# Belajar Memupus Dendam
Oleh : Ashari
Aku sendiri yang mendengar cerita bapak tentang masa kecil, bisa hanyut. Ada beberapa penggal episode yang belum pernah dikisahkan oleh ibu. Semuanya ada hikmahnya. Yang baik diambil pelajaran. Yang buruk dibuang.
“Sekarang saat kamu belajar dan ngaji yang rajin le,” kata bapakku menasehati Rohman. Sementara Rohman yang sedari tadi khusuk mendengarkan cerita menjadi lebih tahu akan masa kecil bapaknya. Yang dalam hatinya mungkin berkata: tidak seberuntung dirinya. Yang relatif lebih “enak”. Meski perasaan itu tidak diverbalkan. Namun aku bisa melihat dari tatap matanya yang berbinar. Dan mimiknya yang lebih “sumringah”. Maka aku tidak perlu menambahi kata-kata nasehat kepadanya. Percuma.
Setelah makan minum secukupnya kami pamit pulang. Pamit bapak ibu dan adik-adik. Rohman, Fauzan dan istri juga tidak ketinggalan. Biasa, kami pulang dibawakan oleh-oleh beras. “Ini bawa beras, kemarin panen sawah barat desa,” kata bapak dan ibu. Sementara adikku yang membawakan. Tidak lupa Rohman dan Fauzan diberi uang jajan. “Makasih bu lik,” kata Rohman sambil pamit. Senyum, gak lupa. Salah satu ciri khas Rohman, kalau diberi apa-apa, belum bilang terimakasih. Pasti senyum dulu.
Di jalan, cerita bapak tadi bersambung. HP-nya sementara terlupakan.
“Bapak gak marah sama simbah, dicuekin 4 tahun,” tanya Rohman dengan bahasa anak-anak.
“Gak lah le. Gak ada gunanya. Lagi pula pengorbanan orang tua tidak dapat ditukar dengan apapun oleh kita sebagai anaknya. Jadi tidak boleh menyimpan dendam dengan orang tua atau keluarga. Hidupnya jadi tidak berkah,” kataku sambil stir mobil.
“Yang aku heran bapak kok juga gak nengok simbah selama hampir 4 tahun itu?”
“Ya, namanya anak-anak. belum kepikiran tho le. Semua itu ada waktunya. ”
“Jadi aku lebih enak sekarang ya pak?”
” Ya gak begitu,” sambung ibunya Rohman, menyahut. Tadinya agak ngantuk sepanjang perjalanan.
“Maksudnya bu?”
“Memang kamu hampir setiap hari bersama bapak ibu. Namun ada saatnya harus berpisah, untuk belajar mandiri. Meski sebenarnya bapak dan ibu itu kangen banget mas. Tetapi lebih baik sekarang kami menahan kangen, rindu kadang menangis. Tetapi kamu besok jadi orang yang bermanfaat,” ibunya menasehati panjang.
“Iya e, kadang itu ya pingin maen seperti teman-teman,”
“Main boleh le di pondok. Pasti ada waktunya. Apalagi di sana ada sepak bola, memanah, kadang-kadang renang, tapak suci. Tidak melulu ngaji terus,” sambungku.
“Tapi gak boleh main HP,”
“Iya lah. Di Pondok bawa HP, gak bisa konsentrasi kamu. Sementara ditahan. Kalau pas pulang juga bisa. Ini kesempatanmu le,”
“Iya e di pondok waktunya kelihatannya cepet banget. Tahu-tahu Ashar kemudian maghrib.,” cerita Rohman. Aku lihat dari kaca spion arah belakang, dia bicara serius. Biasanya disambi dengan main game di HP-ku. (bersambung )