31 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-13)

Baca Juga:

Tidak Baik Terlalu Banyak Tanya.

MALU bertanya sesat di jalan. Sering kita dengar pepatah ini dalam pelajaran bahasa Indonesia. Yang secara sederhana dapat kita tangkap jika kita tidak bertanya, karena malu maka kita tidak akan tahu. Tersesat di tengah jalan. Namun sering pepatah itu dilanjutkan, Malu bertanya sesat di jalan, banyak bertanya memalukan.

Mempunyai anak di pondok, pepatah ini juga berlaku. Sering keinginan untuk mengetahui kondisi anak, membuat kita untuk acap kali bertanya kepada musrif (guru/pendamping). Jika dalam batas wajar, aku kira sah-sah saja. Namun kalau terlalu sering, saya kira pihak pondok juga akan merasa jengah. Ada perasaan atau penilaian seolah-olah kita tidak percaya kepada manajemen pondok.
Biasanya pihak pondok, tidak langsung melarang dengan verbal. Tidak boleh sering-sering tanya kabar anaknya. Namun dari jawaban ustadz, pendamping, aku menangkap agar orang tua mempercayakan penuh terhadap pendidikan putra-putrinya di pondok/pesantren.

“Alhamdulillah, si fulan sehat dan baik pak,” jawab WA Ustadz. Biasanya balasan standar yang dikirim. Namun juga tidak jarang pihak pondok menyampaikan kondisi santri dalam keadaan tidak sehat. Pusing. Apalagi ketika pandemi covid-19 ini. Aku menilai pondok memberikan layanan yang maksimal kepada para santri. Termasuk informasi yang transparan. Sampai disebutkan rigit siapa-siapa yang terpapar dan apa yang harus dilakukan. Tidak ditutupi. Meski deg-degan, aku senang dengan keterbukaan manajemen pondok dalam hal ini. Karena dengan demikian, kita bisa tahu dengan sesungguhnya apa ang terjadi di pondok saat pandemi.

Termasuk bantuan untuk membantu supplay makanan, tambahan gizi-pun diekspose oleh pondok.”Ya, biar orang tua tahu keadaan putra-putrinya. Sehingga tidak bertanya-tanya,” kata Ust.Anto LC, pimpinan pondok, satu saat.

Kegiatan harian, mingguan juga sering dishare oleh pihak pondok. Saat itulah kami orang tua di rumah, mencari anak-anak kami sendiri. Bahkan jika belum muncul, kami dengan berani bertanya atau tepatnya meminta, “Anak kami sejak kemarin belum muncul, tadz, kangen ini,” WA salah seorang wali santri. Tidak lama berselang, permintaan dikabulkan, dengan share beberapa photo di group. “Alhamdulillah tadz, bagaikan mendapatkan durian runtuh ini. Bisa lihat photo si buyung,” WA wali yang photo anak-nya di share.

Maka, pikir aku, meski keinginan untuk mengetahui kondisi anak setiap saat kuat, maka sudah selayaknya aku tahan. Khawatir mengganggu juga aktivitas ustadz di pondok. Pernah juga , karena tidak bisa menahan rasa rindu, aku kirim WA bertanya tentang kabar anak kami. Dan tidak terjawab. Centang satu. Aku coba berpikir positip, mungkin ustadz sedang repot. Telphone setiap minggu sekali aku kira cukup. Bahkan dulu, pernah phone dengan video call. Belakangan hanya phone saja. Itu sudah cukup. (Bersambung ..)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!