33.3 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( bagian ke-19 )

Baca Juga:

Saat-saat Perpisahan yang Melegakan

Hari itu mentari bersinar cerah. Menyinari jagat raya persada. Menghapus embun pagi yang bening. Menguap entah mengapa. Namun aku lihat wajah kedua orang tua Nanda, semburat kesedihan. Aku bisa menebak. Karena sebentar lagi akan berpisah dengan putranya.

“Aku sudah siapkan hati saya dengan situasi seperti ini,” kata bapaknya Nanda, sambil menaikkan perbekalannya ke mobil kami. Ibunya Nanda kali ini lebih banyak diam. Padahal biasanya banyak cerita. Istri nampaknya juga tahu, kondisi psikologis pasangan muda asal Bengkulu ini. Maka istri coba kadang menggoda ibunya Nanda agar kembali tersenyum.
“Gak sedih kok. Malah seneng. Sebentar lagi si bujang akan menimba ilmu agama yang banyak di pondok,” kata Ibunya Nanda, sembari menyembunyikan air matanya yang akan jatuh. Diusapnya dengan cepat.

Sementara Nanda, yang biasa dipanggil dengan Si Buyung, malah tenang-tenang saja. Disamping pembawaan dasarnya  memang pendiam. Setelah dirasa cukup, pagi itu, disaat matahari sepenggalah naik, kami menuju bandara YIA di Kulon Progo. Di sepanjang jalan, kami lebih banyak diam. Hanya sekali dua kami bertanya sesuatu, yang sesungguhnya itu tidaklah penting. Misalnya bagaimana usahanya di Bengkulu yang sempat ditinggalkan beberapa hari di sini. Atau tanya kebiasaan Nanda kalau dirumah, apakah sama dengan kini yang pendiam, baik hati dan terkesan tidak sombong.

“Kalau di rumah si buyung biasa main sama adik-adiknya. Rebutan mainan. Gak mau ada yang mengalah. Termasuk ya si Buyung itu,“cerita bapaknya, yang sejurus kemudian pinggangnya dicolek sama istrinya. Pertanda tidak setuju dengan cerita itu. Namun sayang, kadung sudah berbicara.
“Tapi si buyung banyak ngalahnya, Pak. Maka sesungguhnya adik-adiknya, ditinggal Buyung merantau ke negeri orang, Yogyakarta, sesuatu yang baru darinya,” tambah ibunya mantap.

Tidak butuh waktu 60 menit kami sampai di Bandara. Langsung parkir monil di lantai 3. Luas dan sejauh mata memandang ke selatan. Mata tertuju sama lautan yang biru. Ombak kelihatan bergulung saling mengejar. Tak mau kalah. Suara gemuruhnya terdengar dari Bandara. Saat-saat perpisahan pun tiba. Istri memeluk ibu-nya Nanda. Meski hanya lirih, aku mendengar suaran Ibunya Nanda, “Makasiih banyak sudah merepotkan. Semoga menjadi amal soleh.” Masih dengan isak tangisnya. Sejurus kemudian dipeluklah Nanda kuat-kuat. Seolah tak mau berpisah. Lama. Namun tidak lama berselang terdengar suara panggilan dari corong bandara” Sodara-sodara, ladies and gentelman. Pesawat Jurusan Jakarta dari Bandara YIA sudah siap.”
Aku hanya bersalaman dengan bapaknya Nanda. Tidak banyak yang aku sampaikan. Kecuali untuk saling mendoakan dan menguatkan. Kepada anaknyapun, bapak muda yang satu ini tidak banyak bicara. Hanya yang aku lihat ia mencium kedua pipi Nanda yang sore  itu terlihat lebih putih karena terbasuh sinar mentari yang agung. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!