangan menengok itu.

Aku tetap berangkat dengan banyak pikiran berseliweran di kanan-kiri. Namun mencoba tetap fokus di jalan raya. Khawatir terjadi kecelakaan. Tetapi tetap ngebut. Ngebut untuk ukuranku adalah 70km/jam. Sementara untuk teman yang lain. Itu tidak ngebut. Masih landai. Silahkan. Aku memang dikenal laki-laki penakut di jalanan, tidak berani ngebut. Cemen. Ya, sejak kecelakaan beberapa tahu silam, tepatnya Agustus 2007, karena tidak fokus, di jalan raya sambil membaca SMS – waktu itu, sehingga stir motor sedikit goyang ke tengah. Motorku tersenggol pantat mobil kijang. Aku bergulung-gulung dengan teman TU sekolah. Kami berdarah-darah. Terutama lututku babak belur. Kanan kiri. Untung pakai helm. Kata orang yang menolongku, kondisi tubuhku paska tertabrak berjumpalitan. Temanku pinggannya sobek. Aku merasa bersalah besar. Sejak itu aku tidak mau spekulasi dengan menyambi, mendua, naik motor sambil membaca WA atau SMS. Waktu itu belum trend WA, masih didominasi oleh SMS (short massage service). Sehingga jika ada dering di HP, bukti ada pesan masuk, aku minggir.

Sampai sekolah belum terlambat banget. Untuk ukuran Taddarus dimulai. Namun kalau diukur jam piket, terlambat. Aku menulis di buku presensi apa adanya: 06.56. Masih ada waktu 4 menit untuk prepare. Namun pikiranku masih lari ke larangan menengok Rohman tadi. Mengapa? Ya, karena aku merasa yang pernah, beberapa kali, untuk tidak mau dikatakan sering, menengoknya di bibir lapangan hijau, pinggir jalan itu. Apakah karena kami pernah menengoknya, kemudian muncul aturan itu? Ah, terlalu baper juga, pikirku. Toh aturan itu dikenakan untuk semua wali santri. Dan saat kami menengoknya juga tadi sendiri. Aku melihat beberapa wali santri juga ada. Membawakan bekal untuk anak-anaknya.
“Tetap salah, menengok di lapangan,” batinku.
“Apalagi kalau ke pondok, lebih salah lagi,” lanjut perasaan lain.
“Makanya, harus ikuti aturan pondok. Toh semua demi kebaikan bersama. Gak usah mencari alasan dengan mengantar bekal dan semacamnya. Ujung-ujungnya ya ketemu dengan anak atau santri juga. Kontak fisik juga. Ya kalau pas aman, kalau tidak? Membawa virus, kondisi kurang sehat. Timbul klaster baru, Ayolah. Tolong bisa pahami aturan pondok,” perang batin. Yang satu mengajak berdamai dengan aturan pondok, sementara hati yang lain karena digerus perasaan rindu tak terbendung, mencari tahu kabar anak, dengan melihat dari kejauhan.

Fisik di sekolah. Batin dan hatiku di pondok. Minimal pagi itu. Karena setelah agak siang dan aku coba mengadu dengan sholat dhuha 4 rokaat, lompatan hati ini mulai tenang. Landai. Dengan mencoba menyimpulkan: jika tujuan kita baik, pasti Allah akan melindungi dan menjaganya. Bukankah Allah Maha Baik dan Maha Mampu. Aku tiba-tiba ingat dengan kebesaran-Nya ini. Sementara manusia sangat kecil.
“Nyantri atau mondok dimanapun, tidak ada yang ideal, mas. Sisi-sisi kekurangan itu pasti ada. Dimanapun. Yang penting kita perbaharui niat kita mondokkan anak apa. Setelah usaha-usaha standar kita lakukan. Sudahlah kita serahkan kepada yang punya bumi dan langit. Yang Menjaganya. Khawatir, biasa. Manusiawi. Namun jangan berlebihan,” kata teman senior di sekolah ketika aku curhat.

Aku hanya menganggukkan kepala. Tanda setuju. “Di sekolah atau bekerja di instansi manapun juga demikian. Tidak ada yang ideal bagus 100 persen. Pasti ada hal-hal yang tidak kita sukai. Entah itu aturannya, lingkungan pergaulannya, tidak cocok dengan pimpinannya. Akan ada saja. Semua ada disini, kuncinya,” kata temanku itu sambil menunjuk dadanya. Yang berarti hatinya. Kini aku mulai berdamai dengan aturan pondok tersebut, yang tidak memperbolehkan wali menengok anaknya, meski sekedar di pinggir lapangan. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!