29.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bag, ke-60)

Baca Juga:

#Kaca Mata Baruku

Apa hubungannya kaca mata dengan pondok Al-Quran di atas bukit itu? Hubungan langsung memang tidak ada. Namun tidak langsung ada. Banyak. Tanpa kacamata, aku terbata-bata untuk bisa sampai kesana. Membaca tulisan agak jauh sudah tidak bisa. Membaca Al-Quran juga demikian. Aku sadar ini dua tahun lalu. Ketika pengajian keluarga, taddarus pas giliranku membaca, aku merasa sangat kesulitan. Tulisan menjadi kabur. Samar. Aku coba pinjam kaca mata kakak ipar, yang duduk di sebelah. Cocok.
“Oh, jelas ini mas,” aku terpekik malam itu. Semua memandangku.
“Berarti sudah plus dik, 1,5. Lha,bagaimana mau dipakai atau…?”
“Gak, besok aku beli saja, mas. Makasih,”
Namun malam itu, kaca mata kakak ipar pindah dan nagkring diatas hidungku yang sedikit pesek. Nyaman. dengan senyum-senyum aku pakai kaca mata itu. Antara PeDe dan malu.Dalam hati aku berjanji untuk segera beli. Agar tidak ketinggalan saat mengaji.
Hingga kini, aku catat sudah 6-7 kali aku ganti kaca mata. Dari yang harganya puluhan ribu hingga ratusan ribu. Hilang. Sebabnya satu : Kurang teliti menaruhnya. Lupa. Beli, hilang lagi. Begitu seterusnya. Padahal kini kaca mata seolah menjadi kebutuhan utama, setelah makan minum. Bahkan kedudukan kaca mata bagiku sama dengan HP. Artinya HP dan kacamata bak pisau bermata dua, sama-sama membutuhkan.

Kalau ke kantor kaca mata lupa ketinggalan maka serta merta aku minta ijin kepada pimpinan pulang untuk mengambilnya. Begitu juga jika HP tak ada di saku. Mendapatkan perlakuan yang sama. Ambil.
Kacamata paling mahal seharga Rp500 ribu, dibantu program BPJS Kesehatan, sehingga membayarnya kurang dari separo. Pernah juga membeli tanpa rekomendasi BPJS harga hampir sama. Bedanya yang ini bayar sendiri. Paling murah harga kaca mataku 16 ribu. Tapi ya itu, jika dipakai cepat pusing. Pendeknya ada harga ada kualitas. Tidak pernah tertukar.
Rohman juga pernah pakai kaca mata. Sebentar. Nampak lebih cakep, beda dengan aku. Kalau Rohman memakai kaca mata bukan karena minus atau plus. Lebih karena gaya saja. Pernah satu saat karena kebelet segera punya kaca mata, langsung saja aku WA ke relasi. Rekanan yang sudah biasa aku kenal dengan jasanya jual beli kaca mata. Kala itu aku tidak begitu hirau degan harganya yang tinggi untuk ukuran isi kantongku. Namun karena butuh, tetap aku ambil dengan mencicil.

Kini aku kemana-mana hampir memakai kaca mata. Yang tidak cuma tidur. Malahan pernah ketiduran, masih pakai kaca mata. Untung tidak terlindas tubuhku yang mulai gemuk belakangan.
Ketika teman kantor memberi kabar akan ada pemeriksaan mata, aku ambil. Gratis katanya. Namun ujung-ujungnya tetap menawari jasa ganti lensa atau frame. Aku tergiur. Ganti lensa. “Maaf mas, jika kaca mata yang dipakai tidak standar, maka membuat mata cepat lelah dan pusing, ini  ada penawaran dari kami murah dan bisa diangsur,” kata pegawai optic luwes.
Aku akhirnya ganti lagi lensa.

Aku termasuk boros untuk ukuran kebutuhan yang satu ini. Menurutku karena melihat dengan nyaman adalah kebutuhan pokok. Sama dengan, jika lapar perlu makan. Haus butuh minum.
Namun perlakuanku terhadap kacamata baruku ini memang terkesan berlebihan. Selain kemana-mana aku bawa. Sebentar-sebentar di-lap. Kadang tidurpun ada di samping. Bukan karena, bangun tidur, terus buka HP. Namun lebih karena tidak ingin kacamata ini berpindah tangan alias hilang. Karenna merasa sudah sehati, cocok dan nyaman. Terlebih untuk mengaji.

Kacamata ini juga mengingatkanku betapa kecil manusia. Kok bisa? Ya, karena terbukti, ketika bekerja atau kemana tidak membawa benda tersebut seolah tidak berdaya. Maka nikmat apalagi yang akan kita dustakan dari-Nya? bagi yang dikaruniai mata sehat, indra yang lain normal, saatnya bersyukur. Namun sudah jamak, di antara kita banyak yang lupa ketika nikmat itu ada pada diri. Baru merasa kehilangan kalau, nikmat itu tercabut dari akarnya.
“Belum mandi ya mas?” kata teman kantor, ketika melihat di dekat kelopak mata ada bekas hitam arang.
“Mandi-lah. Rutin,” jawabku mantap
“Coba bercermin, pake HP atau kebelakang sana?”
“Masya Allah, benar. Apa ini ya? Arang? spidol? Dari mana? Gak mungkin deh,”
“Coba diingat-ingat. Jangan-jangan memang belum mandi,” ledek teman
“Benar. Air melimpah. Dekat sungai. Masak belum mandi,”
Ya Allah baru sadar, ternyata bekas frame yang patah, kemarin diservice lensa-nya. Kemudian disambung oleh petugasnya. Sayang gak bilang. Diberi warna hitam, untuk menutup keretakaan frame agar tersamar. Namun tetap membekas. Aku coba bertanya ke relasi. Jawabnya kurang memuaskan. Aku mengalah. Kini setiap mau pakai kacamata itu, dibersihkan, dilap dulu terlebih bagian yang retak.  (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!