33.3 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-14)

Baca Juga:

Ketika Anak Pulang

Bagai dua mata sisi pisau. Ini yang kami alami, ketika anak mendapatkan kesempatan pulang dari pondok. Antara senang dan sedih. Waktu itu, Rohman phone kalau dirinya mendapatkan bonus pulang seminggu karena mampu memenuhi target.

“Pak, aku pulang. di rumah 2 minggu,” kata Rohman girang dari balik gagang HP. Aku sih senang saja. Tetapi ternyata tidak memikirkan dampak buruk ketika berlama di rumah. Bukan berarti tidak mau berlama-lama dengan anak dan dicap tidak bisa mendidik anak. Namun kenyataannya di rumah lebih banyak bermain. Ibunya Rohman yang sering uring-uringan kalau sudah demikian.

“Ayo kebiasaan di pondoknya mana. Habis Sholat kok ngajinya hanya sebentar banget. Habis itu pasti HP lagi. Khawatir bisa lupa lho hafalannya,” istri ketika sudah tidak tahan, lihat Rohman mulai akrab dengan HP yang pernah ditinggalnya waktu mau ke pondok.

“Nanti kalau sudah di pondok, sudah gak main lagi kok bu,” jawab Rohman tak kalah cerdas. Masih dengan HP-nya.

Aku menjadi berdiri di dua kaki. Satu kaki untuk Rohman, yang memberikan sedikit kelonggaran untuk pegang HP, mumpung di rumah. Pikirku juga tidak selalu dan lama-lama di rumah. Hanya liburan ini. Namun tetap ada rasa khawatir juga, karena liburan di rumah banyak diisi bermain HP- saja. Sesekali diselingi ke rumah saudara. Jamaah di masjid. Sementara kaki yang ke dua berpihak kepada istri, takut hafalan Rohman akan hilang.

“Kamu sudah sampai juz berapa le, sekarang,?” pertanyaan standar seorang bapak.
“Hampir 4 pak. Dari juz 30,29,1 sekarang sudah masuk juz 2,” jawabnya, tanpa menoleh melihatku. Matanya masih tertuju ke layar monitor HP, aku tengok ia asik bermain game bola.
Iseng aku tanya bagaimana cara menghafalnya, belum genap setahun sudah hampir 4 juz dilahapnya. Sementara kalau di rumah kok terkesan malas-malasan mengaji.

“Pokoknya dibaca, diulang-ulang pak. Target misal hari ini hafal 1 lembar. Itu saja. Kalau agak bosen boleh baca surat yang lain. Tapi yang menjadi target itu dibaca terus. Nanti jadi hafal sendiri,” terangnya.

Saya kemudian mencoba mempraktekannya. Namun tetapi mengalami kesulitan. Coba lagi. Belum hafal juga. Coba lagi. Hingga sekarang. Belum hafal. Namun ada perasaan aneh dalam hati menyelinap, rasa senang untuk berakrab-akrab dengan Al-Quran. Meski mengaku mengalami kesulitan untuk menghafal.

Pernah bertanya kepada ustadz, apa karena pengaruh usia dan beban kerja, sehingga kita menjadi sulit menghafal? Jawabnya tidak mesti. Karena banyak juga dari golongan orang tua yang terlambat mengaji, akhirnya bisa hafal Al-Quran. Penjelasan itu seolah menjadi pelecut dalam diri. Minimal nama-nama Surat dalam Al-Quran yang 114 surat sudah mulai aku hafal dengan urut. Hampir separo lebih.

Di rumah aku memang banyak belajar dengan Rohman. Oh ya satu lagi, gaya adzan-nya yang mulai beda. Selain warna suara (timbre) kelihat lebih besar. Dewasa. Nafasnya makin panjang, “Iya aku niru kakak kelas di pondok,” jawabnya ketika aku tanya kenapa lagu adzannya berbeda. Meski tidak aku sampaikan kepadanya, aku senang dengan suara adzan Rohman. Mendayu. Meski tidak terlalu merdu. Maka tidak jarang aku pancing dengan uang saku agar dia mau adzan di masjid. Sekali adzan 5-10 ribu. Pernah terkumpul hampir 100 ribu. “Asyik bisa untuk jajan di pondok,” girangnya. ( bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!