30 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-21)

Baca Juga:

Iseng Lihat Anak Main Bola

Pagi itu. Mentari bersinar cerah. Dengan tangkas menyinari bumi persada tanpa berharap balas. Padahal biasanya pagi-pagi, mentari sudah murung. Bermuram durja. Ditandai dengan suasan mendung menggantung disana-sini. Kalau sudah begini kami menyiasati penggunaan baju untuk bekerja. Kadang bermain dengan kombinasi. Tidak saja warna tapi juga pola. Tidak jarang aku ke kantor yang sore hari dengan dengan kaos yang berkrah. Lebih sopan. Namun pagi itu, aku masih ingat hari-nya Sabtu Wage. Sang bagaskara dengan perkasa seolah mengangkangi bumi. Dengan sinarnya.
Sekolah libur. Sementara yang di radio aku biasa masuk jam 2 siang. Maka usai gowes, kami tidak ada acara. Biasanya, kalau sudah tidak ada acara, nganggur, maka bawaannya mau nengok Rohman saja di pondok. Atau kalau tidak minimal iseng WA tanya kabarnya. Sebenarnya tidak juga iseng, sebab dalam WA itu, kalau tidak dibalas, ya kami terutama aku menunggu-nunggu.
“Motoran yuk,” kata istri.
“Kemana?” jawabku, sambil membaca buku Life Excellent-nya Reza M Syarief, yang menurutku salah satu buku terbaik yang pernah aku temukan.
“Ya jalan saja. Dari pada di ruang, bengong.”
“Masak jalan-jalan gak ada tujuan.”
“Ya pokoknya jalan. Nanti kalau tiba-tiba ditengah jalan pingin kemana, tinggal putar haluan.”
Benar, tidak menunggu lama kami keluarga sepeda motor. Kami pacu kearah selatan. Di tengah jalan kepikiran untuk melihat Rohman yang sedang latihan bola. Meski sebenarnya kami ragu-ragu apakah setelah sampai sana latihan sepakbolanya sudah selesai atau belum.
“Kalau sudah selesai bagaimana,”tanyaku.
“Yo, gampang, lanjut ke Kulonprogo. Ke Bendungan Kalijoro.”
Gas sepeda motor aku tarik lebih dalam. Akibatnya roda berputar lebih kencang. 75 Km/jam. Padahal biasanya sangat jarang aku naik motor dengan kecepatan sebesar itu. Paling pol 65 Km/jam. Tapi entah mengapa, aku tiba-tiba menjadi laki-laki pemberani. Dan benar, sampai sana, Lapangan Trucuk, permainan bola sebentar lagi selesai. Tidak menunggu dalam hitungan menit. Peluit dibunyikan oleh mantan pelatih nasional yang kebetulan berkenan menjadi pelatih bola se-kelas pesantren. Bersyukur, kami bisa bertemu Rohman dan teman-temannya. Justru aku tidak ketemu Praya, anak Bengkulu yng pendiam itu.
Meski hanya 5-7 menitan kami bisa bertemua dengan Rohman. Masih lengkap dengan peluh dipipi dan dagu. Sepatunya lebih besar dari ukuran kaki-nya. “Iya aku beli dari kakak kelas,? Uangnya ?
“Raketnya aku jual, pak. Karena sudah jarang main badmintton, harganya gak jauh beda dengan waktu beli kok”
” Ini sepatu harga berapa?
“20 ribu,”
“Kok murah amat, benar”
“Iya bener, karena sama kakak kelas sudah gak dipake,”
“Ya Allah, sudah bisa jual beli di pondok,”
Kami hanya bisa bertukar tinju tangan. Setelah itu pamitan kepada Ustadz Amri dan Muktar. Balik pulang (Bersambung )

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!