Sudah Pikirkan, Melanjutkan Kemana
Entah pepatah atau sekeder guyonan yang mengatakan, tidak ada mantan anak. Ada benarnya. Kedekatan anak dengan orang tua tidak bisa dipisahkan. Oleh jarak sekalipun. Maka tidak berlebihan kalau sering diceritakan antara anak dengan orang tua ada benang merah yang menghubungkan hati mereka. Namanya aura. Rasa. Orang tua, biasanya seorang ibu, bisa merasakan anak yang jauh di sana sedang bahagia atau menderita. Bapak? Bapak sebenarnya bisa juga. Hanya karena perasaannya kurang tajam, jika dibandingkan dengan kaum hawa. Ibu-Ibu.
Bapak, misalpun pernah merasakan itu, lebih banyak cuek-nya. Mungkin juga karena beban pekerjaan yang lebih banyak. Atau memang sudah dari “sana”-nya.
Baru setahun di pondok, aku sudah kepikiran mau melanjutkan kemana Rohman. Memang terlalu dini. Tapi pikirku lebih baik siapkan dari sekarang dari pada besok sudah akhir-akhir lulus, baru mencari sekolah atau pondok pesantren.
Dalam hal ini aku ada sedikit beda dengan istri. Sebenarnya perbedaan yang lain banyak. Hanya karena saling mengalah, atau tepatnya memahami, maka cek-cok kecil bisa kami redam. Jangankan soal pendidikan, wong selera makan saja kami itu beda banget. Tapi tidak usahlah dibahas. Karena bagiku selera atau jenis, kesukaan makan itu, bukan sesuatu yang urgent dan harus diperdebatkan. Toh makan hanya sarana saja kita beribadah kepada-Nya. Kalau makan kadang tidak sesuai selera, tidak mengapa. Toh pernah atau bahkan sering, kalau ikut rapat-rapat di luar menu makan diatas rata-rata. Ini bukan berarti menu makan di rumah pas-pasan.Bukan.
“Aku ingin Rohman terus melanjutkan sekolah di Pondok, biar bisa meneruskan hafalan quran-nya,” aku memulai pembicaraan di sore yang bening.
“Kalau bisa, pondok yang ada pelajaran formalnya. Karena dia juga sudah mulai harus mendapatkan asupan pelajaran formal. Hafalannya tinggal mengulang saja,” timpal istri, sambil membaca Novel Islami, karya Asma Nadia, berwarna pink. Tanpa melihatku.
“Tapi aku khawatir, hafalannya jadi rusak, dik,”
“Insya Allah tidak mas. Kalau jenjang SMP ini dia bisa hafal. Usia SMA tinggal ngulang saja.”
“Kapan ada waktu. atau memang dicarikan waktu, coba lihat dari dekat sekolah/pondok untuk kelanjutan Rohman.”
“Kapan bapak ada waktu, pulang sore terus,”
“Ya, pas hari libur lah,”
Aku coba search di google. Muncul banyak pondok pilihan. Meskipun sebelum itu sudah ada gambaran beberapa sekolah/pondok pilihan untuk kelanjutan Rohman ke depan. Tetapi pingin lihat langsung kondisinya. Akhirnya kami sepakat liburan besok. Pas Rohman libur pondok dan tinggal di rumah selama hampir 3 minggu. Kita ajak untuk jalan-jalan sambil lihat-lihat. Fauzan, kakak Rohman? Ya, tetap kita ajak serta. Dia juga punya hak untuk senang. Meski hanya sebatas jalan-jalan. ( bersambung )