32.9 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian-10)

Baca Juga:

Kali Pertama di Pondok Al-Quran Pajangan

Hampir satu tahun di Pondok Al-Quran Pajangan. Masih saja ingatan kali pertama menginjakkan kaki di pondok yang ada di atas bukit itu berkelebat.  Pondok Pesantren ini relatif masih baru. Belum genap tujuh apalagi sepuluh tahun. Jika tidak salah tangkap, saat ketemu pucuk pimpinannya, Ust. Anto LC. Pondok yang dibangun di kompleks pekarangan rumahnya yang cukup jembar ini, sekitar 5 tahun. Artinya baru 2 kali meluluskan santrinya. Karena lama mondok dengan target hafal Al-Quran 30 Juzz adalah 3 tahun. Sementara pelajaran lain adalah tambahan. Fikih, Akhlak, Muamalah, Hadits hingga pelajaran Bahasa Jawa dan ektra lainnya.

“Assalamualaikum, ada yang bisa saya bantu pak,” tanya Ustadz Anto, ramah. Yang saya kira waktu pegawai pondok.

“Waaalaikum salam. Mas, mau tanya-tanya soal pondok, ini mau daftarkan anak saya,” jawab saya waktu itu. Sambil celingak-celinguk, lihat kanan kiri. Saya diarahkan ke teras kantor, arah utara. Di sana sudah ada beberapa usdazt muda dengan cekatan menerima tamu dengan kepentingan yang hampir sama. Rata-rata mereka ingin menitipkan anaknya untuk dapat mondok.

“Mari mas, isi dulu formulir ini, nanti persyaratan yang lain bisa menyusul. Termasuk kapan calon santri harus mengikuti ujian penerimaan. Dalam stopmap itu ada jadwalnya dengan lengkap,” terang Ustadz Muchtar.

Dengan cepat kami  isi formulir itu. Karena tidak ada yang sulit. Beberapa hal kami tanyakan kepada Ustadz Muktar. Bagaimana jika nanti diterima. Calon santri aturan mainnya. Kami mendapatkan gambaran lengkap. Ketika kami ingin pulang, bertemu kembali dengan Ust.Anto Lc, yang kemudian kami  ketahui beliau adalah pimpinan di pondok tersebut. Santun. Tidak menunjukkan bahwa dia adalah orang nomor satu di Pondok tersebut.
Beliau hanya mengingatkan seleksi nanti yang dipanggil tidak hanya calon santri, tetapi juga orang tua.
“Untuk apa tadz?” tanya saya heran.
“Untuk mengetahui, sesungguhnya yang mau mondok itu anaknya atau orang tuanya,” jawab Ust. Anto.

“Maksudnya,” saya bertanya lagi, karena memang belum menangkap.
“Dari wawancara itu,  kita akan tahu. Kalau anaknya sesungguh tidak berniat mondok. Yang ngebet orang tuanya. Atau sebaliknya. Anaknya mau, tetapi  orang tuanya sebenarnya tidak ikhlas, takut berpisah, takut kekurangan makanan di pondok, takut tidurnya gak bisa maksimal. Saya ingin mencari yang kepingin mondok anak-nya bukan orang tuanya,” jawabnya sambil sesekali mengarahkan ustadz lain.

Kami ber-4 berdiri di bawah pohon mangga depan pondok. Ber-4 itu adalah Ustadz. Anto, aku, istri dan Rohman.
Ada perasaan khawatir dalam lubuk, karena sejatinya Rohman mondok, selain dia ingin juga tentu dorongan kami berdua. Artinya kami berperan ikut mengarahkan. Harus jawab bagaimana besok kalau wawancara. Tidak lama berselang kami pamitan. 2-3 bulan lagi kami datang untuk seleksi sesuai jadwal yang diberikan. Dari 132-an calon santri  yang mendaftar, yang diterima hanya 60 an saja. “Alasan tempat dan sarana,” terang Ust. Anto, Lc, lagi.
“Kami tidak ingin para santri. Tidak dilayani dengan baik. Maka kami ukur kemampuan. Kemampuan kami menerima santri hanya segitu. Maaf yang belum diterima. Untuk menjadi Mujahid bisa di mana-mana. Tidak harus di Pondok Al-Quran ini, “ jelas-nya

( Bersambung…)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!